Hm, beginilah jadi single parent untuk puluhan anak. Minta ampyuuuun, deh! Dari mulai urusan satu sendok yang raib dari meja makan, sampai urusan pompa air mushalla yang digondol maling. Maling..., oh maling, punya anak yatim, kok diambil, sih?
Suamiku masih di kampung hari itu. Sudah lebih seminggu Ibunda kami dirawat di Rumah Sakit akibat hipoglikemia. Tinggal aku dan seorang pengasuh menemani anak-anak. Sementara Kak Masyitah, pengasuh perempuan, sedang kurang sehat dan pulang ke rumah keluarganya. Tadi malam aku memang kurang tidur, ada proposal yang nyaris terbentur deadline. Sorenya sudah kelelahan juga keliling komplek seperti biasa, tapi kali ini memang lelah luar biasa. Apalagi beberapa anak memang sulit mengikuti peraturan, mungkin lebih tepatnya rada sulit diatur. Whatever lah, intinya aku dalam keadaan gonjang-ganjing hari itu.
Sudah lewat tengah hari puteriku Biyya, belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin tidur. Padahal sudah mengantuk, tapi insting anak setahunnya terus-terusan membuat dia ingin bermain dan menolak kuajak naik ke kasur. “Huft, come on beib, it’s time to take a rest!” aku sedikit kelimpungan. Pasalnya ia memang lengket abis, tak mau explore sendirian, inginnya selalu melibatkan bundanya.
“Assalamu’alaikum,” suara salam keempat kalinya, setelah tadi salah seorang staf panti bolak-balik ke rumah untuk menyelesaikan proposal dan mengambil pompa air baru untuk dipasang di sumur mushalla.
Aku menjawab salam sambil menyambar jilbab. “Haia, mau jam berapa Biyya tidur ini, hiks” mengeluh juga akhirnya karena timing menidurkan Biyya tak kunnjung datang. Sementara pekerjaan lain sudah menanti untuk dijamah.
“Maaf, Bu, menganggu. Kami dari Polsek Sibreh ingin mengambil data baru anak-anak panti,” ujar laki-laki berkulit legam dan berbadan tegap yang berdiri di depan teras rumah. Kuperhatikan sekilas, baju kemeja kuning pudar, celana jeans, sepatu. Tak pakai baju dinas, tapi perawakannya memang menunjukkan kalau ia seorang Polisi.
“Owh, iya. Apa harus hari ini?” kubayangkan harus nge-print lagi dengan kondisi Biyya yang rada rewel dan sialnya printer baru saja kupindahkan ke atas kemari. Haha, dasar emak-emak si tukang beres-beres. Beberapa hari ini rumah memang disulap jadi kantor, ini ulah si Ayah atau si Bunda yang minta ditemani 24 jam. Nggak ding, cuma printer doang, kok, yang dipindahin.
Laki-laki itu mengangsur sebuah amplop yang di depannya tertulis ‘Panti Asuhan Muhammadiyah-YOTS desa Tampok Blang’ “Benar yang ini ya, Bu? Soalnya ada beberapa panti di sekitar sini. Ini data lama, Bu...”
“Hm, iya, betul. Kalau besok, boleh nggak saya antar ke Polsek saja data barunya, Pak? Karena sekarang belum diprint.”
“Owh, nggak apa-apa, Bu. Jumat saja saya balik lagi,” jawabnya sopan.
“Alhamdulillah, masih dikasih tenggat waktu,” pikirku. Setelah berbasa-basi sedikit Pak Polisi itu langsung pamit, nggueeeng... Nah, waktunya bobo ya, Biyya!
Belum sampai lima belas menit, ponselku bernyanyi-nyanyi. Tampak sederet nomor tak terdaftar di layarnya.
“Assalamualaikum,” aku angkat juga akhirnya.
“Wa’alaikumsalam, mana Mama’?” suara di ujung telpon itu terdengar sangat panik. Aku yang baru saja sms-an dan chating dengan suamiku mengenai perkembangan Mama’ jadi ikutan panik. Rasanya baru satu jam lalu aku mengobrol dengan suami tentang Mama’ yang ternyata sakit ginjal juga, dan harus dirujuk ke Rumah Sakit di Medan. Lampu chating masih hijau di notebook ruang tengah, biasanya kubiarkan saja menyala tanpa memperhatikan lebih lanjut.
