Langsung ke konten utama

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas.
Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada.
Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hmm beginilah jadi Ibu Rumah Tangga, sibuknya melebihi presiden. Kalau di kantor mungkin ada yang namanya jam istrahat, paling tidak istrahat buat shalat dan makan siang, tapi istilah itu tidak berlaku untuk seorang ibu rumah tangga, apalagi yang mengemong bayi mungil, jatah tidur malampun disunat. Wajar saja Islam sangat memuliakan wanita, khususnya para Ibu, bahkan Rasulullah sampai tiga kali mengatakan disabdanya bahwa orang yang harus dipatuhi adalah ”Ibumu” yang pantas diberi bakti yang tulus, setelah yang ketiga baru Beliau katakan “Ayahmu”.
Sepi bergelayut. Dua buah hatiku sudah terlelap pulas, semoga mimpi indah. Sementara Ayah anak-anak masih berkutat dengan progress report yang selalu saja serasa dikejar waktu, perbaikan disana-sini, bolak-balik translet sampai yakin yang dilaporkan tidak ngawur. Yang satu itu bukan tidak menguras energi juga, aku sendiri rasanya juga lelah melihatnya, itu melihat saja belum kulakoni sendiri, bisa keblenger juga rasanya. Anak-anak yang tingkahnya juga mau tidak mau mengundang perhatian, berbeda kepala beda juga isinya. Kami sayang mereka tapi ada sedikit seni dalam menyayanginya, yang kalau salah menyiasatinya malah jadi bumerang. Mereka anak-anak yatim atau piatu yang haus perhatian dan kasih sayang, disurat Al-Ma’un Allah menyatakan kita sebagai pendusta agama jika menghardik serta tidak menyantuni mereka. Jadi pandai-pandailah memainkan seni menyayangi tadi, jangan sampai pula mereka terluka dan iba hatinya, tapi tidak juga sayang yang bisa menggiring mereka kearah keburukan dengan melegalkan yang salah sebagai kebiasaan yang tidak dapat lekang dari diri mereka.
Senja berikutnya masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Angin senja berhembus dingin, seperti sore lalu kali inipun masih dengan suasana yang agak lembab. Hujan baru saja usai beberapa jam lalu. Sudah dua hari panti senyap dari hiruk pikuk anak-anak asuh kami. Bulan ini adalah liburan anak sekolah, anak-anak pulang ke rumah walinya masing-masing. Sepi? Tentu saja, padahal dulu aku terbiasa dengan suasana sepi, tapi tidak sejak tinggal di komplek ini. Terus terang rasa canggung datang, walau sebenarnya aku sebagai ibu rumah tangga tidak pernah benar-benar rehat dari kesibukanku di rumah, tapi tetap saja terasa ada yang kurang, terutama suara adzan yang biasa lima kali dalam sehari dari mushalla mungil disamping rumah kami.
Panti asuhan ini dibuat seperti komplek perumahan mini dengan luas tanah hanya sekitar 1,9 Hektare, ada sepuluh rumah anak asuh, sebelah barat rumah panti puteri dan sebelah utara rumah putera, satu bangunan kantor, dapur umum, tiga rumah staff dan satu mushalla dan tempat wudhu, dan balee sisa shelter. Dahulu sebelum dibangun permanen, bangunan panti ini dibuat dari kayu, awalnya bahkan hanya tenda saja untuk menampung anak-anak korban bencana gempa tektonik di pantai Barat Sumatera 26 Desember 2004 yang menelan ribuan korban, selain karena guncangan dahsyat yang meruntuhkan bangunan, juga akibat sapuan tsunami setinggi 10 meter lebih yang menerjang masuk ke daratan hingga beberapa meter membuat banyak anak-anak Aceh yang menjadi yatim, piatu, yatim piatu, bahkan sebatang kara.
