“Waah, Kakak...! udah lama banget nggak ketemu, apa kabar nih? Aih, kok kurus amat, sih?” Yuga surprise campur pangling melihatku.
“Iya, nih, kurusan..., masih menyusui si bungsu” Jawabku sambil membalas hangat pelukannya, tidak lupa cipaka-cipiki juga.
“Apa kegiatan sekarang, Kak? Udah kerja dimana?”
“Ya, kerja di rumah, Dek. Ibu Rumah Tangga” Jawabku dengan maksud sedikit ‘bangga’ (astaghfirullah...:D). Kontan mimik wajah Yuga berubah 180 derajat. Mata beloknya yang indah mengerjap, bibir mungilnya terbuka sedikit sambil berujar,
“Lho?” Sedikit beku situasi saat itu, tapi hanya beberapa detik. Sebab lengkung senyum tetap sumringah di wajahku.
Yuga melanjutkan “Iya, ya...capek bener ya, Kak, jadi Ibu Rumah Tangga. Memasak, menyuci, bersih-bersih rumah, ngepel juga. Ngurusin kain, terus....”
“Ups, yang Yuga bilang barusan, tuh, pekerjaan pembantu rumah tangga.” Potongku sekenanya. “Owh, jadi Kakak ada pembantu, ya?” Masih dengan senyum yang sama aku menimpali “Nggak ada pembantu, Dek...”
Untuk kesekian kalinya Yuga melongo, “terus gimana, Kak? Yang masak, nyuci, ngepel, beres-beres rumah. Aih, Kakak betah berantakan? Belum lagi ngurusin anak yang udah sepasang...”
“Lho, kita kan berdua sama suami...gotong royong, dong. Secara abangmu belum bisa menyediakan asisten rumah tangga, kami terbiasa gotong royong di rumah, hehe...”
“Iya, ya Kak...aduh, Yuga kok polos gini. Hehe..Eh, tapi dirimu kurus banget, sih? Makan yang banyak, dunk. Biasa gembul, juga, hahaha... ”
“Heudeh, buka kartu aja, kamu! Iya, deh, ntar makan yang banyak”
“Ng..., jadi ngebayangin kalian pas kerjasama di rumah. Kakak jadi merintahin-merintahin si abang ya? Hihihi... Apa nggak bahaya, tuh, Kak? Kayak di pilem suami-suami takit istri itu, lho?”
Ampyun, deh, si Yuga. Ngomongnya memang blak-blakan, tapi itulah yang aku suka darinya. Bagi Yuga tidak perlu kelewat banyak basa-basi dan bermanis-manis tapi berkata miring di belakang.
“Ada seninya, Dek. Eh, kamu tau, nggak? Justru ritual semacam itu yang membuat kami semakin akrab dan mesra. Nah, boleh liat sendirilah.”
“Ya, ya, ya...betul juga, ya? Jadi contoh juga tuh, buat si kecil supaya mereka suka kerjasama. Ya kan, Kak? Lagi pula sebagai laki-laki, para suami nggak bakalan jatuh, deh, wibawanya kalau cuma bantuin pekerjaan rumah tangga. Malah lebih nampak berwibawa dan bertanggung jawab. Lagian, yang mau tampak begini dan begitu, tuh, orang yang kudu memperbaiki niat selama ngejalanin hidupnya. Yang pentingkan penilaian Yang Di Atas, penilaian manusia nomer sekianlah. Aku, tuh, masih suka heran. Banyak suami yang takut jatuh harga dirinya cuma karena membantu pekerjaan rumah. Kasian banget, ya, laki-laki yang begitu. Jelas-jelas bukan tipe lelaki penyayang. Kalau aku, ogah, ah, sama laki-laki gengsian nggak jelas gitu... ”
Sekarang gantian aku yang melongo... Hahay, mantap Yuga!
“Iya, nih, kurusan..., masih menyusui si bungsu” Jawabku sambil membalas hangat pelukannya, tidak lupa cipaka-cipiki juga.
“Apa kegiatan sekarang, Kak? Udah kerja dimana?”
“Ya, kerja di rumah, Dek. Ibu Rumah Tangga” Jawabku dengan maksud sedikit ‘bangga’ (astaghfirullah...:D). Kontan mimik wajah Yuga berubah 180 derajat. Mata beloknya yang indah mengerjap, bibir mungilnya terbuka sedikit sambil berujar,
“Lho?” Sedikit beku situasi saat itu, tapi hanya beberapa detik. Sebab lengkung senyum tetap sumringah di wajahku.
Yuga melanjutkan “Iya, ya...capek bener ya, Kak, jadi Ibu Rumah Tangga. Memasak, menyuci, bersih-bersih rumah, ngepel juga. Ngurusin kain, terus....”
“Ups, yang Yuga bilang barusan, tuh, pekerjaan pembantu rumah tangga.” Potongku sekenanya. “Owh, jadi Kakak ada pembantu, ya?” Masih dengan senyum yang sama aku menimpali “Nggak ada pembantu, Dek...”
Untuk kesekian kalinya Yuga melongo, “terus gimana, Kak? Yang masak, nyuci, ngepel, beres-beres rumah. Aih, Kakak betah berantakan? Belum lagi ngurusin anak yang udah sepasang...”
“Lho, kita kan berdua sama suami...gotong royong, dong. Secara abangmu belum bisa menyediakan asisten rumah tangga, kami terbiasa gotong royong di rumah, hehe...”
“Iya, ya Kak...aduh, Yuga kok polos gini. Hehe..Eh, tapi dirimu kurus banget, sih? Makan yang banyak, dunk. Biasa gembul, juga, hahaha... ”
“Heudeh, buka kartu aja, kamu! Iya, deh, ntar makan yang banyak”
“Ng..., jadi ngebayangin kalian pas kerjasama di rumah. Kakak jadi merintahin-merintahin si abang ya? Hihihi... Apa nggak bahaya, tuh, Kak? Kayak di pilem suami-suami takit istri itu, lho?”
Ampyun, deh, si Yuga. Ngomongnya memang blak-blakan, tapi itulah yang aku suka darinya. Bagi Yuga tidak perlu kelewat banyak basa-basi dan bermanis-manis tapi berkata miring di belakang.
“Ada seninya, Dek. Eh, kamu tau, nggak? Justru ritual semacam itu yang membuat kami semakin akrab dan mesra. Nah, boleh liat sendirilah.”
“Ya, ya, ya...betul juga, ya? Jadi contoh juga tuh, buat si kecil supaya mereka suka kerjasama. Ya kan, Kak? Lagi pula sebagai laki-laki, para suami nggak bakalan jatuh, deh, wibawanya kalau cuma bantuin pekerjaan rumah tangga. Malah lebih nampak berwibawa dan bertanggung jawab. Lagian, yang mau tampak begini dan begitu, tuh, orang yang kudu memperbaiki niat selama ngejalanin hidupnya. Yang pentingkan penilaian Yang Di Atas, penilaian manusia nomer sekianlah. Aku, tuh, masih suka heran. Banyak suami yang takut jatuh harga dirinya cuma karena membantu pekerjaan rumah. Kasian banget, ya, laki-laki yang begitu. Jelas-jelas bukan tipe lelaki penyayang. Kalau aku, ogah, ah, sama laki-laki gengsian nggak jelas gitu... ”
Sekarang gantian aku yang melongo... Hahay, mantap Yuga!
Komentar
Posting Komentar