“Lho, Mama’ kenapa? Bukannya sedang di Rumah Sakit? Ini siapa?”
“Ini aku, Kak! Aduuh, Kak..., tolong. Abang mana, Kak? Aku nabrak anak orang ni, Kak di simpang. Sekarang aku sama polisi...”
“Ya, Bang Udi kan di Rumah Sakit! Ini Hasballah?” tebakku langsung. Sebab yang asyik wara-wiri dengan Scoopy-nya itu cuma Hasballah. Ia memang anak asuh kami dulu, sekarang sudah pulang ke rumah orangtuanya dan membantu abangnya di warung kopi. Hasballah juga sudah mandiri sekarang. Jadi, walaupun ia masih sering inap di panti, tapi Ballah, begitu ia sering kami sapa, tidak lagi masuk dalam data anak-anak asuh kami. Anak-anak lain memanggilku Bunda, Ballah satu-satunya yang tetap memanggilku dengan sebutan ‘Kakak’.
“Kak, gimana ini?” desaknya.
“Anak yang ditabrak itu gimana?”
“Udah dilarikan ke Rumah Sakit, Kak. Sekarang Hasballah sedang ditahan sama polisi ini, di kantong ada uang orang dua juta. Nanti kalau sampai ke kantor polisi bisa habis, Kak. Soalnya ini uang orang, Kak. Aduh, Kak, tolong, Kak!” desaknya terus tanpa memberi jeda buatku bernafas.
“Kak, ini polisinya mau ngomong, Kak” imbuhnya lagi. Bisa kudengar gumamannya di ujung sana “Pak, ini Kakak saya,” lalu jeda sebentar. Suara di ujung telpon berganti. Kali ini sedikit berat. “Maaf, Bu. Kalau saya boleh tau, Ibu ini siapanya Hasballah?”
“Saya ibu asuhnya,” jawabku sekenanya. “Kondisi anak yang tertabrak gimana, Pak? Lukanya parah?”
“Sudah dilarikan ke Rumah Sakit, Bu...”
“Iya, saya tanya kondisinya, Pak, seperti apa?” kejarku lagi. Sebab yang lebih mendominasi pikiranku adalah si korban. Aku ingin tau separah apa, usianya berapa, dan bagaimana keadaannya sekarang. Sementara keadaan Hasballah sebenarnya mengusikku juga, apa dia juga terluka? Tapi karena sudah mendengar suaranya langsung, kekhawatiranku tentang itu sedikit bisa diabaikan.
“Lumayan parah, Bu. Kepalanya bocor...” jawab pemilik suara bariton itu.
“Innalillah...”, gumamku spontan. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang aneh menjalari pikiranku. Lalu buyar begitu saja karena degup jantungku terus dipacu suara bariton tadi.
“Jadi, begini, Bu. Hasballah ini akan kami bawa ke kantor sekarang. Tapi persoalannya tidak akan kami persulit kalau Ibu mau membantu.”
“Lho, saya tidak tahu menahu. Bantuan semacam apa pula yang bisa, Pak? Sementara kondisi saya memang nggak memungkinkan ke sana.”
“Ibu sekarang sedang dimana?”
“Saya sedang di rumah,”
“Maaf, di rumah dimananya, Bu?”
“Saya di Sibreh”
“Ya, ini kami sedang di Simpang Sibreh, Bu”
“Saya nggak bisa ke sana, Pak!” aku jadi ilfeel karena Pak Polisi ini mengatakan “tidak akan mempersulit kalau bla bla bla.” Jadi curiga, pasti ujung-ujungnya duit.
“Hasballah saya antar sekarang ke rumah Ibu, tapi kalau Ibu mau membiayai akomodasi anak buah saya.” Nah, kan! Sudah kuduga ini. Tapi karena Polisi, agak ciut juga aku menggamparnya. Mana anak asuhku juga sedang payah. Yang aku khawatirkan Hasballah ditabok sama mereka. Bukan nggak mungkin, kan?
“Maksud Bapak ini apa? Kasih uang gitu? Saya nggak bisa. Kondisi saya tidak memungkinkan dan saya juga tidak pegang uang, Pak,” jawabku menegaskan. Dalam hati aku berpikir, kalau memang Hasballah minta bantuan uang, kenapa nggak kasih langsung saja. Bukankah dia cerita barusan kalau ia sedang pegang uang? Walaupun uang orang, kan bisa diganti.
