Membelah jalanan di jembatan Lamnyong selepas isya memberiku
securah nuansa lain,
sekaligus sontak menghenyak diriku betapa ajaibnya sang waktu! Setahun sudah berlalu. Sekitar pertengahan Maret lalu kami
melintasi jalan yang sama dengan setumpuk barang bertimpuk di bagasi mobil.
Malam itu kami pindah ke Sibreh.
Rumah
Kajhu, kampus Unsyiah, warung kopi di sepanjang jalan Lingke- Lamnyong, klinik
Hartini, cafe Mbak Moel, pustaka wilayah, masjid Prada, day care Bunda, adalah tempat yang kerap kami sambangi di sela-sela perjalanan
pulang. Tak ketinggalan komplek perumahan dosen Unsyiah di Blang Krueng.
Rehat
di Atjeh Kupi atau Mr. Black cafe, menikmati secangkir sanger atau kopi soda dan Wi-fi
gratis. Lalu, beberapa botol teh Sosro kesukaan
anak kami, Akib. Berakhir pekan di Mbak Moel cafe, selepas zuhur langsung ke
sebelahnya. Buku-buku pustaka dan ruang baca yang nyaman menanti kami.
Khusus minggu, kami tidak berpindah ke ruang lain, hanya
di bagian ruangan yang permukaan lantainya beralaskan matras puzzle berwarna-warni. Rak rendah dengan
warna mencolok lengkap dengan bangku dan meja mungil. Ya, ruang ini khusus
bacaan anak. Kita bisa membaca sambil berselonjor, ataupun tengkurap di atas
matras. Sampai jam empat sore, pustaka wilayah tetap melayani pengunjung di hari Minggu.
Aku
rindu Kajhu. Entah bagian mananya yang kurindu. Apakah air sumur bornya yang
licin berlumut, atau panasnya yang kah ju
(sudah mendidih)? Mungkin saja aku rindu aroma lautnya yang terkadang anyir.
Tetangga unik kami, Aril dan
Agil. Tetangga depan yang ramah, Kak
Ely dan bayinya Amel. Mamah Intan yang perhatian dan lembut tuturnya. Seorang
gadis belia cantik bernama Sarah yang selalu menyapa dengan senyum sumringah
ketika menjemur kain di belakang rumahnya.
Penjaga toko kelontong yang juga
ramah di sudut jalan komplek perumahan
Kajhu Indah. Hm, mungkin juga pada penjual putu bambu yang lalu lalang di depan
rumah setelah isya. Bahkan pada segerombolan sapi yang terlihat liar, mereka
sering berteduh di teras rumah ketika hujan.
Atau pada kepiting tambak dengan
capit asimetris yang menyelinap di
gudang belakang rumah kami. Gudang yang ukurannya hampir sepantaran dengan kamar
tidur kami. Di gudang itu Akib biasa membongkar ‘harta karun’nya. Bermain ampas kelapa parut dengan mainan
buldozer kesayangannya.
Malam hari, gudang juga
difungsikan sebagai garasi tempat motor suamiku parkir. Sampai esok paginya kuda besi itu
menemani suamiku bergelut dengan hari hingga pukul sebelas malam.
Hari Sabtu dan Minggu adalah
milik kami. Banyak opsi yang bisa
dipilih untuk buang penat. Yang paling sering adalah silaturrahim ke rumah
saudara dan kerabat. Tapi,
tak jarang kami mulai pagi minggu dengan gelas-gelas berisi susu, beberapa
potong cracker, lalu mulai berkemas
menuju laut Monsinget. Tak jauh, sekira ada satu setengah kilometer saja.
“Akib duduk di depan, Yah!”
teriak balita kami antusias.
Ia sudah menyiapkan seember
mainan yang sama setiap kali kami ke laut. Dua ember bekas paket bucket sebuah resto fast food, dua mainan buldozer, satu sekop kecil berwarna hitam. Ia
tak suka ombak dan air asin yang sering memberikan kesan ‘lengket’ di kulit. Animonya
tertuju justru pada hamparan pasir yang basah usai dijilati riak ombak.
Kami pernah singgahi laut
Monsinget di pagi ataupun petang hari. Selalu saja sepi, pernah ada dua orang
pria saja yang sedang memancing di minggu pagi. Di bibir pantai ada sebuah
legokan cukup dalam. Karena tidak ada ombaknya, anak kami berasyik-masyuk
meraup tanah memadati ember dan menunggingkan isinya di pinggiran legok itu. Mencoba membuat
istana pasir dan meruntuhkannya kembali.
Tanah Kajhu gersang layaknya
daerah pesisir. Selain warna tanahnya yang merah pucat dan menggumpal, Kajhu,
Cadek, Baet dan sekitarnya termasuk daerah yang curah hujannya rendah. Kesan
panas menyengatnya pun terlihat dari dinding-dinding rumah yang catnya
rata-rata mengelupas di sana-sini. Sapi dan kambing berkeliaran seolah tak
bertuan.
Pernah satu kali gerombolan ternak itu nyaris
membuat biji mataku berloncatan keluar. Pagi masih buta, guyur hujan menggila
semalaman. Walau curah hujan rendah, rahmat itu tetap luruh menggigir malam.
Tak ketinggalan suara angin turut mendesau-desau menempiaskan titik hujan
melalui ventilasi. Masih dengan sisa kantuk selepas shalat subuh, aku berniat
menghirup udara pagi yang harusnya segar. Tapi yang kudapati adalah bau amoniak menusuk hidung yang berasal dari
teras depan. Saat kusongsong, bukan kepalang kagetnya aku. Kulihat lebih dari
tiga tumpuk kotoran sapi plus air
seninya yang aromatis.
