Bergabung di sebuah organisasi kepenulisan adalah cita-citaku sejak tsanawiyah. Aku memang sedikit suka menulis (menulis diari, tentunya) sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Diari pertamaku waktu kelas tiga SD kunamakan ‘Theodore’, entah bagaimana nasibnya sekarang.
Begitu lamanya kupendam hasrat menjadi anggota sebuah forum menulis. Niat utamaku, supaya bisa belajar menulis. Tidak sampai terpikir sebuah keharusan agar tulisanku dapat di-publish di media, atau bahkan keharusan menelurkan banyak buku. Apatah lagi sampai berpikir menjadikan menulis sebagai mata pencaharian, atau paling tidak membuatku sedikit ‘punya nama’ alias tenar.
Sekali lagi, bukan. Aku benar-benar ingin belajar menulis, belajar berbagi membuat sebuah tulisan yang layak baca, berbagi penglaman hidup dengan menulis, dan ingin mendengar proses kreatif langsung dari seorang penulis sungguhan. Bukan dari buku-buku tips menulis dan sejenisnya.
Maka, sewaktu datang kesempatan emas, ketika ada perekrutan kader di Forum Lingkar Pena Aceh, aku mencoba bergabung. Aku memang sudah memiliki dua momongan. Tapi keinginan itu masih sama seperti dulu. Lagipula sesuai dengan prinsip hidupku, belajar tidak mengenal bilangan umur, aku tidak sungkan mengikuti Training Menulis Intensif.
Hm, tiba-tiba aku teringat kisah Enong (Maryamah Karpov) di buku Dwilogi Padang Bulan-nya Andrea Hirata. Pribadi uletnya sungguh menginspirasi. Ketika tekadnya kursus belajar bahasa Inggris kesampain, aku sudah berdecak kagum. Apalagi ketika dia menjadi pecatur handal se-Tanjong Pandan pula.
Mengingat itu membuat hatiku kembali berderu pacu. Bukan keinginan untuk kursus Bahasa Inggris dan menjadi pecatur handal Tanjong Pandan tadi intinya, tapi sebuah tekad memang menghadirkan kekuatan dahsyat.
Jadilah aku rajin mengikuti training kepenulisan. Sekali lagi tak ada niatan mengharuskan diri ‘begini dan begitu’. Aku hanya ingin belajar dan menghasilkan sebuah tulisan yang layak baca.
Jarak tempuh yang aku lalui untuk mengikuti training tidak bisa dikatakan dekat. Kesibukanku mengemong bayi juga tetap menjadi prioritas utama. Aku tidak yakin seratus persen bisa mengikuti training ini. Sempat terlintas di benakku agar menunda dulu kesempatan yang jarang ini. Toh, aku bisa mencobanya dilain waktu, mudah-mudahan masih ada kesempatan kedua, pikirku.
Ketika kontrak belajar kubaca dan kemudian dengan agak ragu kutandatangani. Aku tak yakin bisa mengikuti semua persyaratan itu. Merasa tak sanggup karena akan dinyatakan gugur jika tak hadir empat kali pertemuan Training Menulis Intensif. Apalagi aku ingat saat itu bayiku sedang menyusu ekslusif.
Alhamdulillah, kak Beby, seorang penulis dodol yang anyar, menyemangatiku. Ah, betapa GR-nya disemangati seorang penulis yang memang sudah kukenal ‘gegap gempita’nya di dunia kepenulisan. Aku termasuk salah satu manusia yang heran dan terkagum-kagum dengan ‘untaian kalimat mutiara’ di buku-buku kak Beby. Terus terang aku suka berpikir dan terkadang jadi sering curhat dengan suamiku ‘gosipin’ kak Beby. Kenapa bisa dia punya kosa-kata ajaib, dari mana dia terpikir yang aneh-aneh begitu sampai bukunya DDSI 1 dan 2, bisa bikin pegel pipi-pipi orang membacanya.
Ide nyentriknya sungguh tak biasa. Termasuk ketika mengajari kami menulis di Training Intensif itu, aku benar-benar termotivasi dibuatnya. Terimakasih banyak Kakak ... :)
Bukan itu saja, ketika guru menulisku yang lain, dengan rendah hati menerima pengunduran diriku dari kelasnya, aku semakin terenyuh dan semangat. Sebenarnya ini masalah komunikasi saja, aku masih sungkan blak-blakan di depan kak Mala.
