Langsung ke konten utama

DOMPET HITAM, JILBABER, DAN MUSALA KAMPUS



“Kak!” sebuah suara yang entah milik siapa, “Kak, ada ngeliat dompet hitam, nggak?”
Sadar pertanyaan itu ditujukan padaku, aku mencoba menghentikan langkah sejenak dan mulai menolehkan wajah ke belakang. Hanya memutar separuh badan, sebab aku musti gegas menuju masjid, kajian sekaligus rapat sore itu hampir dimulai.
Kuamati sebentar sosok anak lelaki di belakangku. Seorang mahasiswa, memakai  kemeja dan jeans hitam, ransel, sepatu kets putih dengan motif garis coklat di sampingnya. Jerawatan, tipikal kulit berminyak, lengkap dengan rona memelas menghias wajahnya.
“Maaf, nggak ada,” jawabku sekenanya sambil mulai mengambil aba-aba untuk mulai melangkah lagi.
Matahari sepenggalah. Siang di bulan Juli itu cukup terik, jalanan di samping Lapangan Tugu sepi sekali. Lain lagi kalau sudah sore, di sepanjang pinggiran Lapangan Tugu Darussalam, berderet gerobak-gerobak sorong aneka minuman dan makanan. Dari mulai cendol, air kelapa muda, es krim, siomay, bakso goreng, dan lain-lain.
“Tadi sepertinya jatuh di sekitar sini,” tambah anak lelaki itu seraya mulai menjajari langkahku. Hari itu aku sedang sedikit bete. Selain tugas kuliah yang menumpuk, bulan Juli juga musim final di kampus kami. Belum lagi amanah di dua organisasi yang aku ikuti turut membebani pikiranku siang itu.
Kucoba menyisir pinggiran Lapangan Tugu dan rerumputan hijau di sebelah kananku, sambil tetap saja berjalan lurus ke tempat tujuanku, masjid Sektor Selatan. Tak ada tanda-tanda dompet hitam yang jatuh, pun tak ada tanda-tanda manusia lain selain aku dan anak lelaki itu. Perasaanku tak nyaman, makin cepat sampai di tempat tujuan, semakin baik, pikirku.
Anak itu terus mengikutiku sampai hampir ke pagar masjid. Begitu tahu aku berbelok dan memasuki teras masjid, kutoleh sekali lagi ke belakang, anak itu sudah menghilang di tikungan jalan yang tembus ke Tanjung Selamat.
xxx
            “Ai, ayuk udahan minumnya, Kakak harus ke Musala Mizan, nih!” Kak Dhi nampak tergesa.
            “Iiih, iya, bentar. Belum juga lima menit, ah!” jawabku merajuk. Kami melepas gerah dan haus di sebuah mini market  Simpang Galon. Membeli sebotol air mineral dan sebungkus saltcheese kesukaanku.
            “Buru-buru amat,” kataku sambil memasukkan botol air mineral di kantong samping Eiger Parinacota-ku.
            “Iya, Kakak ada janji sama seseorang di Musala Mizan.” Jelas Kak Dhi.
            “Siapa?” tanyaku seperti biasa. Aku dan Kak Dhi sudah seperti kakak adik, teman Kak Dhi temanku juga, termasuk kenalan baru sekalipun, biasanya aku juga kenal.
            “Namanya lupa Kakak tanya,”
            “Hah? Nggak tahu namanya?”
            “Iya, nomer hape-nya pun, lupa Kakak tanya,”
            Aku maklum saja, saat itu menanyakan nomor telpon selular saat berkenalan, belum familiar seperti sekarang. Sebab tidak semua punya piranti komunikasi yang saat ini jadi kebutuhan primer itu.
            “Jam berapa janjiannya?” tanyaku lagi.
            “Jam sepuluh teng.” Jawab Kak Dhi. Kami sudah sampai di pelataran Kampus Ekonomi Unsyiah. Kampus tertua di Universitas Jantong Hatee Rakyat Aceh, sedang dipugar.
            Kami duduk melepas penat di teras Musala Mizan sambil mengobrol. Jam tangan Kak Dhi menunjukkan jam 9.45, lima menit lagi pukul sepuluh teng. Seperti biasa kami mengobrol tentang banyak hal, juga seputaran organisasi tempat kami berkecimpung bersama. Aku dan Kak Dhi beda fakultas, kami dekat karena satu organisasi dan satu ide tentunya.
            Sudah setengah jam molor dari waktu yang sudah disepakati. Sosok makhluk yang ditunggu Kak Dhi belum tampak juga batang hidungnya. Bahkan tanda-tandanya pun tak ada, akhirnya aku bertanya,
            “Kenal dimana, Kak, dengan orang yang ditungguin ini?”
            “Nng ... dimana, ya? Ya, kenal di jalan gitu,” jawab Kak Dhi sedikit bingung. Akhirnya tema obrolan kami beralih pada sebuah sosok yang sedang dinanti kehadirannya ini.
Seorang anak lelaki, berambut lurus, berparas memelas, dengan wajah mengkilat karena kelebihan minyak. Penampilan persis mahasiswa semester baru. Menyandang ransel, menanyakan sebuah dompet hitam yang tercecer.
“Terus, Kakak kasih berapa?” kejarku lagi.
“Ngg ... lima puluh ribu, Ai.”
“Hah, kok banyak amat?!”
