Langsung ke konten utama

CERITA SECANGKIR KOPI

Belakangan ini kegilaanku menyeruput kopi semakin meningkat. Tak heran ‘syndrom gentayangan tengah malam’-pun menjadi ritual lanjutan yang menjadi side effect-nya. Ingin aku tinggalkan kebiasaan ini, tapi tak semudah yang kukira.

Menjadi pecandu awal secangkir kopi bukanlah sekedar latah-latahan saja. Hampir setahun aku puasa minuman yang punya kandungan nikotin ini. selama puasa itu aku menggantinya dengan secangkir teh jasmine.

Saat ini, ketika putri kedua kami mulai beranjak setahun, godaan ngopi tak bisa kuhindari. Toh, ia tidak terlalu bergantung pada ASI lagi, pikirku. Sebab, konon katanya kandungan nikotin pada kopi tidak baik untuk wanita hamil dan menyusui.

Keranjingan kopi ini diawali dengan kedekatanku dengan seorang pria. Yup, ketika aku sudah menikah, disinilah aku mulai tergoda menikmati kopi. Awalnya sesendok, kemudian sekali hirup, setengah gelas, satu gelas. Eits, sudah cukup! Satu gelas 250 ml, tak boleh lebih dari itu. Ketika melek di pagi hari, yang selalu aku lakukan setelah shalat subuh adalah menyeduh kopi. Aroma khasnya menggelitik indera bauku, tanpa pikir panjang kunikmati saja sensasi rasanya sekalian.

Di Banda Aceh dan sekitarnya, belum dikatakan penikmat kopi kalau belum pernah menyicipi Sanger. Tak terlalu istimewa memang, kopi susu yang ditambahkan dengan sedikit gula ini hampir mirip dengan Capuccino. Tapi cara penyajiannya yang agak istimewa. Sanger disajikan dengan cara piawai oleh barista-nya, mengangkat penyaring kopi dengan cukup tinggi berhasil membuat gelembung buih yang berbusa pada permukaan minuman tersebut.

Aku ingat, saat masih koasistensi, selepas operasi ovariohysterectomi beberapa ekor anjing di klinik bedah Veteriner, dokter Din mengajak kami nyager di ruang persentase. Ditemani dengan dua bungkus gorengan hangat, tiba-tiba aku tak bisa menahan diri. Dengan enam kali teguk saja, aku menghabiskan Sanger panas satu setengah cup mangkuk air mineral. Sekira ada sekitar 350 ml volumenya. Enam kali teguk bukan frekuensi yang fantastis memang, tapi bayangkan saja kalau kondisi minuman itu masih panas. Kuseruput sampai tandas.

Tak menunggu sampai beberapa hari, keesokan paginya pencernaanku betingkah. Agaknya aku mengidap panas dalam yang parah. Tonsil-ku meradang. Tenggorokanku adalah bagian yang terparah, susah payah aku menelan makanan yang masuk. Bahkan untuk meneguk hampa saja terasa perih dan sakit.

Setelah peristiwa itu, aku sempat trauma sesaat menyesap minuman yang aslinya berwarna hitam itu. Tapi yang namanya sesaat akan luntur juga. Bulan berikutnya, ketika panas dalamku sudah pulih, aku nyaris lupa rasa sakit yang membuat aku seolah ingin mengompol saking sakitnya saat menelan makanan apa saja.
Nah, ini hari...., mari minum kopi lagi. Brown coffee!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...