Jadi setelah menandatangani kontrak belajar hari itu, aku pulang dengan hati kalut. Mana mungkin aku bisa memenuhi semua persyaratan yang tercantum di kontrak belajar itu, aku pasti hanya akan merepotkan wali kelasku. Mungkin sedikit berlebihan, tapi memang begitulah adanya. Sebaiknya aku jujur saja, buat apa menyatakan bersedia sementara aku tahu aku tak mampu memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan.
Sebelum bertindak akhirnya kuputuskan berdiskusi dulu dengan orang yang kuanggap bijak dalam hal ini. aku tahu kak Mala masuk dalam kategori ‘orang yang mumpuni’ untuk kubicarakan hal ini, tapi lagi-lagi baru sekali bertemu membuatku agak sungkan.
Well, pada akhirnya aku bisa untuk terus melanjutkan training dan hanya perlu berpindah wali saja. Terimakasih atas pengertian Kak Mala dan buat Kak Beby yang mau menerima ‘anak bodoh’ ini
Menjadi anak kak Beby-pun punya tantangan tersendiri. Haluan kami jelas berbeda, itu yang pertama kulihat. Aku paling tidak bisa menulis seencer kak Beby, mengalir mulus lus lus, penuh kelucuan, gokil, cupu dan yang pasti gaul sangat! Salut!
Tapi ternyata disitulah letak sinkronnya. Tulisanku yang kaku beku dan mirip kayu akan menjadi sedikit ‘sanggup’ dibaca kalangan remaja (haaa, sudahkah? Bertanya penuh harap. Kalau belum fiuuh! Menyeka keringat, ya sudahlah, aku tak akan menyerah!).
Sesudah training berakhir, aku lagi-lagi menakar kondisiku. Jangan terlalu berharap, apalagi soal-soal ujian kemarin kujawab dalam kondisi terus-terusan terpikir bayiku yang mungkin haus ingin menyusu. Walhasil berat dugaan, semua yang aku tulis di lembar jawaban adalah tulisan-tulisan garing yang hanya akan mengundang tawa tim kaderisasi ketika membacanya (aduh, malunya!).
Minggu berikutnya terlewati, teman-temanku yang lain sudah mendapatkan kabar mengenai kelanjutan penjajajakannya di forum. Aku sendiri belum ada kabar apapun, kutunggu saja beberapa hari lagi. Masih belum ada.
Akhirnya aku bertekad dalam hati, kalau memang belum bisa bergabung tahun ini, aku akan mencoba di lain waktu, tapi aku akan terus belajar, aku akan terus menulis. Lalu siapa yang akan mengoreksi tulisanku agar menjadi tulisan yang layak baca? Lagi-lagi aku berdiskusi dengan orang yang aku anggap mumpuni dalam bidangnya.
Kali ini kak Beby pasti orang yang cocok. Selama ini aku menerima koreksian tulisan dari kak Beby seperti menerima berpucuk-pucuk surat cinta. Aku senaang bukan main. Jadi tanpa malu-malu kuungkapkan pada wali kelasku,“Kak, kalau pun Aini belum bisa join di forum saat ini, masih maukah Kakak membaca tulisan Aini?”
“Kok pasrah gitu, Aini?”
Entahlah, sebab taksiranku memang begitu. Mungkin saja belum bisa bergabung kali ini, sebenarnya aku bukan pasrah. Cuma mempersiapkan langkah berikutnya saja. Tapi, jadi malu juga sama wali kelasku. Ditambah lagi ketika tim kaderisasi forum menghubungi aku, menyatakan selamat bergabung. Senang sekali rasanya. Perasaanku sama ketika dinyatakan lulus di universitas dulu, apalagi ketika muncul SMS berikutnya, “Assalamu’alaikum...Bg penerima SMS ini, anda t’pilih m’jd pemberi testimoni ttg klp anda. Info lbh lnjt hub wali kelas. Sila konfrmsi. Coor. Kelas Menulis Intensif FLP ACEH”
Bletak! Aku ingin pingsan!
Sebenarnya, Kawan, aku ini demam panggung walau bicara dari punggung semua panggung. Ini akan jadi bahasan lanjutan, bukan hanya karena aku cadel melafazkan satu huruf, tapi lebih dari itu. Bukan satu organisasi yang aku ikuti, tapi sampai kini aku selalu mencari ‘zona aman’ sebagai ‘semut pekerja’ sahaja! Entah bagaimana esok Tuhan....
