Menaggapi curhat seorang teman SD, tentang mantan suaminya yang berbanding terbalik dengan lelaki impiannya. Mantan suaminya bukan saja tak romantis, tapi sangat acuh padanya. Tertutup untuk masalah pekerjaannya dan sedikitpun tak ingin melibatkan istrinya dalam kegiatan kerjanya, juga tertutup untuk masalah keuangan. Dia sama sekali tak mengenal teman-teman mantan suaminya, yang saat itu masih menjadi suaminya. Dengan suaminya sendiri dia sama sekali tak sejalan dalam mengarahkan dan mendidik anak-anaknya. Lebih sedih lagi, berbagai aktivitasnya buat mengembangkan diri, sering dimentahkan. Kalaupun tidak dihalangi, didukung hanya setengah hati. Banyak hal lain yang memiriskan hati, semua itu ada pada mantan suaminya. Yang tidak ada hanyalah KDRT fisik, tapi KDRT batin kerap mewarnai harinya selama hidup bersama.
Kesimpulan yang dapat kuambil adalah, mantan suaminya itu bukan “lelaki penyayang”. Kemungkinan besar itulah yang membuat hidupnya terasa remuk dan rumah tangganya tak bertahan lama.
Bercerita tentang mencari lelaki penyayang, aku merasa masih begitu banyak makhluk yang serupa itu di dunia ini. Di lingkunganku sendiri aku menemukan Ayah, Kakak lelaki, Ipar lelaki, dan suami yang penyayang. Bagi wanita yang belum bersuami, ada baiknya memilih seorang lelaki penyayang agar bahagia yang diimpikan dapat terwujud. Sementara itu, bagi wanita yang sudah memilih ‘lelaki penyayang’nya, tiba-tiba saat ini merasa telah salah pilih, jangan terburu menyimpulkan, silahkan bertanya pada diri sendiri, ‘cukup layakkah saya untuk disayangi?’
Sering sekali sebagai istri, kita merasa diabaikan ketika suami sibuk bergelut dengan pekerjaannya. Sudah pasti sang suami amat sangat lelah. Sebagai istri apa yang telah kita lakukan? Membebaninya dengan pekerjaan baru meladeni omelan istri diseratai dengan wajah semasam jeruk purut atau sekedar bercerita saja, bahwa hari ini anak-anak amatlah lucu tingkah polahnya?
Bercerita dengan gaya bahasa penuh keluh kesah dan nada kesal yang blak-blakan, ditambah lagi dengan gelagat menyalahkan, tentu berbeda dengan berbagi cerita dengan suami tentang badungnya anak-anak hari ini, banyak rencana yang gagal total, semrawutnya rumah dan perasaan kita sebagai orang yang terlibat langsung dengan kejadian tersebut.
Memang sekilas terlihat sama, tapi sebenarnya sama sekali tidak sama. Isi boleh jadi sama, sama-sama uneg-uneg atau ‘sampah’ yang seharian menggelayuti kepala hingga pikiran terasa timpang. Sebab sebaik apapun dan sekokoh apa saja benteng kesabaran seorang ibu, bisa dikatakan tak wajar jika ia tak pernah sekalipun merasa kesal dan lelah jika menghadapi beribu tingkah polah anak yang tidak melulu mengundang tawa. Kerap sikap menuntut perhatian dan rasa ingin tahunya yang tinggi mengakibatkan senar kesabaran orangtuanya bergetar hebat.
Belum lagi selesai dengan omelan tentang rumah dan anak-anak, sekarang ditambah dengan keluhan tak cukupnya hasil jerih payah suami sebulan penuh untuk menghidupi keluarga. Sikap kurang bersyukur ini jelas termasuk ke dalam kufur nikmat. Bagi mereka yang kufur nikmat yang didapat tak lain hanya merasa kurang dan kurang saja. Sebab janji Allah bagi sesiapa yang bersyukur maka akan ditambahkan baginya kenikmatan. Sementara bagi orang yang kufur nikmat, rizki itu seolah bulir embun tertimpa mentari pagi. Menguap tanpa terasa, yang dapat dirasakan adalah, kenapa bisa berapapun penghasilan suami perbulan selalu saja tak cukup.
Serentetan keluh kesah dan rasa resah khawatir pertengahan bulan stok kebutuhan rumah sudah tandas, masih disambung dengan sekelumit kabar tentang tetangga yang begini dan begitu. Ternyata walaupun mengaku sangat sibuk di rumah, sang istri tidak lupa meng-up date berita mengenai tetangga yang barusan membeli benda baru. Suami yang baru tiba di rumah memang tidak lagi shock melihat kondisi rumah yang centang-prenang. Sebab memang seperti itulah adanya saban hari. Jadi, sama sekali tidak mengherankan warung kopi terasa jauh lebih nyaman dibandingkan rumah.
Jika tiba waktu belanja, wajah sang istri sumringah bukan main. Lalu pulang dengan segunung kesah lagi, sebab harga semua barang yang diinginkan mahal. Jadilah ritual ‘merepet’ barang mahal selalu menjadi santapan suami setelah mengantarkan istri berbelanja. Belum lagi cemburu buta yang berulang-ulang.
Sampai kiamatpun, hingga ke ujung dunia, wanita seperti itu tak akan menemukan seorang lelaki penyayang. Paling banter ia akan mendapatkan lelaki penakut. Tepatnya suami yang takut istri. Secantik apapun rupa tak akan membuat suami sungkan berpaling. Sebab suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, kecantikan hati (inner beuty) jauh lebih menyejukkan daripada kecantikan wajah tapi diiringi dengan hati yang penuh dengki.
