Langsung ke konten utama

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hingga sore, bahkan malam kalau masih belum mengantuk, mereka tetap bertemu dan bermain bersama. Dari sebelah keluargaku, anakku adalah cucu yang kesepuluh, sepupu tertuanya kini duduk di kelas dua SMP dan ada beberapa orang yang hampir sama usianya, hanya terpaut lebih muda beberapa bulan. Mulai pagi ketika terbuka kedua matanya, maka dia mulai mencari teman bermain, yang sebenarnya teman bersaing. Jika luput dari matanya beberapa saat saja mereka saling mencari, tapi ketika sudah bertemu, sebutir kelerengpun bisa jadi rebutan. Mereka belum banyak tahu kosa-kata kasar karena memang lingkungan yang mereka diami masih disekitar rumah ibuku dan kakakku, mereka bermain dengan tetangga yang tinggi kesadaran dalam menanamkan nilai kebaikan, tapi sungguh televisi menjadi model yang tiada habis menjadi contoh buruk, mereka bisa saling pukul dan tendang. Saling klaim “punyaku” namanya juga anak kecil, aku dan orangtua lainnya meluruskan tingkah mereka dengan cara yang berbeda-beda. Mengajarkan berbagi dan saling empati, bertindak sopan dan penuh inisiatif, tapi memang mereka masih butuh proses untuk memahaminya, dua monster kecil bisa menjadi tiga, empat, lima, jika sepupu-sepupu yang lain termasuk yang tuapun tidak bisa mengalah, kemudian adikku juga mulai berteriak panik dan stress melihat tingkah keponakannya, mulai bersuara keras dan ikut menjadi Ratu Monster. Saat itu aku yang sedang mengandung calon keponakan baru untuknya duduk di bangku kayu usang untuk melemaskan otot, termasuk otot-otot wajahku yang mulai menegang, dan akhirnya tertawa geli, berpikir bukankah semua monster ini amanah Allah yang harus disyukuri, salah satu caranya dengan mendidik dan menanamkan nilai-nilai luhur di dalam diri mereka sehingga menjadi malaikat penuntun ke syurga, mereka semua adalah inspirasi surgawi.

Gunung Lagan, September 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...