“Kak, gini aja, Kak. Mereka minta pulsa ini. Nomornya Kakak catat aja, udah dikasih ini. Tolong, Kak. Nanti Hasballah ganti uangnya,” tiba-tiba telpon sudah berpindah tangan lagi.
“Hah? Pulsa?”
“Iya, Kak, ini Pak Haryadi ini yang bilang, Kak...”
Suara di ujung telpon berubah lagi.
“Gini aja, Bu. Sekarang tolong catat nomor anak buah saya dan tolong Ibu isikan pulsa masing-masing seratus ribu ke nomor itu. Setelah itu Hasballah kami antar ke rumah Ibu,”
“Kenapa harus begitu, Pak? Saya nggak tau isi dimana?”
“Kalau ada orang di sekitar Ibu atau tolong sms saja, pokoknya nomor anak buah saya yang dua orang ini diisikan, Bu. Hasballah sekarang mau kami bawa ke kantor ini”
Tiba-tiba terdengar suara yang satu lagi, “Kak, tolonglah, jangan sampai dibawa, Kak. Kan udah Hasballah bilang tadi, Kak, yang itu..., tolonglah isikan, Kak. Nanti diganti uangnya. Nomornya saya smskan aja ya, Kak. Masing-masing seratus ribu, Kak. Bilang sama Bang Udi boleh juga, Kak. Tolong ya, Kak. Sekarang...” Mulai lagi, ngeles!
“Ballah ni gimana? Bang Udi sedang temani Mama’ di RS, dia juga nggak ada saldo tuh, udah seminggu nggak ke bank.”
“Tolonglah, Kak..., tolong...”
“Ya udah, kakak isikan lima puluh ribu aja ya, Ballah?”
“Nggak mau orang itu, Kak...”
“Kakak telpon Bang Udi dulu, atau Ballah aja yang nelpon Bang Udi langsung.”
“Ya, Kak, coba telpon Bang Udi dulu ya, Kak...minta tolong kali, Kak...”
Aku mengkhiri telpon dan mulai berbicara dengan suamiku. Ia mengaku belum ada dihubungi Hasballah. Akhirnya suamiku memutuskan kalau ia yang akan menelpon Hasballah sekarang.Tak ada sahutan, telpon dari suamiku tak diangkat. Tiba-tiba nomor yang tadi menghubungiku lagi.
“Udah diisi belum, Kak?”
“Ya belumlah..., Bang Udi mau ngomong sama Ballah, kok telponnya malah nggak diangkat?”
“Itu Kak, nomor satunya lagi ditahan sama anak buah Pak Haryadi.”
“Kalau gitu Ballah minta tolong orang dekat-dekat situ aja isi pulsanya. Telpon juga abang Ballah. Kakak juga nggak enak nanti melangkahi orangtua Ballah pula. Telpon abang aja sekarang.” Perintahku seperti yang disarankan suamiku barusan.
“Tapi tolong pulsanya diisikan ya, Kak...,” pintanya pantang menyerah.
“Ini, Bu, tolong diisikan pulsa anak buah saya masing-masing seratus ribu. Tolong Ibu catat saja nomernya...” si Bariton unjuk suara.
“Saya nggak bisa catat, Pak. Di sms-kan aja nomernya.” Jawabku lagi.
Aku kembali mengobrol via telpon dengan suamiku. Suamiku mulai khawatir dengan teror lanjutan dan menyarankanku memanggil anak asuh kami, Haikal, di seberang rumah. Siang hari itu cukup terik, sepinya bukan main. Akhirnya, suamiku menyuruhku rileks saja, ia yang akan berbicara dengan Ballah. Aku diminta berjaga saja di dalam rumah, dan jangan melayani sms ataupun telfon dari Hasballah lagi.
“DRRRRT...!” suara pintu pagar besi dihela. Aku was-was, kuintip dari jendela, Memang ada yang datang. Sigap kukenakan pakaian lengkap. Kuamati sekali lagi, ya, itu memang Hasballah dengan scoopy putih susunya. Eh, tapi, kenapa keadaannya begitu bugar, tak kalut, tak kurang suatu apapun, dan ia datang sendiri saja.
“Assalamualaikum, Kak...” ucapnya sambil memanggilku yang masih di dalam rumah.
