Langsung ke konten utama

Raut Innocent dan Sebilah Belati

Raut Innocent dan Sebilah Belati

Kau perhatikananak itu, dengan setelan denim kusut yang dikenakannya, belati kecil di genggaman, dia siap melukaimu. Tatapannya yang liar seolah membakar. Jangan kau pegang terlalu erat, sebab dia akan kesakitan dan meronta. Tapi ingat! Di tangannya belati yang siap melakuimu saat kau lengah.

Lagi-lagi mata itu. Andainya itu api, sudah sejak tadi aku terbakar hangus. Puncak rasaku mati. Ketika meregang kurasakan seluruh tubuhku luka. Kucoba mengencangkannya lebih erat lagi dan lagi. Tubuhku sakit menahan liukan tubuhnya yang liat dan licin berpeluh. Dia meronta.

Ah, aku perih, lelah, sakit! Tapi aku kasih... Dan rasa itu membuatku lemah. Tapi aku iba... Rasa itu membuatku kalah. Tubuhku kuyup oleh peluh dan darah. Kukira setelah remuk itu dia akan berkemas pulang. Lengkap dengan belati bersimbah darah. Tatapannya berubah kini, antara puas dan bingung.

Kukira dia akan berkemas pulang. Yah, mungkin saja. Tapi aku tak tahu. Sekelilingku gelap. Rasaku tiada.

Tak ada tertanggal di catatan usang itu. Kutemukan saat berkemas. Entah kapan tepatnya tulisan ini kubuat. Yang pasti sekitar tahun 2004. Saat galau sebentar-bentar merambatiku. Sering aku kalah pada ‘si anak innocent pembawa belati’. Ah, aku ingat masa-masa itu. Sekarang pun masih membayang. Hanya saja aku telah memilih menjinakkannya daripada membumihanguskannya. Sempat pernah terpikir untuk itu. Tapi akhirnya doa yang terus kupinta terjawab, Sang Maha Mendengar memberikan jalan-Nya yang teramat indah buatku. Anak itu sebenarnya sebentuk cinta yang bercokol dalam hatiku. Hm, sekarang aku bisa sebutkan ‘rasa’ itu adalah ‘cinta’. Sebab dulu ragu sempat meraja. Tuhan, cinta kah ini? Ataukah sekedar nafsu :) 16 Desember 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...