Langsung ke konten utama

LOVE FOR A REASON

Ung..., sepertinya ada yang sedikit mengganjal. Sekedar pikiran yang melintas sesaat, unek-unek, atau apalah namanya. Tapi sepertinya asik juga kalau dibahas sedikit.
Berawal dari postingan beberapa kawan-kawan yang sangat menyenangkan di sebuah grup (ini jujur, lho. Grup favorit saya dan seringkali alasan saya mengecek FB adalah untuk singgah di grup ini. Untuk sekedar membaca, memberi ‘like’, atau kalau perlu memberi komentar).
Ada beberapa link di-share, artikel yang berbau-bau Korean. Kemudian memanggil beberapa nama, atau sekedar menuliskan “bagi yang gila Korea, perlu baca, nih!”.
Nah, seingat saya ada yang bercerita tentang wanita Korea yang sulit menikah, ada juga berita heboh mengenai bintang Korea yang gemar sekali bunuh diri. Kayaknya udah jadi semacam trend gitu, deh.
Sebenarnya tulisan ini dibuat bukan untuk membela, menyela, ataupun sebuah sikap antipati sama siapa saja yang udah mau berbaik hati membagikan link yang saya ceritakan di atas. Bukan juga sebuah pembelaan buat para Korean, bintangnya, pengagumnya, apalagi cuma buat membela Lee Min Ho (Dubrak! Nggak ada hubungannya, kalee...)
Sekali lagi tak ada maksud lain, butuh oulet saja makanya saya pengen nulis tentang ini. Lagipula saya bukan pengagum berat drama Korea. Memang ada beberapa drama yang sempat saya tonton sampai tuntas.
Ah, semua pasti sudah tahu betapa mengenaskannya sinetron-sinetron Indonesia yang disajikan buat kita konsumsi sehari-hari. Dalam satu hari entah berapa kali. Episodenya pun sampai tujuh turunan masih saja ada. Saya memang nggak punya teve di rumah, tapi pernah juga beberapa kali, saat rehat sebentar menikmati akhir pekan dengan keluarga. Di resto, warkop, dan sejenisnya, sempat juga mengamati sebentar. Maaf, entah apa kata yang cocok selain “film kampungan” yang bisa saya tonton di sana. Kayaknya nggak perlu bahasan panjang, dweh. Pingsan kalau harus ngebahas film sekaliber Puteri yang ‘bertukak’ dan sodara-sodaranya.
Sekali lagi, bukan karena nggak cinta produk sendiri, tapi memang hal semacam ini nggak bisa dipaksakan. Apa ya, kata yang cocok untuk mengungkapkan rasa sama drama-drama Korea. Alur cerita yang menarik, kreatif, nggak membosankan. Tema yang bervariasi dengan logika cerita yang tetap terjaga. Walaupun bumbu-bumbu percintaannya tetap ada. Akting yang wajar. Dandanan dan fashion yang sesuai karakter, terasa nyaman dilihat. Beda dengan sinetron kita, mau tidur dandanannya menor setengah mati. Yang paling berkesan, pesan moral yang disampaikan selalu ada.
Suka, gemar, senang, cinta? Cinta, mungkin saja tidak. Walaupun judul di atas Love for A Reason. Sebenarnya itu cuma pikiran yang melintas (lagi). Ingat liriknya lagu Ronan Keating cs. “Don’t love me for fun, girl/ let me be the one, girl/ love me for a reason/ like the reason me love” owh, kayaknya suka karena suatu alasan atau sebab. Itu saja (lirik lagunya ada ‘girl’-nya. Soalnya hak paten, jadi ditulis sekenanya saja)
Jadi, saya pribadi nggak merasa harus membaca itu artikel. Itu, lho, yang mengatakan orang Korea begini dan begitu, atau kebiasaan-kebiasaan mereka yang anti merokok tapi nggak bisa dipisahkan dengan alkohol. Yang percaya mitos tapi jauh dari Tuhan. Kalau membaca sekedar menambah wawasan, semua orang wajib baca, kan?
Saya dan mungkin juga teman-teman yang suka menonton drama Korea, memang bisa dikatakan ‘gila’ karena sanggup menghafal nama-nama yang bisa membuat lidah keseleo. Bisa membahas film-film yang udah ditonton berjam-jam. Mengulang kata-kata yang diucapkan sang tokoh. Bahkan ada yang memasang propic FB-nya dengan foto Korean yang disukainya.
Tapi saya cuma menyukai semuanya karena sebuah sebab. Hilang sebab, gugurlah rasa itu. Saya berpikir begitu juga dengan teman-teman yang menyukai drama Korea. Kami bukan Rhiannon Brooksbank-Jones, remaja 19 tahun asal Nottingham yang menggilai Korean sampai operasi lidah agar lancar berbahasa Korea. Berpenampilan layaknya remaja Korea masa kini. Rambut lurus panjang, berponi sebatas alis lengkap dengan kacamata berbingkai tegas.
Saya dan juga mungkin teman-teman lainnya sedang dalam penantian. Menanti peningkatan kualitas dunia perfilm-an Indonesia yang membuat kita menjadi bodoh. Bahkan buat anak-anak kita tontonan serupa itu jadi racun karena sangat merusak. Bersyukur juga satu dua produser dan sutradara ada yang melek dan membuat film layar lebar yang berkualitas.
Yeah, rasanya sedikit lega udah bilang yang di atas. Walaupun saya juga mengerti, teman-teman yang putih hatinya, baik budinya, berbagi artikel itu juga dengan niat yang baik. Namanya uga sekedar share. Mencari tema yang asik buat didiskusikan. Tentu saja sambil mengingatkan para Korean mania. Tak usah risau atau khawatir, Korean mania yang di samping kalian baik-baik saja. Mereka masih sangat ingin disayang Allah.
Eih, jadi ingat Moga Bunda Disayang Allah yang ditulis Tere Liye. Umm..., buku yang bagus, itu kan diangkat dari film Black, yak? Film Korea juga banyak yang inspiratf, lho. Siapa yang mau mengangkat tema yang sama dengan tokoh berbeda? Seperti Tere Liye, kisahnya ditautkan ke wahyu Allah. Padahal itu sebenarnya kisah hidup Hellen Keller.
Jiaaah, curhatnya nyerempet ke sana ke mari!
Beresin lapak, ah, sebelum diusir! :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...