Hampir sepuluh bulan setelah aku lulus dari kuliah profesiku dengan nilai sangat memuaskan, mungkin kebetulan saja aku mendapatkan nilai itu dari 40 orang kandidat yang ada ,bukan aku tidak menyukai profesiku sebagai dokter hewan yang membuat aku hingga detik ini belum pernah memilih terjun langsung ke dunia veteriner, paling banter aku hanya menjadi assisten di laboratorium Biologi dan Zoologi. Sebab bagiku apapun profesi kita bukanlah sesuatu yang buruk jika tetap selalu bisa memberikan kontribusi untuk orang disekitar kita, walau kerap cemooh datang bahwa ijazah dokter hewan-ku hanya jadi selembar kertas yang tidak membuatku menjadi tinggi dan hebat seperti angan-angan kami saat kuliah profesi dulu (ko-assostensi). Hebat bisa membuka praktek sendiri, bisa kerja di rumah sakit hewan di kota besar, atau sekedar berdinas di sebuah instansi pemerintah, atau tenaga medik di sebuah peternakan besar. Tinggi karena bukan sekedar menjadi ibu rumah tangga yang kolot dan bisanya hanya ngendon di rumah dengan pekerjaan yang monoton, seputar dapur, sumur, kasur. Eits jangan salah, jaman sekarang itu tidak berlaku, tidak ada lagi ibu-ibu yang menyuci di sumur, mau menyuci baju tinggal twit, mesin menyelesaikan, mencuci piring ada wastafel. Jadi salah sekali bagi orang yang menganggap remeh ataupun malu mengaku dirinya adalah seorang ibu rumah tangga sejati. Sementara madrasah pertama anak adalah ibunya, pekerjaan ibu adalah pekerjaan yang paling mulia. Lebih salah lagi jika saat ini sebagian besar orang menganggap urusan sumur dapur dan kasur tadi adalah tugas wajib seorang istri. Padahal dalam Islam tugas wajib seorang istri hanyalah melayani suami, dan yang lain-lain itu adalah jelas tugas bersama, bahkan kewajiban seorang suami adalah menyedikan papan, sandang, dan pangan. Lalu bagaimana tentang tugas-tugas rumah tangga? Tentu saja itu adalah tugas bersama, dan jika suami merasa tak sanggup mengerjakan maka dia boleh mendelegasikannya kepada assisten rumah tangga, bagaimana pula jika tidak mungkin mendatangkan assisten rumah tangga. Jangan terlalu naif, siasatilah dengan bergotong royong dan jangan pula sang istripun setelah tahu bahwa itu bukan tugas wajibnya malah tidak mau mengerjakan sama sekali, mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidak membuat istri menjadi jatuh marwahnya dan yakinlah dengan keikhlasan mengerjakannya akan melanggengkan bahtera rumah tangga dan mendatangkan ketentraman yang luar biasa. Puas rasanya bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat dan menyenangkan orang-orang yang disayangi.
Menjelang siang, hari tetap sendu sebab matahari tak segarang biasanya. Saat ini panti asuhan Muhammadiyah Sibreh yang didonasi oleh LSM asing selama 5 tahun ini akan mulai mandiri sedikit demi sedikit. Lima tahun berselang, anak-anak yang menghuni komplek inipun berganti. Hanya 5 orang saja anak korban tsunami yang tersisa, sementara jumlah total anak-anak sekitar 60-an anak.
Alunan murattal Syeikh Sa’ad Al- ghamidi memenuhi ruang dengarku, diselingi cericit burung pipit yang masuk dari ventilasi dapur kami, kepakan sayapnya terkadang begitu semarak penuh semangat, berbunyi “steeet, plek..plek..” mereka berusaha mengais rizkinya di sisa-sisa makanan di tumpukan ember piring piring kotor, sisa sarapan kami pagi tadi. Situasi ini terjadi setiap hari membuat aku familiar dengan jenis burung yang kerap dipanggil dengan sebutan “burung gereja” ini. Awalnya aku sempat terpikir menutup ventilasi itu dengan kawat kasa atau kain strimin sebab tidak jarang makanan atau masakan yang terbuka di dapur mungil kami harus dibuang karena terkena pup mereka, bahkan terkadang sisa minyak bekas sekali goreng harus dibuang sebab didasarnya sudah kutemukan pup berwarna abu-abu bercampur putih. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk segera membereskan peralatan masak dan memindahkan makanan ke meja makan kemudian menutup sisa minyak saja setelah aku menyelesaikan prosesi masak-memasak tersebut. Jadi kalaupun burung-burung itu ingin masuk dan bermain dia hanya menyisakan pup-nya yang tak seberapa itu di cover kompor gas atau diatas tabung gasnya, hanya perlu sekali seka saja untuk membersihkannya dengan lap basah.
