Berbekal secangkir Brown Cofee maghrib tadi, aku mencoba kembali menarikan pena. Walau terkesan dipaksakan, yah, mau bagaimana lagi? Aku menunggu mood datang, sementra ia sendiri tidak jelas kemana juntrungnya. Seminggu lebih aku menantinya, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk membuatku menjadi canggung untuk kembali memulai. Ini tak boleh berlangsung lama, begitu gumamku.
Sudah hampir genap setahun kami tinggal di pusat pengasuhan anak. Setahun ternyata begitu singkat. Rasanya baru kemarin aku melahirkan puteri kedua kami, kemudian belum genap 40 hari, suami tercinta memboyong kami ke tempat kerjanya. Ya, di panti ini. tanpa terasa juga, puteri kedua kami, Shabiyya, mulai belajar berjalan. Sudah sebelas bulan kini usianya.
Masih hilir mudik pertanyaan yang sama dengan redaksi berbeda’ “apa yang membuatku tetap bertahan di rumah? Menyimpan rapi surat-surat lulus dan berkas-berkas lamaran kerja.” Semua masih kujawab dengan selarik senyum saja. Entahlah, apa pendapat mereka.
Ini tahun kedua aku bertahan dengan tiga kali iseng saja memasukkan berkas dan surat lamaran ke tiga instansi pemerintahan. Aku masih ingat, satu ke Litbang Kemenkes, satu ke instansi akademisi negeri, satu lagi ke Pemda. Selebihnya, tak pernah kemana pun. Teman seangkatanku dalam jangka waktu dua tahun, tak lagi bisa dihitung berapa kali aplikasi lamaran kerja yang diajukannya.
Sekali lagi, entah apa kata mereka. Pro dan kontra terus berseliweran tak tentu arah mana yang mereka tuju. Yang paling membuatku lega adalah, kedua orangtua dan suamiku tetap menghargai apa pun yang menjadi pilihanku. Tak ada yang mengeluhkan keleletanku untuk memulai karir di luar rumah.
Tuhan Maha Tahu, sungguh aku tak bermaksud sombong memilih seperti ini. Ataupun “berbulu buruk” hingga sial kemana melangkah. Toh, aku tak percaya mitos “buruk bulu” itu. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, hingga ia mengubahnya dengan tangannya sendiri” (tolong perbaiki redaksinya jika salah). Itulah yang aku yakini. Begitu terus hingga hari ini.
Sebagian menilai sinis, sebagian lagi merespon baik pilihanku untuk bersikeras memilih profesi Ibu Rumah Tangga. Paling tidak buat sementara waktu sampai anak-anak melewati masa golden age-nya.
Masalah menerobos gelar yang kabarnya begitu prestise, yakni ‘seorang wanita karir’ tersebut, bukan lagi terletak pada pasal sulitnya mencari kerja saat ini. Aku sendiri masih terdaftar sebagai Assisten di sebuah lab kampusku dulu, walau statusnya assisten meja, belakangan karena sudah cukup lama di sana, aku ditawari menjadi koordinator. Menjadi koordinator adalah batu loncatan yang bagus. Semua tentu tau juga kemana arahnya. Assisten dosen kemudian dosen. Aku mundur teratur dan perlahan, dengan catatan dari koordinatornya, datanglah lagi kapan saja ada minat.
Tak lama setelah lulus, seorang penting yang masih terhitung karib suamiku menawari sebuah posisi di dinas tempat kami tinggal yang sesuai dengan bidangku. Aku masih bergeming saja. Rentetan lainnya datang, lagi-lagi dari teman suamiku. Menjadi dosen di almamaterku. Ini hanya mencoba saja, pokoknya kita usahakan, begitu pesannya. Aku merasa belum juga siap.
Terdengar kabar yang menurutku sedikit provokatif. Jadi, disebutlah beberapa teman sekolahku dulu. Ia sudah jauh hari mengumpulkan uang mati-matian, untuk sebuah posisi aman. Guru SD di sebuah desa terpencil, ia membayar 70 juta untuk menjadi PNS. Satunya lagi jauh lebih murah, hanya dengan 40 juta saja sebagai pegawai di sebuah Puskesmas. Hah? Yang benar saja?
Proses pengumpulan dana yang penuh perjuangan itu dilaluinya tepat di hidung kami. Bagaimana lagi aku sangkal dan mengatakan hal semacam itu hanya kabar burung belaka? Tak habisnya pikiran polosku bertanya, bagaimana mereka akan mengganti sejumlah yang tak sedikit itu? Jawaban yang aku dapat hanyalah derai tawa penuh bahana. Ternyata bukan jidatku saja yang terlihat polos.
Uang sejumlah itu terlalu sedikit untuk urusan semacam itu, sementara betapa banyak saudara-saudara kita yang hidup di bawah ambang wajar sangking melaratnya. Untuk makan sekali sehari saja sulit, sementara uang sejumlah itu hanya dibuang untuk selembar SK. Sudahlah, sudah kemana cerita kita tadi? Aku hanya tak habis heran, masih sanggup manusia-manusia semacam itu hidup, kemudian berjalan hilir-mudik. Menghirup udara gratisan dari Tuhan. Ah, alangkah lucunya negeri ini.