“Waalaikumsalam, sebentar Ballah...” kukuakkan daun pintu dan melongok ke arah pintu pagar. Aku celingak-celinguk. “Mana Polisinya, Ballah? Sendirian aja?”
Ballah kelihatan rada bingung. Tiba-tiba ponselku bernyanyi lagi.
“Sayang, nggak ada apa-apa, yang tadi itu cuma penipuan. Sebentar lagi Ballah ke rumah.” Suamiku menerangkan.
“Iya, Yah..., ini Ballah udah sampai di rumah,”
“O ya? Baguslah kalau begitu. Jangan dilayani lagi yang tadi, itu penipuan, Hasballah gadungan!” Terang suamiku yang jelas saja membuatku melongo.
Hasballah masih berdiri di depan rumah. Ia mengeluarkan ponselnya, “Kak, tadi Bang Udi telpon pas Ballah sedang shalat. Nggak terangkat, trus dia sms, katanya “Jangan bikin susah Kakak lah, Ballah,” langsung aku telpon...,” Hasballah mulai menerangkan.
“Iya, itulah..., tadi ada tepon yang bilang Ballah mau dibawa ke kantor Polisi, ”
“Nggak ada itu, Kak. Bohong! Aku dari tadi disini aja. Pulang sekolah makan di rumah, terus ke mushalla panti. HP-ku tinggal di rumah. Jadi, pas balik baru tau ada telpon dan sms dari Bang Udi. Jangan dituruti permintaannya, Kak.”
“Alhamdulillah belum kok. Tapi hampir saja, secara dia bawa-bawa nama Polsek, sih,” sekitar dua puluh menit aku mengobrol dengan Ballah dan menelpon suami sekali lagi. Kami juga berusaha menghubungi nomor Hasballah gadungan itu. Berikut dua nomor yang dia kirim untuk diisikan pulsanya. Nihil, kesemuanya tak aktif lagi setelah ketauan belangnya.
Berikutnya Hasballah gadungan itu menelpon suamiku. Tadi ia memang minta dikirimkan nomor itu karena ponselnya yang satu lagi ditahan, katanya, biar ia yang langsung menghubungi suamiku, “Dasar Kojek! Sori ya, Jek. Kami nggak bakal ketipu lagi!"
Suamiku masih di kampung hari itu. Sudah lebih seminggu Ibunda kami dirawat di Rumah Sakit akibat hipoglikemia. Tinggal aku dan seorang pengasuh menemani anak-anak. Sementara Kak Masyitah, pengasuh perempuan, sedang kurang sehat dan pulang ke rumah keluarganya. Tadi malam aku memang kurang tidur, ada proposal yang nyaris terbentur deadline. Sorenya sudah kelelahan juga keliling komplek seperti biasa, tapi kali ini memang lelah luar biasa. Apalagi beberapa anak memang sulit mengikuti peraturan, mungkin lebih tepatnya rada sulit diatur. Whatever lah, intinya aku dalam keadaan gonjang-ganjing hari itu.
Sudah lewat tengah hari puteriku Biyya, belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin tidur. Padahal sudah mengantuk, tapi insting anak setahunnya terus-terusan membuat dia ingin bermain dan menolak kuajak naik ke kasur. “Huft, come on beib, it’s time to take a rest!” aku sedikit kelimpungan. Pasalnya ia memang lengket abis, tak mau explore sendirian, inginnya selalu melibatkan bundanya.
“Assalamu’alaikum,” suara salam keempat kalinya, setelah tadi salah seorang staf panti bolak-balik ke rumah untuk menyelesaikan proposal dan mengambil pompa air baru untuk dipasang di sumur mushalla.
Aku menjawab salam sambil menyambar jilbab. “Haia, mau jam berapa Biyya tidur ini, hiks” mengeluh juga akhirnya karena timing menidurkan Biyya tak kunnjung datang. Sementara pekerjaan lain sudah menanti untuk dijamah.
“Maaf, Bu, menganggu. Kami dari Polsek Sibreh ingin mengambil data baru anak-anak panti,” ujar laki-laki berkulit legam dan berbadan tegap yang berdiri di depan teras rumah. Kuperhatikan sekilas, baju kemeja kuning pudar, celana jeans, sepatu. Tak pakai baju dinas, tapi perawakannya memang menunjukkan kalau ia seorang Polisi.