Sekiranya sang istri sudah mencoba memberikan yang terbaik, menata rumah hati dan rumah huniannya sebaik mungkin. Bersyukur dengan apa yang dibawa suaminya, menghias diri untuk suaminya seorang, kemudian menghias hatinya untuk semua orang yang ditemuinya. Mampu berlapang hati dan mendukung hal-hal positif yang dilakukan suaminya, tapi sang suami tetap tak berwujud “lelaki penyayang”, maka bersabarlah, sebab mungkin saja Allah memang sedang mencoba Anda melalui pasangan Anda.
Kesimpulan yang dapat kuambil adalah, mantan suaminya itu bukan “lelaki penyayang”. Kemungkinan besar itulah yang membuat hidupnya terasa remuk dan rumah tangganya tak bertahan lama.
Bercerita tentang mencari lelaki penyayang, aku merasa masih begitu banyak makhluk yang serupa itu di dunia ini. Di lingkunganku sendiri aku menemukan Ayah, Kakak lelaki, Ipar lelaki, dan suami yang penyayang. Bagi wanita yang belum bersuami, ada baiknya memilih seorang lelaki penyayang agar bahagia yang diimpikan dapat terwujud. Sementara itu, bagi wanita yang sudah memilih ‘lelaki penyayang’nya, tiba-tiba saat ini merasa telah salah pilih, jangan terburu menyimpulkan, silahkan bertanya pada diri sendiri, ‘cukup layakkah saya untuk disayangi?’
Sering sekali sebagai istri, kita merasa diabaikan ketika suami sibuk bergelut dengan pekerjaannya. Sudah pasti sang suami amat sangat lelah. Sebagai istri apa yang telah kita lakukan? Membebaninya dengan pekerjaan baru meladeni omelan istri diseratai dengan wajah semasam jeruk purut atau sekedar bercerita saja, bahwa hari ini anak-anak amatlah lucu tingkah polahnya?
Bercerita dengan gaya bahasa penuh keluh kesah dan nada kesal yang blak-blakan, ditambah lagi dengan gelagat menyalahkan, tentu berbeda dengan berbagi cerita dengan suami tentang badungnya anak-anak hari ini, banyak rencana yang gagal total, semrawutnya rumah dan perasaan kita sebagai orang yang terlibat langsung dengan kejadian tersebut.
Memang sekilas terlihat sama, tapi sebenarnya sama sekali tidak sama. Isi boleh jadi sama, sama-sama uneg-uneg atau ‘sampah’ yang seharian menggelayuti kepala hingga pikiran terasa timpang. Sebab sebaik apapun dan sekokoh apa saja benteng kesabaran seorang ibu, bisa dikatakan tak wajar jika ia tak pernah sekalipun merasa kesal dan lelah jika menghadapi beribu tingkah polah anak yang tidak melulu mengundang tawa. Kerap sikap menuntut perhatian dan rasa ingin tahunya yang tinggi mengakibatkan senar kesabaran orangtuanya bergetar hebat.
Belum lagi selesai dengan omelan tentang rumah dan anak-anak, sekarang ditambah dengan keluhan tak cukupnya hasil jerih payah suami sebulan penuh untuk menghidupi keluarga. Sikap kurang bersyukur ini jelas termasuk ke dalam kufur nikmat. Bagi mereka yang kufur nikmat yang didapat tak lain hanya merasa kurang dan kurang saja. Sebab janji Allah bagi sesiapa yang bersyukur maka akan ditambahkan baginya kenikmatan. Sementara bagi orang yang kufur nikmat, rizki itu seolah bulir embun tertimpa mentari pagi. Menguap tanpa terasa, yang dapat dirasakan adalah, kenapa bisa berapapun penghasilan suami perbulan selalu saja tak cukup.
Serentetan keluh kesah dan rasa resah khawatir pertengahan bulan stok kebutuhan rumah sudah tandas, masih disambung dengan sekelumit kabar tentang tetangga yang begini dan begitu. Ternyata walaupun mengaku sangat sibuk di rumah, sang istri tidak lupa meng-up date berita mengenai tetangga yang barusan membeli benda baru. Suami yang baru tiba di rumah memang tidak lagi shock melihat kondisi rumah yang centang-prenang. Sebab memang seperti itulah adanya saban hari. Jadi, sama sekali tidak mengherankan warung kopi terasa jauh lebih nyaman dibandingkan rumah.
Jika tiba waktu belanja, wajah sang istri sumringah bukan main. Lalu pulang dengan segunung kesah lagi, sebab harga semua barang yang diinginkan mahal. Jadilah ritual ‘merepet’ barang mahal selalu menjadi santapan suami setelah mengantarkan istri berbelanja. Belum lagi cemburu buta yang berulang-ulang.
Sampai kiamatpun, hingga ke ujung dunia, wanita seperti itu tak akan menemukan seorang lelaki penyayang. Paling banter ia akan mendapatkan lelaki penakut. Tepatnya suami yang takut istri. Secantik apapun rupa tak akan membuat suami sungkan berpaling. Sebab suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, kecantikan hati (inner beuty) jauh lebih menyejukkan daripada kecantikan wajah tapi diiringi dengan hati yang penuh dengki.
Sekiranya sang istri sudah mencoba memberikan yang terbaik, menata rumah hati dan rumah huniannya sebaik mungkin. Bersyukur dengan apa yang dibawa suaminya, menghias diri untuk suaminya seorang, kemudian menghias hatinya untuk semua orang yang ditemuinya. Mampu berlapang hati dan mendukung hal-hal positif yang dilakukan suaminya, tapi sang suami tetap tak berwujud “lelaki penyayang”, maka bersabarlah, sebab mungkin saja Allah memang sedang mencoba Anda melalui pasangan Anda.
Komentar
Posting Komentar