Pekat malam ketika tanggal bertukar
6 November
Begitu lamanya kupendam hasrat menjadi anggota sebuah forum menulis. Niat utamaku, supaya bisa belajar menulis. Tidak sampai terpikir sebuah keharusan agar tulisanku dapat di-publish di media, atau bahkan keharusan menelurkan banyak buku. Apatah lagi sampai berpikir menjadikan menulis sebagai mata pencaharian, atau paling tidak membuatku sedikit ‘punya nama’ alias tenar.
Sekali lagi, bukan. Aku benar-benar ingin belajar menulis, belajar berbagi membuat sebuah tulisan yang layak baca, berbagi penglaman hidup dengan menulis, dan ingin mendengar proses kreatif langsung dari seorang penulis sungguhan. Bukan dari buku-buku tips menulis dan sejenisnya.
Maka, sewaktu datang kesempatan emas, ketika ada perekrutan kader di Forum Lingkar Pena Aceh, aku mencoba bergabung. Aku memang sudah memiliki dua momongan. Tapi keinginan itu masih sama seperti dulu. Lagipula sesuai dengan prinsip hidupku, belajar tidak mengenal bilangan umur, aku tidak sungkan mengikuti Training Menulis Intensif.
Hm, tiba-tiba aku teringat kisah Enong (Maryamah Karpov) di buku Dwilogi Padang Bulan-nya Andrea Hirata. Pribadi uletnya sungguh menginspirasi. Ketika tekadnya kursus belajar bahasa Inggris kesampain, aku sudah berdecak kagum. Apalagi ketika dia menjadi pecatur handal se-Tanjong Pandan pula.
Mengingat itu membuat hatiku kembali berderu pacu. Bukan keinginan untuk kursus Bahasa Inggris dan menjadi pecatur handal Tanjong Pandan tadi intinya, tapi sebuah tekad memang menghadirkan kekuatan dahsyat.
Jadilah aku rajin mengikuti training kepenulisan. Sekali lagi tak ada niatan mengharuskan diri ‘begini dan begitu’. Aku hanya ingin belajar dan menghasilkan sebuah tulisan yang layak baca.
Jarak tempuh yang aku lalui untuk mengikuti training tidak bisa dikatakan dekat. Kesibukanku mengemong bayi juga tetap menjadi prioritas utama. Aku tidak yakin seratus persen bisa mengikuti training ini. Sempat terlintas di benakku agar menunda dulu kesempatan yang jarang ini. Toh, aku bisa mencobanya dilain waktu, mudah-mudahan masih ada kesempatan kedua, pikirku.
Ketika kontrak belajar kubaca dan kemudian dengan agak ragu kutandatangani. Aku tak yakin bisa mengikuti semua persyaratan itu. Merasa tak sanggup karena akan dinyatakan gugur jika tak hadir empat kali pertemuan Training Menulis Intensif. Apalagi aku ingat saat itu bayiku sedang menyusu ekslusif.
Alhamdulillah, kak Beby, seorang penulis dodol yang anyar, menyemangatiku. Ah, betapa GR-nya disemangati seorang penulis yang memang sudah kukenal ‘gegap gempita’nya di dunia kepenulisan. Aku termasuk salah satu manusia yang heran dan terkagum-kagum dengan ‘untaian kalimat mutiara’ di buku-buku kak Beby. Terus terang aku suka berpikir dan terkadang jadi sering curhat dengan suamiku ‘gosipin’ kak Beby. Kenapa bisa dia punya kosa-kata ajaib, dari mana dia terpikir yang aneh-aneh begitu sampai bukunya DDSI 1 dan 2, bisa bikin pegel pipi-pipi orang membacanya.
Ide nyentriknya sungguh tak biasa. Termasuk ketika mengajari kami menulis di Training Intensif itu, aku benar-benar termotivasi dibuatnya. Terimakasih banyak Kakak ... :)
Bukan itu saja, ketika guru menulisku yang lain, dengan rendah hati menerima pengunduran diriku dari kelasnya, aku semakin terenyuh dan semangat. Sebenarnya ini masalah komunikasi saja, aku masih sungkan blak-blakan di depan kak Mala.