Hari menjelang siang, aktivitas panti sudah kembali seperti sedia kala, walaupun belum seluruhnya, sebagian anak-anak sudah kembali ke panti. Riuh rendah suara mereka, berteriak, berbicara, tertawa dan bernyanyi, sebagian lagi menabuh kaleng-kaleng bekas menambah meriah suasana. Panti ini suatu ketika akan menjadi kenangan tersendiri bagi mereka, sebagai pengasuh volunteer aku berharap bisa turut menorehkan tinta emas kenangan yang baik buat mereka, walau sebenarnya aku sendiri tak yakin bisa sabar dan tulus dengan semua tingkah polah mereka yang terkadang tak biasa, yang tak jarang juga menguji kesabaranku.
Ada satu hal yang sangat membuat hatiku sedih, yaitu ketika putera sulung kami yang baru berusia empat tahun diajari banyak hal buruk oleh anak-anak asuh kami sendiri. Tiba-tiba saja dia pulang kerumah dengan seabreg kosa kata ajaib yang tak pernah kami ucapkan, maaf cakap...sekarang dia pintar menyebutkan aurat lelaki atau wanita, lalu yang berkaki empat itu kerap dia tudingkan buat siapa-siapa yang dia temui. Kewajiban kami meluruskannya dengan bijaksana, tapi terus terang invasi itu melebihi kapasitas waktuku menyeimbangkan semuanya. Aku seorang Ibu dengan bayi mungil digendonganku, sementara hampir setengah hari (bahkan terkadang hingga malam) dia terus-terusan bermain dengan anak asuh kami, kadang aku hampir saja menyerah kalah dalam meluruskan semua ajaran abang-abangnya. Mereka seolah telah kaku ditempa pada tempat sebelum mereka datang ke panti ini. Bahkan mereka sudah baligh ketika masuk ke dalam pengasuhan kami, walau setiap hari mulut kami berbusa mengingatkan agar mereka mau memperbaiki semua kebiasaan buruk dan memulai hal positif yang tidaklah sulit, tapi mungkinkah kami bisa menempa tanah liat yang sudah berubah menjadi bata? Hatiku mengkeret, tapi yang kutahu untuk itulah kami disini, untuk menempa ulang bata itu dengan berpikir batu sekeras apapun jika terus-terusan ditetesi air tetap bisa membuatkan sedikit bekas, mudah-mudahan dengan kesabaran mereka mendapatkan setitik pencerahan untuk masa yang akan datang.
Tidak mudah mengatur anak-anak berbeda jenis yang dihimpun dalam satu tempat, apalagi ketika anak tersebut beranjak dewasa dan memasuki masa pubertas, walaupun dengan rumah yang berbeda, tapi setiap hari mereka saling bertemu dan berinteraksi paling tidak saat jam-jam makan, sebab dapur umum dipakai bersama. Timbul juga yang namanya benih-benih merah jambu, walau jelas cinta mereka adalah ‘cinta monyet’ tapi tetap saja tidak bisa dianggap angin lalu. Belum lagi ada beberapa anak yang kerap tertangkap basah mencuri, mencuri barang temannya, benda atau uang milik pengasuh bahkan ada yang kepergok sedang mengutil di pasar. Padahal bantuan dan fasilitas panti selalu memadai bahkan bisa dibilang lebih dari cukup, tapi tetap saja ada kasus-kasus yang tidak menyenangkan seperti tadi.
Setiap hari mulai dari pagi buta hingga menjelang larut malam ada saja yang harus diselesaikan dengan anak-anak. Saat ini malam menjamah sebahagian bumi, hujan turun disertai angin kencang di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Berbagai rasa berkecamuk dihatiku, aku memang menemukan sensasi bahagia disini, satu-persatu benih-benih cinta akan kusemai, apapun itu aku akan berusaha melakukan yang terbaik yang aku bisa, sebagian mengatakan aku mengubur banyak potensi yang pernah nyaris menjulurkan tentakelnya, tapi apa semua yang dianggap banyak orang menyenangkan akan menghadirkan rasa bahagia disetiap sudut hati? Kurasa tidak, sebab bagiku bahagia itu bisa kita ciptakan sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...