Langsung ke konten utama

Akib Masih yang Pertama

Apa yang membuatku begitu perhitungan dalam menulis belakangan ini? Prioritas! Yep, prioritas. Aku selalu menunda menulis suatu hal ketika teringat beberapa tugas yang belum aku selesaikan. Tentu saja cerita ini terlepas dari prioritas mengerjakan aktivitas rumah tangga dan menemani anak-anakku. Semua itu memang menjadi prioritas utamaku. Aku tak akan mulai menulis kalau siang ini belum tau akan makan apa. Atau ruang tengah dan dapur masih seperti kapal pecah (ini kerap terjadi kalau aku memasak dengan terburu-buru, karena khawatir Biyya keburu bangun. Sementara ruang tengah berantakan setelah kami bermain, menonton video sambil mengemil di sana).
Nah, kalau sudah mulai di depan lappy, aku perhitungan sekali. “Pengen nulis ini.., aih tugas resensi belon kelar. Ngapain ngerjain yang lain? Pengen nulis itu... eits, naskah kemarin yang sudah separuh, dibiarkan ngatung begitu aja. Kapan kelarnya, coy?”
Pada akhirnya yang aku lakukan adalah membuka file-file lama. Menelusurinya satu-persatu. Seringkali ide-ide terdahulu tak lagi mampu kugali. Mampet. Itulah kata yang tepat untuk semua tulisan-tulisan fiksi yang sedang aku garap. Memang ada satu kendala yang aku sendiri kesulitan untuk menaklukkannya. Aku selalu saja diburu waktu. Terengah-engah, merasa waktuku yang 24 jam itu tak cukup. Inginnnya ditambah dua jam lagi untuk sekedar duduk dan menuangkan ide-ide yang pernah mampir
. Celakanya lagi, untuk ide cerita nonfiksi, justru sering terlintas ketika aku sedang menyuci piring di kamar mandi, sedang (maaf) BAB, sedang mandi, sedang beres-beres pagi. Hayyah! Aneh sekali, kenapa ‘Bilik Bermenung’ itu menjadi lokasi yang sangat strategis untuk menggali ide. Adakah yang pernah merasakan hal yang sama denganku?
Ouch..., sedikit menyebalkan! Saat ini aku masih mengemong anak yang super duper lengket denganku. Kalau melihat aku, Biyya langsung minta digendong, dicandai, di-sun kiri kanan.pokoknya Bunda tak boleh konsen ke hal lainnya. Ini Biyya, menghadap ke arah Biyya, bermainlah bersama Biyya! Akib si sulung kami pun jadi banyak mengalah. Walau ini tak terjadi setiap kali kami sedang bersama. Akib juga mau dong, diperhatikan!
Aku juga belajar mengaplikasikan beberapa trik dari hasil pengalamanku sehari-hari untuk meminimalisir Sibling Rivalry si sulung Akib. Jadi, setiap aku bermain bersama Biyya, Akib selalu aku libatkan dan setiap kata dan mimik wajah Akib adalah penting.
“Jiah, lihat Biyya..., Abang bikin apa tuh? Subhanallah keren sekali kapalnya!” Biyya yang belum mengerti pun aku hadapkan ke Akib. Kalau Biyya mulai merecoki milik abangnya, aku segera mengganti dengan mainan yang lain. Aku sangat menghargai privasi Akib. Mainannya selalu aku tanyakan “Yang mana yang boleh dipakai adik?” atau “Akib juga pilihkan yang serupa seperti itu, supaya adik tidak mengganggu milik Akib.” “Biyya merasa yang Akib punya itu keren sekali, jadi apa boleh dia sentuh sedikit?” Akib pun merasa cukup dihargai dan tidak lupa aku ceritakan kalau adik kecilnya tidak begitu paham apa yang kita katakan. Kalau adik mengganggu abang, dia sama sekali tidak berniat, hanya belum tau. Itulah tugas kita memberi adik pengertian.
Akib sering setuju. Bahkan aku sangat terharu ketika malam menjelang tidur, Akib yang dulu sering kali kami gosok punggungnya menjelang tidur, harus menunggu adiknya benar-benar puas menyusu dan tertidur untuk menunggu gilirannya dikelonin. Akib juga mengerti dan pergi ke sebelah Ayahnya kalau bunda sedang menidurkan adik.
Setahun belakangan saat kami tinggal di pusat pengasuhan anak, menjelang aku dan anak-anak tidur, Ayahnya harus mengecek anak-anak asuh kami hingga larut malam. Atau sekedar briefing dengan pengasuh lainnya mengenai anak-anak suh kami. Akib pun terlelap tanpa dikelonin.
Aku paham Akib merasa di-nomor-duakan. Setiap hari aku katakan “Akib itu nomer satu, anak pertama Bunda dan Ayah. Pertama kami sayang Akib, baru lah kami sayang Dik Biyya. Sampai hari ini dan nanti, selalu seperti itu. Akib selalu yang pertama.” Entah berapa kali kalimat ini kuulang-ulang. Biar saja, tak peduli ia mengerti ataupun tidak. Tapi yang pasti, melihat perlakuan Akib terhadap adiknya, Biyya, aku merasa sedikit lega. Akib tidak cemburu buta pada adiknya. Ia justru lebih terlihat punya empati dan penuh permakluman. Semoga ke depan semuanya tetap terjaga. Kakak beradik yang saling menyayangi menjadi penyejuk matahati kami. Allahumma amin...

Komentar

  1. :D iya, De... makasih udah mampir. Sekarang mulai kelihatan juga tingkah2 sibling rivalry bang Akib dalam bantuk yang baru, kadang masih bisa dialihkan, tapi nggak selalu. Sejauh ini everything is ok ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...