Langsung ke konten utama

PLESTER MULUT

-->
  Peristiwa menggelikan sekaligus memberi ibrah ini terjadi di pagi hari. Ketika kesibukanku sebagai ibu rumah tangga sejati berada di puncak klimaks. Yup! Pagi hari selalu begini, dimana aku menyiapkan banyak hal, disitu anak-anak, terutama si bungsu, meminta perhatian lebih.
Sarapan sudah siap, tetapi tidak dengan beberes. Aku sedang menyiapkan Akib berangkat ke sekolah, sementara Biyya merengek terus-terusan. Biasa si ayah membawa Biyya ke kandang kelinci atau kandang kambing, tapi pagi ini berbeda. Biyya ogah ikut si ayah ke belakang. Jadilah aku seperti orang kebakaran jenggot pagi ini, ugh!
Bunda jaat kali…” Bunda jahat sekali, rengek Biyya lagi. “Bunda dendoong…” Bunda gendong, pintanya sambil terus berteriak. Sementara Akib  masih cas cis cus, asik dengan mobilan yang ia susun dari Lego. Hanya saat mood-nya baik ia mau berpakaian sendiri. Sebenarnya aku juga kehabisan akal mensiasati Akib untuk mandiri. Hari ini ia bangun karena langsung kuangkat ke kamar mandi dan kuguyur air. Kalau tidak begitu, ia tak akan bangun dan bersiap-siap ke sekolah.
Biyya masih juga bertingkah. Merengek-rengek, mengatakan aku jahat. Biyya minta sarapan dengan telor, padahal aku sudah menyiapkan gulai ikan untuk sarapan hari ini.
“Bunda, Akib mau plester Dora!” sekarang giliran Akib.
Aku yang masih bolak-balik sana-sini mulai frustasi. Biyya masih berteriak. Akib mengulang permintaanya. Mereka berkoor seperti kodok kawin di musim penghujan. Haduh, saking frustasinya aku tak lagi tahu mencari perumpaan tepat untuk kedua malaikatku yang sedang bertransformasi menjadi monster kecil pagi itu.
“Aduuuh! Ini, nih! Ini dia plesternya! Ambil! Biyya mau juga? Ini, ini… Biyya pakainya di mulut aja biar nggak ribut. Nangis terus dari tadi.” Ketusku.
Akib tersenyum dan mulai mengalihkan perhatiannya ke band aid bermotif Dora dan Boots. Sementara Biyya dengan bingung menerima satu band aid. Itu benda baru baginya. Masih dengan sisa air mata ia memerhatikan abangnya merobek sudut pembungkus band aid tadi.
“Ini dibuka, ditempelkan ke mulut Biyya. Biar diam. Biar nggak nangis lagi.” Ulangku.
Antara menyesal dan geli, kulihat Biyya melepas kertas perekatnya dan menempelkan band aid bermotif Dora itu ke mulutnya. Aku dan Akib sontak tertawa lepas demi menyaksikan Biyya berusaha menyesuaikan mulutnya. Manyun sana, manyun sini. Akib menjelaskan itu plester luka. Tapi kelihatannya Biyya yang baru berusia dua tahun tak begitu faham.
Ah, aku ini sembarangan bicara. Karena kesal kukatakan saja fungsinya untuk itu. Akhirnya setiap melihat band aid, Biyya menempelkannya ke mulut, persis seperti korban penculikan. Aku ceroboh sekali, akhirnya repot dua kali menjelaskan fungsi sebuah benda kepada Biyya si Peniru.
Sang imitator ini sibuk sekali kalau azan sudah berkumandang di masjid sekitar desa kami, padahal musala panti masih sepi. Melihat dia tergesa-gesa mengambil mukena mungilnya dan melakukan gerakan-gerakan shalat yang belum sempurna, menyeruaklah haru di hati kami.
Mendengar salamnya yang masih cadel ketika memasuki pintu rumah, melihatnya berusaha membantu mengemasi mainan abangnya. Membantu menyapu dan mengepel, walaupun semuanya serampangan dan seringkali justru menambah list pekerjaan rumahku, aku senang sekali.
Persoalannya sekarang, ia juga meniru segala hal termasuk hal yang tak baik. Ya, tentu saja tak semuanya baik. Aku jadi harus memilih tindakan yang paling ‘bersih’ yang kupunya dan kutahu. Seperti, sekesal apapun aku pada abangnya dan anak-anak panti, aku harus tetap santun ketika menegur mereka. Ketika aku punya selembar sampah plastik di tanganku, aku harus betul-betul membuangnya di tempat yang tepat, bukan sembarang tempat.
Bahkan ketika aku kaget, aku harus terpikir kata-kata apa yang harus aku teriakkan. Walaupun yang namanya spontan sulit sekali untuk ditahan. Tentu saja aku tak boleh mengeluarkan kata-kata ‘ajaib’ yang nanti didengar dan ditirunya.
Aku harus berusaha menanamkan kebiasaan yang paling baik yang aku tahu untuk bisa aku tularkan ke anak-anakku. Bukan sekedar mencoba menjadi ‘orang sok baik’, tapi aku harus benar-benar menjadi ‘orang baik’ yang sesungguhnya dan meninggalkan kebiasaan yang tak baik ataupun berdampak buruk untuk anak-anakku.
“Once you become a parent, you have to be responsible for your kids, even if you’re no longer able to do somethings that you like
Ada sekolah di rumahku. Aku ini guru utamanya. Kepala sekolahnya. Ada lahan yang harus kutanami di rumahku. Ada yang akan tumbuh dan menghunjamkan akarnya. Hal itu membuat kami (aku dan suami) tak pernah berhenti berbenah dan saling mengingatkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...