Langsung ke konten utama

SHOPPING DAY? OWH, NO!

Aku ini wanita yang paling bahagia sekaligus menyedihkan. Bayangkan saja, sampai hari ini, menjelang usia pernikahan kami yang keenam, aku belum bisa berbelanja sendiri. Baik itu belanja di pasar tradisional, pasar swalayan, pasar loakan, bahkan pasar kaget! Terkecuali pasar buku ( Buahahaha...) bukan sok mata-bukuan, tapi kalau buku, aku paling pinter deh, ngabisin duit. Dari beli ke Tobuknya, beli onlen, sampai beli langsung ke penulis ( hihihihi....) kalau yang ini biar dapet ttd penulisnya sekalian. Norak ah! Jadi malu... (tersipu-sipu).
Nah, percaya atau nggak, aku, tuh, pernah nyasar di pasar tradisional, pernah salah beli di pasar swalayan, sering kikuk kalau belanja obralan. Jadi wajar saja kalau penampilanku rada keki.
Dulunya pas mahasisiwi, aku beli pakaian di toko baju pria atau swalayan. Tepatnya di deretan outlet kemeja. Deretan baju cewek yang “bunga-bunga dimana-mana” itu paling jarang kusentuh. Tak kupingkiri, terkadang ada juga satu, dua yang sempat kulirik. Tapi dalam setahun, mungkin belum tentu aku punya selambar baju bermotif bunga. Pilihan lainnya, ya dibelikan Kakak atau Ibuku.
Sandalku kalau tidak Spo**c, ya, E*g*r. Apa saja bolehlah asal modelnya cocok untuk mendaki gunung. Padahal sekalipun aku tak pernah pergi mendaki gunung. Hahay! Kalau tas, aku suka milih Exsp*rt atau Women Series-nya produk E*g*r. Heleh, kok malah kayak ngiklan? Dapat fee berapa dakuw? Hehehe...
Eits, aku memang jilbaban, tapi ternyata memang tidak begitu feminim ya? Sampai-sampai aku heran juga kalau teman-teman, kok, pada nuduh aku keibuan. Hmm, gejala alam apa ini?
Tapi memang setelah menikah, aku berangsur beda. Tentu saja tidak langsung “Blash simsalabim!”, tapi..., yah paling idak di tahun ketiga usia pernikahan kami, sandal gunung kutukar dengan sepatu kets, atau sepatu cewek yang polos ber-list coklat di pinggirnya. Lagi-lagi aku tergiur beli merk. Maklum, aku tidak terlalu jeli memebeli. Aku juga tak mau rugi “setelah beli kok seperti ini?” Jadi, kalau memilih sepatu, aku langsung ke counter tertentu. Ada beberapa merk yang aku percaya kalau kakiku tak akan menderita mengenakannya. Hehehe...
Kembali ke soal belanja dan penampilanku yang rada gimana gitu... Ntahlah, aku suka heran dengan mereka yang komplain. Ada apa denganku dan rugi apa mereka. Aku selalu memerhatikan keserasian warna. Bahkan warna yang aku pilih cenderung kalem. Aku juga perhatikan kerapian dan selalu wangi. Walau tak hobi pakai parfum, aku bisa jamin kalian betah mencium aroma pakaian yang aku kenakan (yaelah, kurang kerjaan apa ya, ngendus ngendus gue?).
Tidak semuanya komplain memang. Ada beberapa orang yang mengungkapkan seara langsung. Termasuk orang-orang tersayang. Sejak itu aku mulai rajin mematut-matut diri di depan cermin. Apalagi setelah punya hubby. Eh, kok aku malah tergolong cepet jodoh yak? Dia dateng pas aku masih umur 21 tahun.
Akhirnya, masalah belanja memang terkadang membuatku bercucuran air mata (huhuhu...) entah berapa kali aku merasa bersalah dan ucapka “Maaf, Bunda selalu ngerepotin Ayah...”
Kalau bukan belanja bareng, pasti suamiku lah yang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Bahkan isi kulkas alias belanja dapur. Tugasku hanya mengolah dan menyajikan, membereskan kembali, dan tentu saja menemani hubby dan anak-anak makan. Owh, satu lagi. Aku tak lupa membuat ‘shopping list’ berikutnya. Selamat berbelanja, Sayang! Seperti itulah yang biasa aku ucapkan.
Catatan kali ini melucutiku lagi. Aku ingin ini jadi cambuk untukku lebih giat belajar belanja. Bukan hanya persoalan jeli memilih. Konon, kata kakak dan kakak sepupuku, persoalan belanja juga perihal seni menawar. Gubrak! Aku paling hemat bicara dengan penjual, kalau bisa nggak usah ngomong. Makanya aku lebih suka belanja di swalayan. Instan, praktis, dan tentu saja.... tekor! Itu yang nggak kuat. Apalagi buat isi dapur. Belanja di pasar tradisional ternyata jauh lebih hemat ketimbang belanja di meat shop ataupun fresh shop. Di pasar tradisional pun lebih lengkap dan baru.
Mungkin ini disebabkan pengalaman burukku pernah ditipu penjual berkali-kali. Barang yang harusnya bisa aku dapatkan seharga 5000 rupiah, dijual dengan harga 25.000 rupiah. Sebenarnya kalau aku amati, kualitas barangnya memang tidak terlalu bagus, tapi aku juga tipe pemilih dengan benda untuk dipakai. Tapi walau heran, aku tak sampai hati memprotes lebih lanjut.
Bukan sekali itu saja, aku merasa lebih percaya dengan angka yang tertera di label harga ketimbang bertanya “ini harganya berapa, Bang?” sungguh aku merasa tertipu. Bohong, tipu daya, dan bersilat lidah mulai dari hal kecil begini lah yang membuat kita terbiasa berbohong di dalam keseharian kita, dan kemudian hari menyulap kita jadi penipu ulung.
Sampai hari ini, aku masih berharap jujur menjadi modal utama ketentraman hati. Bener nggak? Ditipu itu nggak enak kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...