Langsung ke konten utama

Dia Inspirasiku

Aku tak mungkin jadi seperti ini tanpa dukungan suamiku. Bukan berarti aku mengatakan saat ini aku adalah orang yang paling sukses di sebuah bidang atau di berbagai bidang. Terlepas dari paradigma sukses yang terbingkai di kepala banyak orang jaman sekarang, aku benar-benar merasa diriku wanita yang bahagia lahir batin.
Satu lagi, bukan berarti aku mengabaikan keterlibatan kedua orangtuaku dalam hal ini. Jasa mereka tak mungkin kusebut satu-persatu dan terimakasihku ada di setiap hela nafas, begitu juga buat keluarga. Tapi aku tegaskan sekali lagi, aku menjadi seperti ini tak lepas dari cinta dan support suamiku. Aku ingin menginspirasi sepanjang hayatku karena imbas pribadi suamiku yang sangat menginspirasi.
Aku bukan siapa-siapa tanpa ia. Bagaimana caranya menghiburku, mengusir galau dan gelisahku, memupuk cinta dan membesarkan hatiku, bersabar atas keterbatasan yang aku punya, semuanya membuatku takjub. Pribadi yang sederhana dan hemat kata, sekali lagi, ia adalah anugerah terindah yang pernah diberikan Tuhan untukku.
Jadi sama sekali tak aneh kalau aku tak keberatan melakukan apa saja yang bisa menyenangkan hatinya. Menjaga perasaan dan harga dirinya sekuat tenagaku. Ia sudah terlalu banyak mengalah, semuanya membuatku tak ingin kalah untuk lebih banyak mengalah dibandingkan dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...