Langsung ke konten utama

Santiago Sang Coelho (Tentang Sang Alkemis)

Judul : Sang Alkemis
Penulis

: Paulo Coelho
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006
Cetakan : III
Halaman : 213


Pada saat tertentu dalam hidup kita, kita kehilangan kendali dengan apa yang terjadi dengan diri kita, dan hidup kita lalu dikendalikan oleh nasib. Itulah dusta terbesar dunia.” (Si Orang Tua/ Malchizedek).

Layaknya setiap jiwa, Santiago juga memiliki sebuah mimpi. Impian itulah yang kemudian mengantarkannya pada sebuah petualangan besar. Semua orang bisa bermimpi, tapi cara untuk menggapai impian itu tentu berbeda.

Adalah seorang bocah penggembala yang polos bermimpi menemukan harta karun. Ia menganggap itu adalah Legenda Pribadinya, seperti yang dikatakan oleh si Orang Tua.

“Daya misterius adalah kekuatan yang tampak negatif, tapi benarnya menunjukkan kepadamu cara mewujudkan Legenda Pribadimu. Kekuatan ini mempersiapkan rohmu dan kehendakmu. Karena ada satu kebenaran terbesar di planet ini. Siapapun kamu, atau apapun yang kau lakukan, saat kau benar-benar menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tadi bersumber di dalam jiwa alam semesta. Itulah misimu di dunia. ” (Malchizedek/ si Orang Tua, hal. 17).

Tak ayal, dalam mewujudkan Legenda Pribadinya, sang bocah menghadapi berbagai rintangan, tapi keyakinanya mampu menepis gundah yang berkelebat dipikirannya.
Dan, saat kamu menginginkan sesuatu segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya.” (hal.17)

Nasihat si Orang Tua menepis keraguan Santiago, bocah penggembala itu menjual kawanan dombanya dan memulai petualangan mencari harta karun. Sang bocah berpikir, dia harus memilih antara apa yang dia telah menjadi terbiasa dengannya (menggembala) dan apa yang ingin dimilikinya.

Kelebat peristiwa terjadi di negeri yang sama sekali asing bagi si bocah. Dari mulai menyesuaikan diri dengan bahasa yang belum pernah didengarnya sebelumnya, hingga penipuan yang membuatnya kehilangan seluruh harta yang ia punya. Walau sempat menangisi diri, tapi si bocah segera sadar, hidup harus terus berlangsung. Ia pun belajar dari kesalahan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan sang Alkemis yang memberinya begitu banyak pelajaran hidup.

Pemikiran Santiago yang polos dan perkataan sang Alkemis membawa kita mencari jawaban tentang apa yang kita cari selama ini dalam hidup. Kita akan tetap dituntun mengejar mimpi dalam alur cerita simbolik yang menarik.

Setiap lembar Sang Alkemis adalah curahan motivasi jiwa dari penulis, Paulo Coelho. Pria kelahiran Rio de Jeneiro, Brasil, 24 Agustus 1947 silam ini, pernah terpuruk dan menelan peristiwa-peristiwa pahit dalam hidupnya. Semua keadaan itu tidak lantas membuatnya jatuh menyerah pada apa yang dinamakan nasib. Sebab nasib adalah apa saja yang telah kita usahakan.

Penulis sekaliber Paulo Coelho juga pernah mengalami bertub-tubi penolakan. Bakat menulisnya memang sudah tampak sejak umur tujuh tahun ketika ia dimasukkan ke sekolah Jesuit San Ignacio di Rio de Jeneiro. Sekolah ini mewajibkan semua siswanya untuk beribadah dengan ketat. Pasangan yang lahir dari Pedro dan Lygia ini sebenarnya tidak menyukai kehidupan di Jesuit.

Tapi dari sinilah bakat menulisnya terlihat, ketika ia memenangkan kompetisi menulis puisi di sekolahnya. Bahkan adiknya Sonia, berhasil memenangkan kompetisi menulis esai hanya dari tulisan Coelho yang diambilnya dari keranjang sampah.
Kedua orangtua Coelho berusaha menjauhkannnya dari dunia tulis menulis, tapi semangat menulisnya semakin menggebu.

Bahkan setelah membaca sebuah buku karangan Henry Miller, Tropic Of Cancer, mengobarkan semangat pemberontakannya. Hal ini dilihat oleh kedua orangtuanya sebagai gejala gangguan jiwa, Coelho pun sempat dua kali keluar masuk Rumah Sakit Jiwa hingga dinyatakan sembuh.
Di rumah sakit jiwa itu Coelho harus menjalani terapi electrconvulvise. Terapi ini dilakukan dengan menyetrumkan aliran listrik ke tubuh penderita gangguan jiwa. Terapi ini tentunya bisa merusak jaringan saraf manusia. Terapi ini akhirnya dilarang di Brasil setelah Coelho mengungkap praktek keji ini di dalam novelnya “Veronica Memutuskan Mati”.

Coelho melanjutkan studinya di Hukum seperti yang dikehendaki orangtuanya. Namun pada akhirnya panggilan Legenda Pribadinya mengajak untuk kembali menekuri dunia tulis menulis, ia pun terjun ke dunia teater dan drop out dari studi hukumnya. Orangtua Coelho kembali memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa untuk ketiga kalinya.
Sebenarnya oleh dokter, Coelho dinyatakan tidak mengalami gangguan jiwa. Ia sempat memilih menjalani hidup di komunitas hippie. Sebuah komunitas yang akrab dengan gaya hidup nyentrik. Mereka suka memanjangkan rambut, tidak pernah membawa kartu identitas selama bepergian, dan menggunakan obat-obatan terlarang.

Dua novelnya yang pernah mendapat kritikan pedas karena dianggap tidak memiliki muatan sastra. Namun sosok Paulo Coelho seolah-olah adalah representasi sosok Santiago dalam “Sang Alkemis” yang pantang menyerah.

Setelah menerbitkan buku “Sang Alkemis” yang kemudian tidak begitu laku di pasaran dan sempat dihentikan peredarannya oleh penerbit di Brasil, Coelho tidak menyerah begitu saja. Ia mencari penerbit lain, dan akhirnya usahanya ini membuahkan hasil karena Harper Collins, sebuah perusahaan penerbitan internasional bersedia menerbitkan bukunya.

Hasilnya, penjualan novel Sang Alkemis sungguh fantastis dan di luar dugaan. Novel Sang Alkemis hingga saat ini telah diterjemahkan ke dalam 56 bahasa dan terjual sebanyak 11 juta kopi. Novel ini pun menempatkan Coelho sebagai salah satu sastrawan Brasil terbesar.

Buku yang ditulis dengan kesungguhan jiwa agaknya mampu memotivasi pembaca untuk menemukan Legenda Pribadi dan misi untuk hidup di dunia. Apapun, jangan pernah menyerah mengejar mimpi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...