Tulisan di bawah ini kubuat larut malam. Ketika kantuk belum juga hadir saat menunggui suami pulang dari Sibreh. Perjalanan Sibreh- Kajhu memakan waktu lebih kurang satu jam. Selama kurun waktu setahun, suamiku bekerja di Sibreh mulai jam dua siang hingga jam sebelas malam. Otomatis sampai di rumah sekitar jam dua belas malam. selama setahun lebih kunanti kepulangannya saban malam. Sampai putri kedua kami lahir, sebulan kemudian kami diboyong suami ke tempat ia kerja.
Pagi hingga siang suami bekerja di sebuah instansi pemerintah sebagai tenaga honorer. Pulang dari kantor pertama langsung menuju kantor berikutnya di Sibreh. Bisa dikata intensitas pertemuan face to face aku dan suami sedikit sekali. Hanya pagi hari sebelum berangkat kerja dan ketika pulang larut malam.
Sebagian orang mempertanyakan bagaimana bisa kami tetap ‘dekat’. Tapi bagi beberapa orang, khususnya adik-adik yang pernah tinggal bersama kami di rumah Kajhu, sangat mengerti dengan kondisi kami berdua. Dia kerap tersenyum simpul saat teman-temannya atau teman-temanku bertanya, “jadi kalian/ mereka berdua kapan ketemunya? Kapan ngobrolnya?”
Beginilah kami adanya. Saat kami tidak bertatap muka secara langsung, fasilitas telfon, SMS, chating di YM, Face Book, bahkan e-mail, kami manfaatkan. Kebetulan ketika aku masih koas di klinik kampus, di sana tersedia wifi gratis. Suami juga punya modem portable sendiri. Kalau sekedar menanyakan “sudah makan siang, Cin?” atau “lagi ngapain, Say?,” cukup via SMS. Tapi kalau sedang rindu dan ingin mendengar suaranya, tinggal minta telfon saja. Yang sedang kaya pulsa silahkan telfon –biasanya sidoi yang telfon :D-
Kalau ada persoalan yang perlu dibicarakan juga bisa telfon langsung. Tapi kalau bahasannya terlalu panjang dan tak penting-penting amat, maka kami memutuskan untuk chating. Kalau sedang on line kami selalu mengaktifkan chat room. Kalau sama-sama sedang OL, pasti langsung bertemu dan menyapa.
Tentu saja khas obrolan suami-istri, pasti punya keunikan gaya bahasa tersendiri pada setiap pasangan. Kami sendiri punya panggilan kesayangan masing-masing. Hampir semua panggilan ‘manis’ kami gunakan dalam komunikasi. Justru dengan cara itu lebih leluasa, kan? Jadi jauh dari kesan lebay dan norak.
Kalau sempat di depan umum kita mengobrol dengan panggilan ‘beib, sayang, cinta, honey, my sweety, yayang, manis, ganteng, cantik, belahan jiwaku, cinta putihku, suamiku, istriku,’ dan banyak lagi, lebay bukan kepalang! Tapi kalau sedang SMS atau chating, di depan umum sekalipun tak masalah. Asal jangan ada yang usil melirik-lirik LCD kita (kalau itu, yang lebay siapa, coba?)
Setelah aku lepas dari aktivitas kampus, tanpa diminta, suami memfasilitasi aku dengan home internet. Dipilihkan yang cukup fleksibel dan sesuai dengan kondisi kantong. Bisa register perhari, perminggu, atau perbulan.
Selain komunikasi via IT, kami juga sering mengobrol ringan ketika larut malam. Ketika tahu hamil anak kedua, aku berusaha istrahat yang cukup. Siang kusempatkan tidur, sekalian dengan putra sulung kami yang masih tiga tahun waktu itu. Aku tetap beraktivitas layaknya ibu rumah tangga di rumah. Dengan seorang adik yang tinggal bersama kami, aku membenahi rumah, memasak, menyuci, dan yang paling utama mengasuh si sulung. Bercerita, menggambar, dan membacakan buku.
