Langsung ke konten utama

Postingan

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah
Postingan terbaru

Keep in Touch!

Halo, hai! Sudah lama tak menyapa di sini. Untuk membaca update dari saya, silakan berkunjung ke  akun Steemit  atau  blog pribadi Aini . Untuk sementara waktu, blog ini akan dipakai oleh murid-murid saya untuk praktik menulis dan menyeting blog mereka. Jadi bila ada terlihat human error itu adalah proses coba-coba kami di Kelas Menulis atau Jurnalistik. Ada beberapa cerpen jadul yang tetap saya simpan di sini, kalau suka sila dinikmati :) Terima kasih atas kebersamaan selama ini. Salam Hangat dan Sampai Jumpa!

Mark

Mark Namaku Mark, usiaku 15 tahun. Aku termasuk anak yang sangat beruntung sejak lahir, tak ada kesulitan yang berarti yang aku hadapi. Kedua orang tuaku orang baik dan hebat, orang sibuk juga tentunya. Mereka tak pernah memaksaku menjadi apa. Karena keduanya adalah praktisi pendidikan yang memahami dunia pendidikan dan anak-anak. Kurasa... mereka sudah memberikan yang terbaik buatku. Keduanya giat memberikan pemahaman yang layak bagi semua orang tua tentang pendidikan anak. Finansial yang baik juga membuat mereka bisa membangun sekolah atau tempat belajar bagi banyak anak. Aku Mark, masih belia. Kedua orang tuaku adala role model bagi semua orang tua lainnya dan idaman anak di seluruh dunia. Aku tidak dimasukkan ke sekolah di bawah naungan yayasan orang tuaku, tentu dengan kehebatan kedua orang tuaku, aku dipilihkan sekolah yang jauh lebih tinggi dalam segala levelnya. Maka aku disekolahkan di sekolah terbaik di kota ini, mungkin di negri ini. Itu tak sulit, kedu

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t

Sekar dan Aku

“Kakak nggak pernah ngalamin, sih. Jadi mungkin nggak tahu gimana rasanya. Bang Luhur orangnya baik, setia, romantis...” kata Sekar sambil menyeka hidungnya. Ia masih saja sesenggukan pilu. Kami memang sudah janji subuh tadi untuk bertemu di kafe ini sore. Sengaja mengambil meja paling sudut dan paling sepi di ruangan yang kaca depannya ditempel stiker ‘No Smoking Area’. “Iya... tapi, kan, dia sudah minta maaf dan menjelaskan situasinya bagaimana,” bujukku menenangkan. “Aku udah maafin, Kak. Asalkan jangan diulang lagi. Cukup sudah berhubungan dengan teman lama, mantan, entah apalah namanya itu. Sakit rasanya, nggak bisa lupa sampai hari ini. Bayangkan, Kak, aku yang lantang-luntung ngurusin rumah, anak, masak. Nggak pernah tuh, dia WA nanya ‘sudah makan?’ Kirim emoji kayak begitu... Nah, sama perempuan itu?” Aku mengelus punggung tangan Sekar. Mencoba menenangkannya dan berempati padanya. Suaminya tergelincir, menurutku tak separah itu. Hanya menyapa teman-teman lamanya

PENANGGUNG DERITA MASA LALU

            “Jadi, ini ya, istrinya?” tanya wanita cantik di depanku. Dalam dekapannya ada seorang bayi belum genap setahun tak kalah menggemaskan. Bisa kupastikan umur wanita itu mendekati kepala tiga. Kudengar ia memang paling populer di sekolah suamiku dulu.             Aku tersenyum sopan sambil mengulurkan tangan, atau tepatnya membalas uluran tangannya dan menggumamkan namaku “Yasmine ...”             Percakapan basa-basi itu bertahan cukup lama. Berapa anggota keluarga, aktivitas harian dan di mana tinggal saat ini. Aku yang sejak tadi menjawab seadanya, ditimpali  sedikit guyonan suamiku. Maklum saja, ini reuni, tak ada yang formal, semua berusaha secair mungkin, tak ubahnya dulu ketika masa-masa SMA yang tak terlupakan. Bagiku sendiri, ini bukanlah hal yang sulit. Sejak awal menikah kami sudah terbiasa, teman suamiku adalah temanku dan begitu sebaliknya. Aku termasuk pribadi yang luwes berteman. Menguasai banyak kosa kata dan topik yang menarik, tapi hari ini, tiba

DOMPET HITAM, JILBABER, DAN MUSALA KAMPUS

“Kak!” sebuah suara yang entah milik siapa, “Kak, ada ngeliat dompet hitam, nggak?” Sadar pertanyaan itu ditujukan padaku, aku mencoba menghentikan langkah sejenak dan mulai menolehkan wajah ke belakang. Hanya memutar separuh badan, sebab aku musti gegas menuju masjid, kajian sekaligus rapat sore itu hampir dimulai. Kuamati sebentar sosok anak lelaki di belakangku. Seorang mahasiswa, memakai  kemeja dan jeans hitam, ransel, sepatu kets putih dengan motif garis coklat di sampingnya. Jerawatan, tipikal kulit berminyak, lengkap dengan rona memelas menghias wajahnya. “Maaf, nggak ada,” jawabku sekenanya sambil mulai mengambil aba-aba untuk mulai melangkah lagi. Matahari sepenggalah. Siang di bulan Juli itu cukup terik, jalanan di samping Lapangan Tugu sepi sekali. Lain lagi kalau sudah sore, di sepanjang pinggiran Lapangan Tugu Darussalam, berderet gerobak-gerobak sorong aneka minuman dan makanan. Dari mulai cendol, air kelapa muda, es krim, siomay, bakso goreng, dan lain-lai