Langsung ke konten utama

KOMENTAR YUGA :)

“Waah, Kakak...! udah lama banget nggak ketemu, apa kabar nih? Aih, kok kurus amat, sih?” Yuga surprise campur pangling melihatku.
“Iya, nih, kurusan..., masih menyusui si bungsu” Jawabku sambil membalas hangat pelukannya, tidak lupa cipaka-cipiki juga.
“Apa kegiatan sekarang, Kak? Udah kerja dimana?”
“Ya, kerja di rumah, Dek. Ibu Rumah Tangga” Jawabku dengan maksud sedikit ‘bangga’ (astaghfirullah...:D). Kontan mimik wajah Yuga berubah 180 derajat. Mata beloknya yang indah mengerjap, bibir mungilnya terbuka sedikit sambil berujar,
“Lho?” Sedikit beku situasi saat itu, tapi hanya beberapa detik. Sebab lengkung senyum tetap sumringah di wajahku.
Yuga melanjutkan “Iya, ya...capek bener ya, Kak, jadi Ibu Rumah Tangga. Memasak, menyuci, bersih-bersih rumah, ngepel juga. Ngurusin kain, terus....”
“Ups, yang Yuga bilang barusan, tuh, pekerjaan pembantu rumah tangga.” Potongku sekenanya. “Owh, jadi Kakak ada pembantu, ya?” Masih dengan senyum yang sama aku menimpali “Nggak ada pembantu, Dek...”
Untuk kesekian kalinya Yuga melongo, “terus gimana, Kak? Yang masak, nyuci, ngepel, beres-beres rumah. Aih, Kakak betah berantakan? Belum lagi ngurusin anak yang udah sepasang...”
“Lho, kita kan berdua sama suami...gotong royong, dong. Secara abangmu belum bisa menyediakan asisten rumah tangga, kami terbiasa gotong royong di rumah, hehe...”
“Iya, ya Kak...aduh, Yuga kok polos gini. Hehe..Eh, tapi dirimu kurus banget, sih? Makan yang banyak, dunk. Biasa gembul, juga, hahaha... ”
“Heudeh, buka kartu aja, kamu! Iya, deh, ntar makan yang banyak”
“Ng..., jadi ngebayangin kalian pas kerjasama di rumah. Kakak jadi merintahin-merintahin si abang ya? Hihihi... Apa nggak bahaya, tuh, Kak? Kayak di pilem suami-suami takit istri itu, lho?”
Ampyun, deh, si Yuga. Ngomongnya memang blak-blakan, tapi itulah yang aku suka darinya. Bagi Yuga tidak perlu kelewat banyak basa-basi dan bermanis-manis tapi berkata miring di belakang.
“Ada seninya, Dek. Eh, kamu tau, nggak? Justru ritual semacam itu yang membuat kami semakin akrab dan mesra. Nah, boleh liat sendirilah.”
“Ya, ya, ya...betul juga, ya? Jadi contoh juga tuh, buat si kecil supaya mereka suka kerjasama. Ya kan, Kak? Lagi pula sebagai laki-laki, para suami nggak bakalan jatuh, deh, wibawanya kalau cuma bantuin pekerjaan rumah tangga. Malah lebih nampak berwibawa dan bertanggung jawab. Lagian, yang mau tampak begini dan begitu, tuh, orang yang kudu memperbaiki niat selama ngejalanin hidupnya. Yang pentingkan penilaian Yang Di Atas, penilaian manusia nomer sekianlah. Aku, tuh, masih suka heran. Banyak suami yang takut jatuh harga dirinya cuma karena membantu pekerjaan rumah. Kasian banget, ya, laki-laki yang begitu. Jelas-jelas bukan tipe lelaki penyayang. Kalau aku, ogah, ah, sama laki-laki gengsian nggak jelas gitu... ”
Sekarang gantian aku yang melongo... Hahay, mantap Yuga!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...