Mengantar jemput si sulung ke play group tetap tugas suami. Lagipula, saat di play group, sulung kami sering ogah ke sekolah. Kami pun enggan memaksanya. Sehabis isya aku juga langsung beranjak tidur dengan si sulung. Menyiapkan amunisi agar bisa bangun, membukakan pintu menyambut kepulangan suami.
Sampai di rumah, suamiku tidak langsung tidur. Kami akan berbagi cerita, sering aku yang mengawali cerita mengenai si sulung sejak pulang sekolah sampai tidur malam. cerita celotehnya tentang semua hal termasuk celotehannya menunggui ayahnya pulang.
Tidak jarang sulung kami itu juga ngotot untuk tidak memejamkan matanya, supaya tetap terjaga saat ayahnya tiba di rumah. Aku sendiri cenderung melihat situasi dan kondisi. Kalau sekiranya suamiku punya rencana pulang lebih awal dari biasanya, dan ketika kulihat sulung kami tidur lebih lama ketika siang, maka dia kuperbolehkan menunggu. Kadang-kadang dia tetap terjaga sambil bermain di atas kasur, sementara aku mencoba tidur sejenak. Bisa pula kami sama-sama bermain sampai tiba saatnya suamiku pulang.
Komunikasi kami berdua bukan sekedar lancar, tapi sekuat tenaga kami berusaha untuk selalu menjalin komunikasi yang punya bobot, bibit, dan bebet. Aku yakin dengan sedikit saja usaha dan kemauan semua pasutri bisa melakukan komunikasi jenis ini. Komunikasi yang baik dan indah sering menjadi pelepas lelah, rekreasi menyegarkan, penghibur hati, pengurai jenuh, sekaligus problem solving yang mumpuni untuk semua problematika hidup.
Berujar dengan cara yang santun, jauh dari kesan menyudutkan salah satu pihak, curhat penuh seni (jangan berkeluh kesah tak tentu arah, semuanya jadi bahan untuk mengeluh), diselingi intermezo dibumbui canda tawa, dan sedikit ‘dusta yang diperbolehkan’, menjadikan komunikasi sesingkat apapun menjadi berkesan.
Poin yang terakhir, dusta yang diperbolehkan, baiknya jangan terlalu dilebih-lebihkan, hingga sebagian pihak pria memanfaatkan statemen tersebut sebagai pelegalan untuk memelihara WIL. Sebagai istri akupun yakin, jika aku mampu menghadirkan syurga di rumah, maka ia pun tak perlu lagi berdalih mencari tempat pelarian.
Hm, sebuah pengantar yang panjang untuk sebuah tulisan polos dan apa adanya. Tapi biarlah dikata lebay, tapi membaca tuisan ‘Anak Kunci Itu’ membuatku terasa kembali kepada malam-malam berkesan saat menunggui suamiku pulang ke rumah, setiap malam menunggu, setiap itu pula aku selalu merindu .
02 November 2010
ANAK KUNCI ITU
Anak kunci itu tidak aku berikan kepadamu untuk kau bawa. Sehingga ketika kau pulang, aku tetap bisa tidur nyeyak, sambil bermimpi jauh di alam lain yang tak terjangkau. Sehingga tak perlu aku bangkit dan menyambutmu di depan pintu dengan kantuk yang menggelayuti kelopak mata. Dengan langkah gontai, terhuyung memutar anak kunci dan menarik gagang pintu kita yang mulai longgar karena bautnya berlompatan tak kuat melekat pada kayu pintu rumah kita yang mulai keropos akibat cuaca.
Anak kunci itu aku biarkan melekat di pintu rumah kita, supaya aku bisa memutarnya untuk mengunci rumah agar aman ketika kau meninggalkan kami. Kemudian bisa kubuka lagi saat menyambutmu pulang ke rumah.
