Langsung ke konten utama

"MALIPEK TANDO"

        “Apa? Nggak boleh sering-sering ketemu Amak?” Tanyaku dengan nada heran yang tak dapat disembunyikan.

        “Iya, Mak. Alasannya, ntar kan, selesai menikah Nindi akan dibawa ke Jawa. Terus menetap di sana. Kan jauh, kalau sering-sering pulang, berat diongkos. Itu alasan dia, Mak. Satu lagi, Nindi harus tetap di rumah merawat mertua yang sedang tak sehat.” Putri semata wayangku menjawab dengan lesu, kutahu ia juga tak sanggup mengungkapkan alasan itu. Alasan yang sungguh tidak berdasar. Kubaca luka di matanya.
        “Nggak ... nggak mungkin, Ndi!”

        “Iya, Mak, tapi mau bagaimana lagi, dia sudah datang mengantarkan ‘tanda’,”

        “Kenapa dia nggak bicara sejak awal mengenai persyaratan ini?”

        “Nindi juga nggak mengerti, Mak. Memang sebelumnya dia bilang ada sesuatu yang akan menjadi persyaratannya, tapi, insya Allah tidak akan memberatkan Nindi dan keluarga ...”

        “Tidak memberatkan bagaimana? Ini nggak mungkin, Ndi. Kamu lah milik Amak satu-satunya di dunia ini. Abak sudah sejak lama pergi, Amak yang membesarkanmu sendirian, Ndi. Kenapa, kenapa harus itu persyaratannya? Lalu keharusan merawat mertua. Bukan apa-apa, tapi caranya itu...” Bulir bening tak terbendung lagi. Aku merasakan luka yang sangat.

        “Ini tidak mungkin kita teruskan. Tidak bisa...”

        “Mak, Nindi juga merasa tak sanggup, tapi lebih tak sanggup lagi rasanya kalau harus membatalkan pertunangan ini. Nindi tak mau Amak menanggung beban yang lebih berat lagi. Nindi nggak sanggup kalau membayangkan Amak harus malipek tando.”

        Nindi sesenggukan, jemarinya merengkuh bahu rentaku.

        “Amak bisa, Ndi. Amak bisa ...”

        “Mak, Nindi mohon, tak ada yang lain yang menjadi kekhawatiran Nindi, tak mungkin kita mengembalikannya. Jumlahnya dua puluh, Mak...”

        “Ya, kita kembalikan empat puluh, kan?” Jawabku dengan pelan penuh tekanan. Nindi tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun. Hanya kesadarannya seperti ditelan bulat-bulat oleh tangis yang sedari tadi sudah memampat aliran oksigen ke pernafasannya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...