Langsung ke konten utama

Aku Bukan Malaikat

"Luar biasa kamu, Ain. Salut, deh, lihat dirimu, Ni."

Kalimat senada jadi sering singgah di telingaku belakangan ini. Bahkan yang lebih ekstrim dari kalimat di atas, “Aini, you know angel?” tanya Gue Ri malam perpisahan itu. Teman-teman Korea lainnya menatap lurus ke arahku. Hie Jin membulatkan kedua matanya sambil tersenyum mengangguk.

“Enje?” ulangku belum begitu faham. Malam itu, walaupun senang, lelah dan penat meminta tubuhku berjeda sejenak. Aku terserang flu setelah sepuluh hari “bersenang-senang” mengurusi panti dengan tambahan puluhan personil relawan Korea.

Yeah, angel!” ulang Gue Ri sambil menggoyangkan kedua tangannya menirukan sayap. “It’s you, you like an angel!”

Tawaku pecah. Aku menggeleng kuat dan yakin. “I don’t think so,” jawabku tak setuju. Kukatakan kalau ia terlalu berlebihan.

Ya, berlebihan. Aku tuliskan cathar kali ini dengan hati bergelayut mendung, perasaan sakit dan bersalah. Bagaimana mungkin makhluk sedhaif aku dinilai sedemikian suci?

Aku memang mengasuh mereka dengan sungguh-sungguh. Mendengar keluh kesah mereka, menyeka luka-luka mereka, memangkas rambut-rambut mereka ketika gelungannya terlihat terlalu semrawut dan dipinaki kutu, bahkan mengajarkan mereka bagaimana cara menarik seprei yang benar. Menemani mereka belanja mingguan, bermain sambil belajar di kelas malam Rabu. Kelas learning English with fun, tentunya. Kadang bermain masak-masakan di dapur umum. Pernah juga bermain karet dan badminton. Mencari pakan sampai memandikan kambing bersama-sama.

Kulakukan bukan sekedar panggilan jiwa, kalian pun akan melakukan hal yang sama jika kondisi seperti itu yang dihadapkan di depan mata. Pun, tak selalu bisa aku terlibat. Mengingat aku juga punya keluarga kecil di lingkungan itu. Suami dan anak-anakku selalu jadi number one priority.

Aku, aku sedih. Sebab aku pernah marah, pernah kesal ketika lima kilo cabe yang baru dibeli kemarin sore, siang ini masih tetap dalam bungkusan plastik. Berembun di dalam sana, mulai membusuk satu-satu. Apalagi kami hanya bisa belanja sore hari, selain waktu itu saja yang dimiliki si Ayah buat mengantarkan kami ke pasar, bahan-bahan dapur sore hari jauh lebih murah.

Aku kesal ketika masjid tetangga sudah mengumandangkan azan, anak-anak lelaki kami masih tidur-tiduran di kamarnya. Menunggu kuketuk pintu dan ingatkan, “Lukman, Riski, di musalla kita belum ada yang azan, Nak!.” Si Ayah dan pengasuh laki-laki lainnya belum pulang.

Aku murka dengan wajah ditekuk dua belas. Sehari penuh kudiamkan mereka, mereka berdusta mulai hal remeh temeh, melanggar janji yang sudah pernah disepakati sebelumnya. Seperti itulah jika kesalku sudah sampai ke ubun-ubun. Kudiamkan, kutinggalkan mereka sejenak.

Terkadang, tanpa kupingkiri, hati ini pernah satu dua kali menceracau tak baik. Itulah yang kutakutkan. Jika saja kata-kata menggelontor dari bibirku. Basi lah segala yang pernah aku buat untuk mereka, anak-anak asuh kami. Lebih baik kudiamkan saja.

Sungguh, malaikat mana pula yang bisa sekacau itu? Masih begitu banyak yang harus aku benahi dari diri ini. Perihal ikhlas yang sebenar-benar tulus. Tentang sabar yang tiada pernah berbatas. Mengenai balasan Yang Maha Pembalas di akhirat kelak. Ucapan salut dan judge yang begitu melambungkan tadi justru melecuti hati kecilku. Ada rasa perih yang tak terdefinisikan ruah dari hati ini.

Ah, semoga Allah mengampuniku. Semoga malaikat mengamini berpuluh-puluh doa kebaikan dari teman-teman yang dengan spontan –dan semoga saja dengan kesadaran penuh- telah mengungkapkan secara verbal ataupun via SMS, tentang aku yang kini sedang belajar berbagi rasa dengan anak-anak asuh di panti kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...