“Owh, iya. Apa harus hari ini?” kubayangkan harus nge-print lagi dengan kondisi Biyya yang rada rewel dan sialnya printer baru saja kupindahkan ke atas kemari. Haha, dasar emak-emak si tukang beres-beres. Beberapa hari ini rumah memang disulap jadi kantor, ini ulah si Ayah atau si Bunda yang minta ditemani 24 jam. Nggak ding, cuma printer doang, kok, yang dipindahin.
Laki-laki itu mengangsur sebuah amplop yang di depannya tertulis ‘Panti Asuhan Muhammadiyah-YOTS desa Tampok Blang’ “Benar yang ini ya, Bu? Soalnya ada beberapa panti di sekitar sini. Ini data lama, Bu...”
“Hm, iya, betul. Kalau besok, boleh nggak saya antar ke Polsek saja data barunya, Pak? Karena sekarang belum diprint.”
“Owh, nggak apa-apa, Bu. Jumat saja saya balik lagi,” jawabnya sopan.
“Alhamdulillah, masih dikasih tenggat waktu,” pikirku. Setelah berbasa-basi sedikit Pak Polisi itu langsung pamit, nggueeeng... Nah, waktunya bobo ya, Biyya!
Belum sampai lima belas menit, ponselku bernyanyi-nyanyi. Tampak sederet nomor tak terdaftar di layarnya.
“Assalamualaikum,” aku angkat juga akhirnya.
“Wa’alaikumsalam, mana Mama’?” suara di ujung telpon itu terdengar sangat panik. Aku yang baru saja sms-an dan chating dengan suamiku mengenai perkembangan Mama’ jadi ikutan panik. Rasanya baru satu jam lalu aku mengobrol dengan suami tentang Mama’ yang ternyata sakit ginjal juga, dan harus dirujuk ke Rumah Sakit di Medan. Lampu chating masih hijau di notebook ruang tengah, biasanya kubiarkan saja menyala tanpa memperhatikan lebih lanjut.
“Lho, Mama’ kenapa? Bukannya sedang di Rumah Sakit? Ini siapa?”
“Ini aku, Kak! Aduuh, Kak..., tolong. Abang mana, Kak? Aku nabrak anak orang ni, Kak di simpang. Sekarang aku sama polisi...”
“Ya, Bang Udi kan di Rumah Sakit! Ini Hasballah?” tebakku langsung. Sebab yang asyik wara-wiri dengan Scoopy-nya itu cuma Hasballah. Ia memang anak asuh kami dulu, sekarang sudah pulang ke rumah orangtuanya dan membantu abangnya di warung kopi. Hasballah juga sudah mandiri sekarang. Jadi, walaupun ia masih sering inap di panti, tapi Ballah, begitu ia sering kami sapa, tidak lagi masuk dalam data anak-anak asuh kami. Anak-anak lain memanggilku Bunda, Ballah satu-satunya yang tetap memanggilku dengan sebutan ‘Kakak’.
“Kak, gimana ini?” desaknya.
“Anak yang ditabrak itu gimana?”
“Udah dilarikan ke Rumah Sakit, Kak. Sekarang Hasballah sedang ditahan sama polisi ini, di kantong ada uang orang dua juta. Nanti kalau sampai ke kantor polisi bisa habis, Kak. Soalnya ini uang orang, Kak. Aduh, Kak, tolong, Kak!” desaknya terus tanpa memberi jeda buatku bernafas.
“Kak, ini polisinya mau ngomong, Kak” imbuhnya lagi. Bisa kudengar gumamannya di ujung sana “Pak, ini Kakak saya,” lalu jeda sebentar. Suara di ujung telpon berganti. Kali ini sedikit berat. “Maaf, Bu. Kalau saya boleh tau, Ibu ini siapanya Hasballah?”
“Saya ibu asuhnya,” jawabku sekenanya. “Kondisi anak yang tertabrak gimana, Pak? Lukanya parah?”
“Sudah dilarikan ke Rumah Sakit, Bu...”
“Iya, saya tanya kondisinya, Pak, seperti apa?” kejarku lagi. Sebab yang lebih mendominasi pikiranku adalah si korban. Aku ingin tau separah apa, usianya berapa, dan bagaimana keadaannya sekarang. Sementara keadaan Hasballah sebenarnya mengusikku juga, apa dia juga terluka? Tapi karena sudah mendengar suaranya langsung, kekhawatiranku tentang itu sedikit bisa diabaikan.