Jadi setelah menandatangani kontrak belajar hari itu, aku pulang dengan hati kalut. Mana mungkin aku bisa memenuhi semua persyaratan yang tercantum di kontrak belajar itu, aku pasti hanya akan merepotkan wali kelasku. Mungkin sedikit berlebihan, tapi memang begitulah adanya. Sebaiknya aku jujur saja, buat apa menyatakan bersedia sementara aku tahu aku tak mampu memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan.
Sebelum bertindak akhirnya kuputuskan berdiskusi dulu dengan orang yang kuanggap bijak dalam hal ini. aku tahu kak Mala masuk dalam kategori ‘orang yang mumpuni’ untuk kubicarakan hal ini, tapi lagi-lagi baru sekali bertemu membuatku agak sungkan.
Well, pada akhirnya aku bisa untuk terus melanjutkan training dan hanya perlu berpindah wali saja. Terimakasih atas pengertian Kak Mala dan buat Kak Beby yang mau menerima ‘anak bodoh’ ini
Menjadi anak kak Beby-pun punya tantangan tersendiri. Haluan kami jelas berbeda, itu yang pertama kulihat. Aku paling tidak bisa menulis seencer kak Beby, mengalir mulus lus lus, penuh kelucuan, gokil, cupu dan yang pasti gaul sangat! Salut!
Tapi ternyata disitulah letak sinkronnya. Tulisanku yang kaku beku dan mirip kayu akan menjadi sedikit ‘sanggup’ dibaca kalangan remaja (haaa, sudahkah? Bertanya penuh harap. Kalau belum fiuuh! Menyeka keringat, ya sudahlah, aku tak akan menyerah!).
Sesudah training berakhir, aku lagi-lagi menakar kondisiku. Jangan terlalu berharap, apalagi soal-soal ujian kemarin kujawab dalam kondisi terus-terusan terpikir bayiku yang mungkin haus ingin menyusu. Walhasil berat dugaan, semua yang aku tulis di lembar jawaban adalah tulisan-tulisan garing yang hanya akan mengundang tawa tim kaderisasi ketika membacanya (aduh, malunya!).
Minggu berikutnya terlewati, teman-temanku yang lain sudah mendapatkan kabar mengenai kelanjutan penjajajakannya di forum. Aku sendiri belum ada kabar apapun, kutunggu saja beberapa hari lagi. Masih belum ada.
Akhirnya aku bertekad dalam hati, kalau memang belum bisa bergabung tahun ini, aku akan mencoba di lain waktu, tapi aku akan terus belajar, aku akan terus menulis. Lalu siapa yang akan mengoreksi tulisanku agar menjadi tulisan yang layak baca? Lagi-lagi aku berdiskusi dengan orang yang aku anggap mumpuni dalam bidangnya.
Kali ini kak Beby pasti orang yang cocok. Selama ini aku menerima koreksian tulisan dari kak Beby seperti menerima berpucuk-pucuk surat cinta. Aku senaang bukan main. Jadi tanpa malu-malu kuungkapkan pada wali kelasku,“Kak, kalau pun Aini belum bisa join di forum saat ini, masih maukah Kakak membaca tulisan Aini?”
“Kok pasrah gitu, Aini?”
Entahlah, sebab taksiranku memang begitu. Mungkin saja belum bisa bergabung kali ini, sebenarnya aku bukan pasrah. Cuma mempersiapkan langkah berikutnya saja. Tapi, jadi malu juga sama wali kelasku. Ditambah lagi ketika tim kaderisasi forum menghubungi aku, menyatakan selamat bergabung. Senang sekali rasanya. Perasaanku sama ketika dinyatakan lulus di universitas dulu, apalagi ketika muncul SMS berikutnya, “Assalamu’alaikum...Bg penerima SMS ini, anda t’pilih m’jd pemberi testimoni ttg klp anda. Info lbh lnjt hub wali kelas. Sila konfrmsi. Coor. Kelas Menulis Intensif FLP ACEH”
Bletak! Aku ingin pingsan!
Sebenarnya, Kawan, aku ini demam panggung walau bicara dari punggung semua panggung. Ini akan jadi bahasan lanjutan, bukan hanya karena aku cadel melafazkan satu huruf, tapi lebih dari itu. Bukan satu organisasi yang aku ikuti, tapi sampai kini aku selalu mencari ‘zona aman’ sebagai ‘semut pekerja’ sahaja! Entah bagaimana esok Tuhan....
Pekat malam ketika tanggal bertukar
6 November
Komentar
Posting Komentar