“Masya Allah, Ayah! Coba lihat
ini!” teriakku. “Dasar
sapi! Keturunan lembu kau, saudaranya kerbau!” rutukku dalam hati.
Si Ayah buru-buru mengangkut
timba yang berisi air, lalu menyiram teras sampai onggokan hijau tua itu luruh
semuanya. Bukan itu saja, ketika lengang siang tiba, jendela ruang tengah bisa
jadi pintu masuk kucing liar untuk melongok ke dapur dan mencomot apa saja yang
disukainya.
Dusun yang masih termasuk
kawasan Aceh Besar ini, punya cuaca terik menyengat. Kain-kain yang dijemur
pagi setelah di-spin di mesin cuci,
bisa dipastikan mengering sebelum jarum jam menunjukkan pukul dua belas tengah
hari. Angkat saja sebelum kain-kain mengering bak kerupuk muling.
Terakhir kali kami
bersilaturrahim ke sana, saat suasana Idul Adha masih tersisa. Kak Ely surprise menyambut kami.
“Bang Akib! Ayo masuk! Dek
Amel rindu sama Bang Akib. Sekolah dimana sekarang?”
Tak seperti biasanya, hari itu
tanah sedikit basah. Langit masih gerimis. Kami perlu berlari kecil untuk tiba
di pintu rumah Kak Ely.
“Sudah hampir dua minggu nggak
hujan, kalian datang kemari seperti pertanda rahmat,” kata Kak Ely sambil
menyuguhkan tiga gelas teh hangat dan membuka toples kue. Di sini, hari raya Idul
Adha terasa istimewa tak ubahnya dengan Idul Fitri. Toples-toples kue terisi
penuh dengan sepit, bolu ikan, karah-karah, dan kue marke.
Obrolan senja itu melengkapi
hangatnya kepulan asap yang berasal dari cangkir teh suguhan Kak Ely. Rupanya
Agil dan Aril sudah pindah. Mamah Intan masih seperti biasa, menyibukkan diri
dengan beberapa ekor bebek entok dan ayam burasnya.
Tapi setelah kami pindahan,
halaman belakang rumah Mamah Intan disekat dinding beton setinggi ventilasi
rumahnya. Dulunya kami bisa dengan mudah menaruh ampas kelapa, kulit kentang
atau wortel dan remah nasi di baskom yang disediakan buat pakan bebek.
Sementara itu Sarah sudah
diboyong suaminya ke Punge. Terakhir aku bertemu dengannya di depan BNI
Merduati. Sarah masih cantik seperti biasanya, hanya ukuran badannya banyak
bertambah, digendongannya seorang bayi laki-laki sehat yang wajahnya
sangat mirip sang Ayah, suami Sarah.
Rumah yang dulu kami huni
sudah berganti tuan. Dua orang mahasiswa Unsyiah, masih berkerabat juga dengan
Pak Din, Sekdes Gampong.
Tak banyak yang berubah dari
tampilan rumah tersebut. Rumah tipe 45 dengan tambahan gudang selebar 5 x 6 meter. Dinding, atap dan pintu
keseluruhannya dari seng yang direkatkan dengan kosen. Halamanya tak berpagar.
Tanah lapang di samping kiri dan kanannya.
Kajhu, aku jadi banyak
belajar. Segersang apapun tempat, tetap bisa menyejukkan hati. Kemana pun kaki
menginjak, ajir tegap harus dipancang. Dengan sapa hangat tetangga, empati
dalam lembaran halus budi. Betapa perlunya meninggalkan jejak tapak kebaikan
dimanapun kita berada. Sebentuk syukur diwujudkan dengan merawat tempat yang
kita tinggali layaknya rumah hunian milik sendiri.
Masih lekat di benakku petuah Ayah
tercinta. Pagi itu lazuardi membentang indah, aku membantu Ayah menyiangi
rumput liar di halaman rumah.
“Bak, kenapa nggak Mbah
Ngadimin saja yang membersihkan semua ini?” aku bertanya begitu bukan keberatan
membantu Ayah, tapi aku hanya mengungkapkan besit tanya dalam hati, “kenapa Ayah bersusah payah berjongkok dan
mengotori tangannya hanya buat urusan kecil seperti ini.”
“Ini bentuk syukur kita pada
Allah, yang sudah diberikan-Nya musti kita rawat dengan baik. Kalau sekecil ini
saja kita tidak sanggup,
tidak mungkin Allah menambahkan dengan yang lebih besar lagi. Bukan berlaku
dalam hal ini saja, tapi cakupannya dalam semua hal tentang rizki-Nya buat
kita.”
Jawaban yang diberikan Ayah
tertancap ke dalam hatiku, terserap perlahan. Pikiran delapan belas tahun-ku
saat itu memaknai dengan lebih dalam lagi.
Sampai hari ini, kemana pun
suami memboyong aku dan anak-anak, kuberikan bakti dan sebentuk syukur seperti
yang pernah diajarkan Ayah. Aku ingin memenuhi setiap ruangan rumah hunian kami
dengan sentuhan ‘terimakasih’.
Esok, ketika kaki harus
melangkah ke arah lain, aku ingin tetap meninggalkan jejak kebaikan. Aku memang
tak mampu mengukur kedalaman hati orang-orang yang kutemui, tapi paling tidak, tetap
ada empati yang terus dipupuk di dalam hati. Juga kemauan, usaha dan doa agar hidup punya pendar cahaya
yang menempias pada setiap titik tempat yang aku singgahi.
Sekali lagi, aku rindu Kajhu.
Entah bagian mana yang aku rindui. Aku hanya tahu, ada pemantik memercikkan rasa indah itu.
Komentar
Posting Komentar