“Lumayan parah, Bu. Kepalanya bocor...” jawab pemilik suara bariton itu.
“Innalillah...”, gumamku spontan. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang aneh menjalari pikiranku. Lalu buyar begitu saja karena degup jantungku terus dipacu suara bariton tadi.
“Jadi, begini, Bu. Hasballah ini akan kami bawa ke kantor sekarang. Tapi persoalannya tidak akan kami persulit kalau Ibu mau membantu.”
“Lho, saya tidak tahu menahu. Bantuan semacam apa pula yang bisa, Pak? Sementara kondisi saya memang nggak memungkinkan ke sana.”
“Ibu sekarang sedang dimana?”
“Saya sedang di rumah,”
“Maaf, di rumah dimananya, Bu?”
“Saya di Sibreh”
“Ya, ini kami sedang di Simpang Sibreh, Bu”
“Saya nggak bisa ke sana, Pak!” aku jadi ilfeel karena Pak Polisi ini mengatakan “tidak akan mempersulit kalau bla bla bla.” Jadi curiga, pasti ujung-ujungnya duit.
“Hasballah saya antar sekarang ke rumah Ibu, tapi kalau Ibu mau membiayai akomodasi anak buah saya.” Nah, kan! Sudah kuduga ini. Tapi karena Polisi, agak ciut juga aku menggamparnya. Mana anak asuhku juga sedang payah. Yang aku khawatirkan Hasballah ditabok sama mereka. Bukan nggak mungkin, kan?
“Maksud Bapak ini apa? Kasih uang gitu? Saya nggak bisa. Kondisi saya tidak memungkinkan dan saya juga tidak pegang uang, Pak,” jawabku menegaskan. Dalam hati aku berpikir, kalau memang Hasballah minta bantuan uang, kenapa nggak kasih langsung saja. Bukankah dia cerita barusan kalau ia sedang pegang uang? Walaupun uang orang, kan bisa diganti.
“Kak, gini aja, Kak. Mereka minta pulsa ini. Nomornya Kakak catat aja, udah dikasih ini. Tolong, Kak. Nanti Hasballah ganti uangnya,” tiba-tiba telpon sudah berpindah tangan lagi.
“Hah? Pulsa?”
“Iya, Kak, ini Pak Haryadi ini yang bilang, Kak...”
Suara di ujung telpon berubah lagi.
“Gini aja, Bu. Sekarang tolong catat nomor anak buah saya dan tolong Ibu isikan pulsa masing-masing seratus ribu ke nomor itu. Setelah itu Hasballah kami antar ke rumah Ibu,”
“Kenapa harus begitu, Pak? Saya nggak tau isi dimana?”
“Kalau ada orang di sekitar Ibu atau tolong sms saja, pokoknya nomor anak buah saya yang dua orang ini diisikan, Bu. Hasballah sekarang mau kami bawa ke kantor ini”
Tiba-tiba terdengar suara yang satu lagi, “Kak, tolonglah, jangan sampai dibawa, Kak. Kan udah Hasballah bilang tadi, Kak, yang itu..., tolonglah isikan, Kak. Nanti diganti uangnya. Nomornya saya smskan aja ya, Kak. Masing-masing seratus ribu, Kak. Bilang sama Bang Udi boleh juga, Kak. Tolong ya, Kak. Sekarang...” Mulai lagi, ngeles!
“Ballah ni gimana? Bang Udi sedang temani Mama’ di RS, dia juga nggak ada saldo tuh, udah seminggu nggak ke bank.”
“Tolonglah, Kak..., tolong...”
“Ya udah, kakak isikan lima puluh ribu aja ya, Ballah?”
“Nggak mau orang itu, Kak...”
“Kakak telpon Bang Udi dulu, atau Ballah aja yang nelpon Bang Udi langsung.”
“Ya, Kak, coba telpon Bang Udi dulu ya, Kak...minta tolong kali, Kak...”
Aku mengkhiri telpon dan mulai berbicara dengan suamiku. Ia mengaku belum ada dihubungi Hasballah. Akhirnya suamiku memutuskan kalau ia yang akan menelpon Hasballah sekarang.Tak ada sahutan, telpon dari suamiku tak diangkat. Tiba-tiba nomor yang tadi menghubungiku lagi.
