Wee Willi Winkie runs through the town. Upstairs, downstairs in his nightgown. Tapping at the window, crying through the lock. “Are all those children in their beds? Its’s past eight o’clock!” (Talkabout Bedtime, Keen)
Buku Ladybird ini kubahasakan sendiri, sampai ke bagian ini, Akib mulai bertanya banyak hal. Tentu saja aku harus berhenti membaca dan menjawab pertanyaan Akib satu-satu.
“Willi Winkie itu tinggal dimana, Nda? Di hutan ya?”
“Mungkin juga, atau di pinggir kota”
“Untuk apa dia ketuk-ketuk jendela?”
“Di buku ini, katanya untuk menge-cek semua anak-anak. Udah pada tidur atau belum.”
“Menge-cek itu diapakan, Nda?”
Ups, aku kelepasan! Memakai kata-kata yang belum kukenalkan padanya. Di sini aku juga mulai membaca gelagat imajinator ini. Sepertinya dia berpikir akan ada hal yang negatif dengan kata-kata tersebut “Memeriksa setiap rumah yang ada anak kecilnya. Dia mau tau, udah bobo atau belum... Menge-cek itu, artinya memeriksa.”
“Oh... Terus, kalau belum bobo, kenapa, Nda? Diapain sama Winkie.. eh Wil.. apa tadi namanya, Nda?”
“Willi Winkie...!”
“Oh, iya, iya... Kalau belum bobo diapakan sama Willi Winkie, Nda? Di bawa ke hutan, ya?”
“Nggak tau. Nggak ada dibilang di buku ini. Cuma diceritakan, kalau sudah jam delapan malam, Willi Winkie selalu memeriksa rumah-rumah. Menanyakan anak kecil yang di rumah itu udah tidur apa belum.” Ulangku lagi.
“Willi Winkie itu pakai baju putih semua ya, Nda?” Akib mulai memerhatikan gambar di buku itu dengan seksama. Seorang lelaki gempal dan pendek berpiyama serba putih, lengkap dengan topi tidur warna senada. Membawa sebatang lilin, sambil membungkuk sedikit. Mengetuk pintu-pintu rumah bergaya klasik yang terasnya cukup sempit. Ilustrasi yang menarik, dengan back ground malam yang temaram, gang-gang sempit di perumahan yang padat.
“Willi Winkie itu perempuan atau laki-laki, Nda?”
“Hm, yang perempuan ada, yang laki-laki pun ada. Tugas mereka memeriksa anak-anak yang belum tidur waktu jam delapan malam. Kalau kita di sini, jam sembilan, gitu lah...” jawabku mulai berbumbu.
“Untuk apa, Nda?”
“Nggak ada disebutkan untuk apa...”
“Kalau belum tidur kenapa?” Serangan Akib selalu ke arah sana. Sepertinya sebab-akibat itu sudah menjadi seperti selai dan roti.
“Willi Winkie ketuk jendela dan pintu, menanyakan ada anak kecil yang belum tidur. Gitu yang Bunda baca di buku ini.”
“Oh, gitu ya, Nda? Nda, Willi Winkie itu bangunin kita waktu subuh, nggak?”
“Hm, kayaknya iya. Apa Akib mau siap-siap tidur sekarang? Kita ganti baju bobo, pipis, cuci kaki dan tangan, sikat gigi...” rayuku.
“Tapi adek tadi nggak ganti baju dan pipis.” Protes Akib.
“Adek langsung pakai baju bobo selesai mandi sore tadi. Dia udah pipis di pampers. Tadi kan Akib lihat, dia udah cuci kaki dan tangan. Udah Bunda suruh kumur-kumur.” Jawabku lagi.
Tadi Biyya keburu ngantuk berat, sikat gignya juga tidak ada di keranjang tempat biasa. Kebiasaan Biyya kalau sikat gigi sekalian mandi, sikat giginya pasti dibawa-bawa terus sampai waktu dipakaikan handuk dan baju. Tak ada waktu lagi mencari sikat giginya.
“Iya, Akib mau bobo.” Jawab Akib.
Terus terang saja, Akib sebenarnya bukan tipe anak penurut. Ia cenderung menurut dengan imajinasinya daripada dengan Ayah-Bundanya. Di situlah tantangan kami mendisiplinkan sulung kami ini. Aku mengakui kalau kami memang kesulitan.
Tapi kami berdua sepakat, tak akan mengambil jalan pintas. Misalnya dengan mengarahkan imaji-nya ke hal-hal yang menakutkan. Menakut-nakutinya agar ia mau menuruti semua aturan dan kemauan kami. Walau sulit sekali dibujuk dengan akal logika yang runut, tapi aku tetap berusaha keras memberinya pengertian yang benar.
Setelah bersalin pakaian dan ke kamar mandi, Akib benar-benar mencari kasur dan berniat akan tidur. “Bunda sama Ayah belum tidur, ya? Akib mau tidur di kamar Bunda aja.”
“Iya, Bunda sama Ayah belum boleh tidur. Masih ada kerja. Ya, tidur aja di samping adek, nanti Bunda angkat ke kamar Akib.”
“Nggak usah, Akib mau di sini aja. akib nggak mau dipindahkan.”
Mendengar ketegasan putusannya itu, aku tak lagi banyak menyela. Hanya mengganggu persiapan tidurnya, pikirku. Jadi, aku memutuskan untuk mengelus rambutnya dan meninggalkannya hingga lelap.
Sekitar tujuh menit kemudian, aku kembali ke kamar karena ingn mengambil sesuatu. Kulihat Akib bergelung di kasur sambil memeluk guling. Sepertinya memaksakan diri untuk tidur, tepatnya tak bisa tidur.
“Bunda temani Akib!” rengeknya. Kulihat dari temaram cahaya di kamar tidur kami, mata Akib memang mulai meredup, tapi masih banyak yang ingin ditanyakannya. “Bunda, Willi Winkie itu selalu datang jam delapan malam ya, Nda? Dia tinggalnya dimana, Nda?”
Oh, ternyata Akib masih penasaran dengan Willi Winkie. Ia minta dibacakan buku yang tadi. Sayang sekali, lampu sudah dimatikan. Saatnya untuk tidur, sebab kalau kita turutkan lagi inginnya untukdibacakan buku, mata Akib bisa nyalang dan aku yang biasanya jatuh tertidur.
“Willi Winkie datang setiap jam delapan lewat. Menanyakan apa anak-anak kecil udah pada tidur. Nah, sekarang udah jam delapan lewat. Akib harus tidur. Kan, masih anak kecil. Jadi, nanti bisa Bunda jawab, anak-anak kami udah tidur. Sekarang tidur, ya!”
Tapi Akib masih melanjutkan pertanyaannya. Aku menjawab pendek-pendek saja, berusaha untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang tak ada habisnya. Sebisanya tidak memancing pertanyan baru. Sedikit mematahkan keinginan bertanyanya.
Beberapa menit kemudian, Akib benar-benar tertidur dengan pertanyaan tentang Willi Winkie yang belum tuntas. Ah, tokoh fiktif yang membantu menidurkan Akib, sekaligus merepotkan aku untuk menemukan jawaban yang tepat, Wee Willi Winkie!
Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...
Komentar
Posting Komentar