Tak pernah sekalipun kutawarkan anak kunci itu supaya kau bawa. Setiap malam larut bersama detik jam yang bernyanyi pelan, aku menanti saat kau pulang, membawa lelah melebihi keletihanku menanti. Tentunya bersama senyum yang mengguratkan lega, karena kami baik-baik saja. Karena aku masih bisa berdiri membukakan untukmu pintu. Kamu begitu lelah sayangku...
Ya, karena kutahu kamu begitu capai dan lelah. Mana mungkin bisa aku bandingkan dengan kelelahanku menanti. Mana bisa aku bandingkan dengan kelopak mata berat dan langkah gontaiku.
Betapa cinta menghapus nestapa bukanlah puitis yang tertulis dibait-bait lagu cinta picisan. Hidup telah mengajarkan aku cinta seperti yang kau perlihatkan dari waktu ke waktu. Walau kemarin orangtuaku sudah mengguyuriku dengan cinta mereka yang tiada kenal pamrih, tapi dirimu juga yang membuatku tersadar. Karena dulu aku terlalu bodoh untuk memahaminya.
Saat ini, mengingat cintamu, menghadirkan sejuta cinta lagi yang sampai kini diberikan orangtua dan keluargaku. Berhimpit-himpit rasanya nikmat yang tak terperi. Tak cukup-cukup terimakasih yang aku miliki untuk mengimbangi segalanya.
Jikalau sempat suatu ketika kukatakan padamu, betapa aku tak lagi bisa menungguimu pulang tengah malam setiap waktu. Lalu kubiarkan anak kunci itu berada di tanganmu saat kau pergi. Bukan kah aku menjadi wanita yang paling merugi dan menyesali keputusan kerdil itu? hingga aku benar-benar tak mampu berdiri dengan kedua kaki ini.
Tak sudi pula aku menitipkannya pada orang lain agar membukakan pintu buatmu. Walaupun dia seorang pelayan baik budi yang dititipkan untuk kita suatu ketika. Maka kumohon bawalah anak kunci itu. Agar tetap bisa rumah dan kami menaungi, menggantikan setiap energi yang kau keluarkan.
10 November 2009
Pagi hingga siang suami bekerja di sebuah instansi pemerintah sebagai tenaga honorer. Pulang dari kantor pertama langsung menuju kantor berikutnya di Sibreh. Bisa dikata intensitas pertemuan face to face aku dan suami sedikit sekali. Hanya pagi hari sebelum berangkat kerja dan ketika pulang larut malam.
Sebagian orang mempertanyakan bagaimana bisa kami tetap ‘dekat’. Tapi bagi beberapa orang, khususnya adik-adik yang pernah tinggal bersama kami di rumah Kajhu, sangat mengerti dengan kondisi kami berdua. Dia kerap tersenyum simpul saat teman-temannya atau teman-temanku bertanya, “jadi kalian/ mereka berdua kapan ketemunya? Kapan ngobrolnya?”
Beginilah kami adanya. Saat kami tidak bertatap muka secara langsung, fasilitas telfon, SMS, chating di YM, Face Book, bahkan e-mail, kami manfaatkan. Kebetulan ketika aku masih koas di klinik kampus, di sana tersedia wifi gratis. Suami juga punya modem portable sendiri. Kalau sekedar menanyakan “sudah makan siang, Cin?” atau “lagi ngapain, Say?,” cukup via SMS. Tapi kalau sedang rindu dan ingin mendengar suaranya, tinggal minta telfon saja. Yang sedang kaya pulsa silahkan telfon –biasanya sidoi yang telfon :D-
Kalau ada persoalan yang perlu dibicarakan juga bisa telfon langsung. Tapi kalau bahasannya terlalu panjang dan tak penting-penting amat, maka kami memutuskan untuk chating. Kalau sedang on line kami selalu mengaktifkan chat room. Kalau sama-sama sedang OL, pasti langsung bertemu dan menyapa.