Walau masih terkesan linglung sebab tak sua jawaban yang cocok, aku coba kembali ke pembicaraan awal. Kenapa aku masih tetap memuseumkan lembaran berharga yang kuperjuangkan mati-matian dulu.
Beginilah sebenarnya. Aku masih tak kuat memandang binar mata penuh tanya sepasang buah hatiku. Kemana aku sehari penuh ketika tidak bersama mereka?
Aku tau anak-anak harus belajar dewasa, belajar mengerti, belajar maklum, yang terpenting, belajar mandiri dalam hidup ini. tapi sungguh, ketika aku mencoba memasukkan aplikasi lamaran kerja itu, ada beberapa momen yang membuat aku harus berpisah dengan kedua pasang binar mata zamrud penuh pesona itu. Entahlah aku harus mengutuk atau bersyukur memiliki sifat ‘lebay’ tak karuan ini.
Aku rindu suara mereka, rengek manjanya, wangi tubuh, uap nafas, cengkeraman erat jemari saat kakinya menginjak gamang ke bumi. Aku rindu tubuh-tubuh mungil itu menggelayuti tubuhku. Tingkah polah si sulung yang sedang mengalami sibling rivalry. Teriakan khas ala balita mencuri perhatian Bundanya.
Saus sphagetti yang tumpah di meja makan dan noda es krim di baju mungil. Oh, Tuhan, betapa aku mencintai profesi ini. Pernah aku mencari seorang asisten rumah tangga. Ia membantu pekerjaan rumahku. Dalam bulan itu, sekalipun ia belum pernah memandikan bungsu kami dan memandikan si sulung hanya tiga kali saja. Kami menggajinya, menggunakan jasanya. Ia meringankan pekerjaanku, paling tidak berusaha ke arah itu.
Sebelumnya juga pernah ada yang bekerja part time. Beberapa nama sebelum assiten yang terakhir ini, jauh lebih baik bekerjanya dari pada ia. Tapi benarlah adanya. Sungguh aku bisa membayar mereka untuk meringankan tugas rumah tangga, tapi aku semakin terhenyak ketika menyadari, tak akan mungkin aku membayar seseorang untuk mencintai anak-anakku.
Sekali lagi TAK BISA AKU MEMBAYAR SESEORANG UNTUK MENCINTAI ANAK-ANAKKU.
Maka, selarik senyum saja sudah cukup menjelaskan sebuah alasan yang sangat sederhana. Mengapa aku tetap bertahan di tempat yang sama dalam jangka waktu yang tak mampu aku jawab.
26 Februari, pukul 24 teng
Sudah hampir genap setahun kami tinggal di pusat pengasuhan anak. Setahun ternyata begitu singkat. Rasanya baru kemarin aku melahirkan puteri kedua kami, kemudian belum genap 40 hari, suami tercinta memboyong kami ke tempat kerjanya. Ya, di panti ini. tanpa terasa juga, puteri kedua kami, Shabiyya, mulai belajar berjalan. Sudah sebelas bulan kini usianya.
Masih hilir mudik pertanyaan yang sama dengan redaksi berbeda’ “apa yang membuatku tetap bertahan di rumah? Menyimpan rapi surat-surat lulus dan berkas-berkas lamaran kerja.” Semua masih kujawab dengan selarik senyum saja. Entahlah, apa pendapat mereka.
Ini tahun kedua aku bertahan dengan tiga kali iseng saja memasukkan berkas dan surat lamaran ke tiga instansi pemerintahan. Aku masih ingat, satu ke Litbang Kemenkes, satu ke instansi akademisi negeri, satu lagi ke Pemda. Selebihnya, tak pernah kemana pun. Teman seangkatanku dalam jangka waktu dua tahun, tak lagi bisa dihitung berapa kali aplikasi lamaran kerja yang diajukannya.
Sekali lagi, entah apa kata mereka. Pro dan kontra terus berseliweran tak tentu arah mana yang mereka tuju. Yang paling membuatku lega adalah, kedua orangtua dan suamiku tetap menghargai apa pun yang menjadi pilihanku. Tak ada yang mengeluhkan keleletanku untuk memulai karir di luar rumah.
Tuhan Maha Tahu, sungguh aku tak bermaksud sombong memilih seperti ini. Ataupun “berbulu buruk” hingga sial kemana melangkah. Toh, aku tak percaya mitos “buruk bulu” itu. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, hingga ia mengubahnya dengan tangannya sendiri” (tolong perbaiki redaksinya jika salah). Itulah yang aku yakini. Begitu terus hingga hari ini.
Sebagian menilai sinis, sebagian lagi merespon baik pilihanku untuk bersikeras memilih profesi Ibu Rumah Tangga. Paling tidak buat sementara waktu sampai anak-anak melewati masa golden age-nya.