“Iya, kasian, sih. Uang Kakak cuma tiga lembar, dua lembar lagi uang ribuan. Itu yang Kakak pakai buat ongkos pulang. Katanya dia nggak punya pegangan apa-apa. ATM dan uang tunai 300.000 rupiah yang baru dia tarik, hilang sama dompet itu. Terus, dia mau telpon orangtuanya,” jawab Kak Dhi polos.
“Nah, buktinya sampai hari gini dia belum juga muncul. Kasih alamat juga nggak. Gimana ini?” ujarku gelisah bercampur kesal. Uang lima puluh ribu saat itu jumlahnya lumayan buat anak kost seperti kami.
“Dia tanya, Kakak kuliahnya dimana, Kakak bilang di Ekonomi. Dia minta Kakak nunggu di Musala Mizan ini.” lanjut Kak Dhi lagi.
Tiba-tiba saja aku ingat sosok anak lelaki yang deskripsi penampilannya nyaris sama dengan anak yang ditemui Kak Dhi. Menanyakan hal yang sama pula, sebuah dompet hitam yang tercecer. Klop sudah, Kak Dhi memang ditipu mentah-mentah.
Akhirnya kami pulang ke kost-an ku di Sektor Timur. Shalat dan istrahat di kamarku, kemudian membeli makan siang di warung Mbak Ana. Kami memilih menu favorit anak kost, ayam goreng Serbu alias serba lima ribu.
Malamnya aku ceritakan pada Kak Uli, Kakak kostku, tentang kejadian siang itu.
“Oh, anaknya agak kurus tinggi, kan?” Kak Uli menanggapi.
“Iya, Kak. Nanya dompet hitam gitu, sama Kak Dhi juga.”
“Terus minta uang buat nelpon keluarga?”
“Ho-oh, Kak. Kalau sama Aini nggak sampai minta uang. Soalnya Aini jalan terus terburu-buru. Lagi bete abis hari itu. Tampang aja mungkin udah kayak jeruk purut, mana sedang panas terik, capek, komplit, dah!”
“Anaknya berpenampilan kayak mahasiswa biasa gitu, kan?”
“Iya, Kak. Meyakinkan, kayaknya nggak mungkin nipu. Pakaiannya rapi dan kalau dilihat, penampilannnya seperti anak ekonomi menengah keatas gitu. Kakak juga pernah kena, ya?”
“Kalau Kakak, pernah ketemu juga. Tapi, waktu itu memang sedang nggak pegang duit. Lagian, Kakak nggak percaya gitu aja sama tuh, anak. Kak Hera pernah kena juga. Jadi, Kakak udah was-was duluan.”
Topik ini kian panas karena kami berdua menemukan kecocokan objek yang dibicarakan dan modus yang sama, dalam rentang waktu yang belum lama pula. Kak Uli melanjutkan, “Kalau sama Kak Hera, dia langsung minta dua puluh ribu. Dijawab Kak Hera kalau dia hanya bisa kasih sepuluh.”
“Weleh, pake tawar menawar pula penipu ini. kayak jualan aja,” selorohku dengan nada kesal.
“Eh, tahu nggak, Ai, yang dia incer itu para jilbaber, loh. Kayaknya dia yakin kalau objeknya kakak-kakak jilbab lebar, pasti gampang terenyuh dan iba. Rajin sedekah pula. Makanya dia hafal semua nama musala masing-masing kampus.” imbuh Kak Uli.
“Owh, pantesaan! Ujung-ujungnya ntar nanya kuliah dimana, terus janji ketemuan di musala kampus gitu.”
“Iya, waktu sama Dhi itu dia bilang di Mizan, kan? Nah, sama Kak Hera dia bilang ketemuan di An-Nahl jam sepuluh teng!”
Ya, ampun! Klop lah sudah! Penipu yang sama, dengan modus yang sama, objek penipuan yang mirip. Awas saja kalau bertemu aku lagi, mau main-mainin para jilbaber yak? Belum pernah kena jurus Tapak Suci dia! Aku merutuk dalam hati, Tapak Suci itu semacam klub karate.
Tak sulit bagiku untuk hal seperti ini. Awalnya aku sebarkan dari mulut ke mulut di setiap acara kumpul-kumpul dengan temanku. Menyuruh mereka juga mengabarkan hal ini di setiap pertemuan mingguan mereka.
Ternyata korbannya belum melebihi hitungan jari, itu yang aku tahu dari survey dadakan yang kami lakukan bersama Kak Dhi dan Kak Uli. Aku yakin setelah ini, kami bisa meringkusnya. Menangkap basah dan membuatnya mengaku. Syukur kalau dia mau mengembalikan uang-uang mereka, tapi aku tak yakin tentang hal itu.
Paling tidak sekarang teman-teman jilbaber ku lebih mawas diri. Bagi yang jam terbangnya tinggi dan mengharuskan dia berjalan ke sana-ke mari sendirian, mulai berpikir untuk gabung di klub bela diri. Bahkan masalah ini sudah terdengar oleh pengurus Rohis dan sivitas akademi. Anak itu mau lari kemana lagi coba?
Pada akhirnya, dengan modus dompet hitam-nya itu, menjadikan jilbaber sebagai objek sasaran empuk dan kefasihannya mengenal musala kampus, menjerat dirinya sendiri. Lihat saja seperti apa tampang orang yang berani-beraninya memanfaatkan kebaikan hati orang lain.

Komentar

  1. Bundaaa follow back ya.. udah Husna Follow blog kakak.. Miss u :)

    BalasHapus
  2. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...