Tentu saja khas obrolan suami-istri, pasti punya keunikan gaya bahasa tersendiri pada setiap pasangan. Kami sendiri punya panggilan kesayangan masing-masing. Hampir semua panggilan ‘manis’ kami gunakan dalam komunikasi. Justru dengan cara itu lebih leluasa, kan? Jadi jauh dari kesan lebay dan norak.
Kalau sempat di depan umum kita mengobrol dengan panggilan ‘beib, sayang, cinta, honey, my sweety, yayang, manis, ganteng, cantik, belahan jiwaku, cinta putihku, suamiku, istriku,’ dan banyak lagi, lebay bukan kepalang! Tapi kalau sedang SMS atau chating, di depan umum sekalipun tak masalah. Asal jangan ada yang usil melirik-lirik LCD kita (kalau itu, yang lebay siapa, coba?)
Setelah aku lepas dari aktivitas kampus, tanpa diminta, suami memfasilitasi aku dengan home internet. Dipilihkan yang cukup fleksibel dan sesuai dengan kondisi kantong. Bisa register perhari, perminggu, atau perbulan.
Selain komunikasi via IT, kami juga sering mengobrol ringan ketika larut malam. Ketika tahu hamil anak kedua, aku berusaha istrahat yang cukup. Siang kusempatkan tidur, sekalian dengan putra sulung kami yang masih tiga tahun waktu itu. Aku tetap beraktivitas layaknya ibu rumah tangga di rumah. Dengan seorang adik yang tinggal bersama kami, aku membenahi rumah, memasak, menyuci, dan yang paling utama mengasuh si sulung. Bercerita, menggambar, dan membacakan buku.
Mengantar jemput si sulung ke play group tetap tugas suami. Lagipula, saat di play group, sulung kami sering ogah ke sekolah. Kami pun enggan memaksanya. Sehabis isya aku juga langsung beranjak tidur dengan si sulung. Menyiapkan amunisi agar bisa bangun, membukakan pintu menyambut kepulangan suami.
Sampai di rumah, suamiku tidak langsung tidur. Kami akan berbagi cerita, sering aku yang mengawali cerita mengenai si sulung sejak pulang sekolah sampai tidur malam. cerita celotehnya tentang semua hal termasuk celotehannya menunggui ayahnya pulang.
Tidak jarang sulung kami itu juga ngotot untuk tidak memejamkan matanya, supaya tetap terjaga saat ayahnya tiba di rumah. Aku sendiri cenderung melihat situasi dan kondisi. Kalau sekiranya suamiku punya rencana pulang lebih awal dari biasanya, dan ketika kulihat sulung kami tidur lebih lama ketika siang, maka dia kuperbolehkan menunggu. Kadang-kadang dia tetap terjaga sambil bermain di atas kasur, sementara aku mencoba tidur sejenak. Bisa pula kami sama-sama bermain sampai tiba saatnya suamiku pulang.
Komunikasi kami berdua bukan sekedar lancar, tapi sekuat tenaga kami berusaha untuk selalu menjalin komunikasi yang punya bobot, bibit, dan bebet. Aku yakin dengan sedikit saja usaha dan kemauan semua pasutri bisa melakukan komunikasi jenis ini. Komunikasi yang baik dan indah sering menjadi pelepas lelah, rekreasi menyegarkan, penghibur hati, pengurai jenuh, sekaligus problem solving yang mumpuni untuk semua problematika hidup.
Berujar dengan cara yang santun, jauh dari kesan menyudutkan salah satu pihak, curhat penuh seni (jangan berkeluh kesah tak tentu arah, semuanya jadi bahan untuk mengeluh), diselingi intermezo dibumbui canda tawa, dan sedikit ‘dusta yang diperbolehkan’, menjadikan komunikasi sesingkat apapun menjadi berkesan.