Masalah menerobos gelar yang kabarnya begitu prestise, yakni ‘seorang wanita karir’ tersebut, bukan lagi terletak pada pasal sulitnya mencari kerja saat ini. Aku sendiri masih terdaftar sebagai Assisten di sebuah lab kampusku dulu, walau statusnya assisten meja, belakangan karena sudah cukup lama di sana, aku ditawari menjadi koordinator. Menjadi koordinator adalah batu loncatan yang bagus. Semua tentu tau juga kemana arahnya. Assisten dosen kemudian dosen. Aku mundur teratur dan perlahan, dengan catatan dari koordinatornya, datanglah lagi kapan saja ada minat.
Tak lama setelah lulus, seorang penting yang masih terhitung karib suamiku menawari sebuah posisi di dinas tempat kami tinggal yang sesuai dengan bidangku. Aku masih bergeming saja. Rentetan lainnya datang, lagi-lagi dari teman suamiku. Menjadi dosen di almamaterku. Ini hanya mencoba saja, pokoknya kita usahakan, begitu pesannya. Aku merasa belum juga siap.
Terdengar kabar yang menurutku sedikit provokatif. Jadi, disebutlah beberapa teman sekolahku dulu. Ia sudah jauh hari mengumpulkan uang mati-matian, untuk sebuah posisi aman. Guru SD di sebuah desa terpencil, ia membayar 70 juta untuk menjadi PNS. Satunya lagi jauh lebih murah, hanya dengan 40 juta saja sebagai pegawai di sebuah Puskesmas. Hah? Yang benar saja?
Proses pengumpulan dana yang penuh perjuangan itu dilaluinya tepat di hidung kami. Bagaimana lagi aku sangkal dan mengatakan hal semacam itu hanya kabar burung belaka? Tak habisnya pikiran polosku bertanya, bagaimana mereka akan mengganti sejumlah yang tak sedikit itu? Jawaban yang aku dapat hanyalah derai tawa penuh bahana. Ternyata bukan jidatku saja yang terlihat polos.
Uang sejumlah itu terlalu sedikit untuk urusan semacam itu, sementara betapa banyak saudara-saudara kita yang hidup di bawah ambang wajar sangking melaratnya. Untuk makan sekali sehari saja sulit, sementara uang sejumlah itu hanya dibuang untuk selembar SK. Sudahlah, sudah kemana cerita kita tadi? Aku hanya tak habis heran, masih sanggup manusia-manusia semacam itu hidup, kemudian berjalan hilir-mudik. Menghirup udara gratisan dari Tuhan. Ah, alangkah lucunya negeri ini.
Walau masih terkesan linglung sebab tak sua jawaban yang cocok, aku coba kembali ke pembicaraan awal. Kenapa aku masih tetap memuseumkan lembaran berharga yang kuperjuangkan mati-matian dulu.
Beginilah sebenarnya. Aku masih tak kuat memandang binar mata penuh tanya sepasang buah hatiku. Kemana aku sehari penuh ketika tidak bersama mereka?
Aku tau anak-anak harus belajar dewasa, belajar mengerti, belajar maklum, yang terpenting, belajar mandiri dalam hidup ini. tapi sungguh, ketika aku mencoba memasukkan aplikasi lamaran kerja itu, ada beberapa momen yang membuat aku harus berpisah dengan kedua pasang binar mata zamrud penuh pesona itu. Entahlah aku harus mengutuk atau bersyukur memiliki sifat ‘lebay’ tak karuan ini.
Aku rindu suara mereka, rengek manjanya, wangi tubuh, uap nafas, cengkeraman erat jemari saat kakinya menginjak gamang ke bumi. Aku rindu tubuh-tubuh mungil itu menggelayuti tubuhku. Tingkah polah si sulung yang sedang mengalami sibling rivalry. Teriakan khas ala balita mencuri perhatian Bundanya.
Saus sphagetti yang tumpah di meja makan dan noda es krim di baju mungil. Oh, Tuhan, betapa aku mencintai profesi ini. Pernah aku mencari seorang asisten rumah tangga. Ia membantu pekerjaan rumahku. Dalam bulan itu, sekalipun ia belum pernah memandikan bungsu kami dan memandikan si sulung hanya tiga kali saja. Kami menggajinya, menggunakan jasanya. Ia meringankan pekerjaanku, paling tidak berusaha ke arah itu.
Sebelumnya juga pernah ada yang bekerja part time. Beberapa nama sebelum assiten yang terakhir ini, jauh lebih baik bekerjanya dari pada ia. Tapi benarlah adanya. Sungguh aku bisa membayar mereka untuk meringankan tugas rumah tangga, tapi aku semakin terhenyak ketika menyadari, tak akan mungkin aku membayar seseorang untuk mencintai anak-anakku.
Sekali lagi TAK BISA AKU MEMBAYAR SESEORANG UNTUK MENCINTAI ANAK-ANAKKU.
Maka, selarik senyum saja sudah cukup menjelaskan sebuah alasan yang sangat sederhana. Mengapa aku tetap bertahan di tempat yang sama dalam jangka waktu yang tak mampu aku jawab.
26 Februari, pukul 24 teng
Komentar
Posting Komentar