“Udah diisi belum, Kak?”
“Ya belumlah..., Bang Udi mau ngomong sama Ballah, kok telponnya malah nggak diangkat?”
“Itu Kak, nomor satunya lagi ditahan sama anak buah Pak Haryadi.”
“Kalau gitu Ballah minta tolong orang dekat-dekat situ aja isi pulsanya. Telpon juga abang Ballah. Kakak juga nggak enak nanti melangkahi orangtua Ballah pula. Telpon abang aja sekarang.” Perintahku seperti yang disarankan suamiku barusan.
“Tapi tolong pulsanya diisikan ya, Kak...,” pintanya pantang menyerah.
“Ini, Bu, tolong diisikan pulsa anak buah saya masing-masing seratus ribu. Tolong Ibu catat saja nomernya...” si Bariton unjuk suara.
“Saya nggak bisa catat, Pak. Di sms-kan aja nomernya.” Jawabku lagi.
Aku kembali mengobrol via telpon dengan suamiku. Suamiku mulai khawatir dengan teror lanjutan dan menyarankanku memanggil anak asuh kami, Haikal, di seberang rumah. Siang hari itu cukup terik, sepinya bukan main. Akhirnya, suamiku menyuruhku rileks saja, ia yang akan berbicara dengan Ballah. Aku diminta berjaga saja di dalam rumah, dan jangan melayani sms ataupun telfon dari Hasballah lagi.
“DRRRRT...!” suara pintu pagar besi dihela. Aku was-was, kuintip dari jendela, Memang ada yang datang. Sigap kukenakan pakaian lengkap. Kuamati sekali lagi, ya, itu memang Hasballah dengan scoopy putih susunya. Eh, tapi, kenapa keadaannya begitu bugar, tak kalut, tak kurang suatu apapun, dan ia datang sendiri saja.
“Assalamualaikum, Kak...” ucapnya sambil memanggilku yang masih di dalam rumah.
“Waalaikumsalam, sebentar Ballah...” kukuakkan daun pintu dan melongok ke arah pintu pagar. Aku celingak-celinguk. “Mana Polisinya, Ballah? Sendirian aja?”
Ballah kelihatan rada bingung. Tiba-tiba ponselku bernyanyi lagi.
“Sayang, nggak ada apa-apa, yang tadi itu cuma penipuan. Sebentar lagi Ballah ke rumah.” Suamiku menerangkan.
“Iya, Yah..., ini Ballah udah sampai di rumah,”
“O ya? Baguslah kalau begitu. Jangan dilayani lagi yang tadi, itu penipuan, Hasballah gadungan!” Terang suamiku yang jelas saja membuatku melongo.
Hasballah masih berdiri di depan rumah. Ia mengeluarkan ponselnya, “Kak, tadi Bang Udi telpon pas Ballah sedang shalat. Nggak terangkat, trus dia sms, katanya “Jangan bikin susah Kakak lah, Ballah,” langsung aku telpon...,” Hasballah mulai menerangkan.
“Iya, itulah..., tadi ada tepon yang bilang Ballah mau dibawa ke kantor Polisi, ”
“Nggak ada itu, Kak. Bohong! Aku dari tadi disini aja. Pulang sekolah makan di rumah, terus ke mushalla panti. HP-ku tinggal di rumah. Jadi, pas balik baru tau ada telpon dan sms dari Bang Udi. Jangan dituruti permintaannya, Kak.”
“Alhamdulillah belum kok. Tapi hampir saja, secara dia bawa-bawa nama Polsek, sih,” sekitar dua puluh menit aku mengobrol dengan Ballah dan menelpon suami sekali lagi. Kami juga berusaha menghubungi nomor Hasballah gadungan itu. Berikut dua nomor yang dia kirim untuk diisikan pulsanya. Nihil, kesemuanya tak aktif lagi setelah ketauan belangnya.
Berikutnya Hasballah gadungan itu menelpon suamiku. Tadi ia memang minta dikirimkan nomor itu karena ponselnya yang satu lagi ditahan, katanya, biar ia yang langsung menghubungi suamiku, “Dasar Kojek! Sori ya, Jek. Kami nggak bakal ketipu lagi!"
Komentar
Posting Komentar