Poin yang terakhir, dusta yang diperbolehkan, baiknya jangan terlalu dilebih-lebihkan, hingga sebagian pihak pria memanfaatkan statemen tersebut sebagai pelegalan untuk memelihara WIL. Sebagai istri akupun yakin, jika aku mampu menghadirkan syurga di rumah, maka ia pun tak perlu lagi berdalih mencari tempat pelarian.
Hm, sebuah pengantar yang panjang untuk sebuah tulisan polos dan apa adanya. Tapi biarlah dikata lebay, tapi membaca tuisan ‘Anak Kunci Itu’ membuatku terasa kembali kepada malam-malam berkesan saat menunggui suamiku pulang ke rumah, setiap malam menunggu, setiap itu pula aku selalu merindu .
02 November 2010
ANAK KUNCI ITU
Anak kunci itu tidak aku berikan kepadamu untuk kau bawa. Sehingga ketika kau pulang, aku tetap bisa tidur nyeyak, sambil bermimpi jauh di alam lain yang tak terjangkau. Sehingga tak perlu aku bangkit dan menyambutmu di depan pintu dengan kantuk yang menggelayuti kelopak mata. Dengan langkah gontai, terhuyung memutar anak kunci dan menarik gagang pintu kita yang mulai longgar karena bautnya berlompatan tak kuat melekat pada kayu pintu rumah kita yang mulai keropos akibat cuaca.
Anak kunci itu aku biarkan melekat di pintu rumah kita, supaya aku bisa memutarnya untuk mengunci rumah agar aman ketika kau meninggalkan kami. Kemudian bisa kubuka lagi saat menyambutmu pulang ke rumah.
Tak pernah sekalipun kutawarkan anak kunci itu supaya kau bawa. Setiap malam larut bersama detik jam yang bernyanyi pelan, aku menanti saat kau pulang, membawa lelah melebihi keletihanku menanti. Tentunya bersama senyum yang mengguratkan lega, karena kami baik-baik saja. Karena aku masih bisa berdiri membukakan untukmu pintu. Kamu begitu lelah sayangku...
Ya, karena kutahu kamu begitu capai dan lelah. Mana mungkin bisa aku bandingkan dengan kelelahanku menanti. Mana bisa aku bandingkan dengan kelopak mata berat dan langkah gontaiku.
Betapa cinta menghapus nestapa bukanlah puitis yang tertulis dibait-bait lagu cinta picisan. Hidup telah mengajarkan aku cinta seperti yang kau perlihatkan dari waktu ke waktu. Walau kemarin orangtuaku sudah mengguyuriku dengan cinta mereka yang tiada kenal pamrih, tapi dirimu juga yang membuatku tersadar. Karena dulu aku terlalu bodoh untuk memahaminya.
Saat ini, mengingat cintamu, menghadirkan sejuta cinta lagi yang sampai kini diberikan orangtua dan keluargaku. Berhimpit-himpit rasanya nikmat yang tak terperi. Tak cukup-cukup terimakasih yang aku miliki untuk mengimbangi segalanya.
Jikalau sempat suatu ketika kukatakan padamu, betapa aku tak lagi bisa menungguimu pulang tengah malam setiap waktu. Lalu kubiarkan anak kunci itu berada di tanganmu saat kau pergi. Bukan kah aku menjadi wanita yang paling merugi dan menyesali keputusan kerdil itu? hingga aku benar-benar tak mampu berdiri dengan kedua kaki ini.
Tak sudi pula aku menitipkannya pada orang lain agar membukakan pintu buatmu. Walaupun dia seorang pelayan baik budi yang dititipkan untuk kita suatu ketika. Maka kumohon bawalah anak kunci itu. Agar tetap bisa rumah dan kami menaungi, menggantikan setiap energi yang kau keluarkan.
10 November 2009
Hmmm...... Mengharukan.... Perjuangan yang dilandasi hati ikhlas, Insya Allah bernilai jihad....
BalasHapusamin, terimakasih kunjungannya, Pak :) barakah lah hari Anda
BalasHapus