Langsung ke konten utama

RUMAHKU, SEKOLAH KEHIDUPANKU

Inilah kiranya salah satu hikmah dari hadis Nabi yang menyuruh umatnya memuliakan tamu. Setiap kedatangan tamu, rumah kerap dihinggapi berkah. Kurang lebih seperti itu lah yang sering aku rasakan sejak dulu.

Sejak kecil, ketika rumah yang sering aku keluhkan tak henti-hentinya berseliweran wajah yang familiar dan non familiar, tak pernah memberikan privasi sedikit pun buat kami. Kami harus sudah berpakaian lengkap, termasuk memakai alas kaki, sejak menyibak tirai pintu kamar. Sebab sudah tak mungkin lagi menertibkan setiap orang yang singgah, baik itu tamu kami sekeluarga, atau tamu orang yang menyewa kamar di losmen kami.

Sekali waktu aku bertanya sambil tertawa getir, entah pada siapa, mungkin pertanyaan retoris saja. “Mengapo rumah kito mirip kandang kudo?” –mengapa rumah kita mirip kandang kuda?-

Seringkali aku mupeng melihat suasana rumah teman-teman sekolahku yang nyaman. Duduk selonjoran di depan teve, mau bersandar, mau tiduran, berpakaian seadanya. Paling tidak, tak perlu memakai kerudung di meja makan atau ruang teve. Jauh dari hiruk pikuk suara orang asing yang sedang berdiskusi yang ditingkahi gelak tawa, suara musik, suara orang yang menanyakan harga barang, atau suara sepatu dan sandal orang-orang yang berseliweran di koridor rumah.

Ya, rumah kami letaknya di pinggir jalan raya. Di depannya ada mini market, tepat di samping ada toko foto copy dan ATK. Memiliki banyak pintu yang berbanjar lurus dari depan hingga belakang. Di tengahnya ada taman yang tak lagi terurus. Di kiri kanannya ada banyak kamar-kamar. Oh, celakanya, sampai sekarang aku tak pernah tahu, atau tepatnya tak begitu perlu tahu berapa jumlah keseluruhan kamar dari atas hingga bawah. Begitu juga jumlah kamar mandi, saat ini sebagian tak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Losmen Abdi pernah mengecap masa kejayaannya. Sebagai anak usia sekolah yang masih belia, masa-masa itu terlalu banyak rasa tak suka memiliki rumah ‘satu atap seribu wajah’ itu. Tapi ternyata, di rumah itulah aku belajar banyak hal. Belajar mengenal banyak model manusia, gaya bergaul orang dari seluruh lapisan masyarakat, mengasah intuisi, bisa mendengar cerita-cerita lucu, unik, bahkan inspiratif.

Tipikal-tipikal unik dari berbagai jenis manusia ini memperkaya ilmu bertemanku. Walau saat itu aku hanya sekedar menjadi penonton dan pendengar, tapi dari mereka aku jadi bisa menjadi lebih intuitif. Sekali bertemu tipe orang baru, aku seperti sudah pernah menjumpainya jauh hari. Tentu saja tak lantas mengklaim aku ‘sudah mengenalnya’. Sebab bagiku, mengenal itu perkara lain. Apapun, bukan tindakan yang bijak kalau aku langsung bisa bercerita hal yang pribadi dengan orang lain, walau itu hanya secuil.

Dari rumah aku belajar bagaimana menghadapi pribadi yang menyebalkan dan menyenangkan. Dari sana aku diajarkan sebisa mungkin menjelmakan cermin-cermin yang kalau bisa, tak lagi bergemeretak retak. “Apa enaknya jadi pribadi yang suka menggalau dan mengeluh terus menerus? Apa nyamannya menjadi serigala berbulu domba, mungkin ia sendiri merasa sudah membului dirinya dengan bulu domba. Padahal ia tampak tak lebih dari sekedar pecundang di mata setiap orang.

Aku belajar dari banyak orang walau hanya jadi penonton. Bagaimana pribadi yang menyebalkan dan membuat susah orang di sekelilingnya. Melihat pribadi yang egois, hanya tahu dirinya sendiri dan kepentingannya di atas segalanya. Mengamati orang yang tutur bahasanya sopan dan penuh simpatik, ternyata hutangnya menggunung di sana sini. Dia hanya penipu yang pintar bicara.

Ada yang gila popularitas. Apapun akan dia lakukan untuk sekedar menjadi buah bibir orang lain. Tak jarang kelakuannya sedikit banyak menuai kontroversi. Atau hanya sekedar berbasa-basi untuk kepentingan mengangkat citra diri. Ah, begitu banyak yang ia cari hingga tak jarang ia lupa diri. Orang semacam ini rela berbohong habis-habisan. Mungkin awalnya kebohogan kecil yang mendorong ke arah bohong yang lebih besar untuk menutupi yang sebelumnya. Sebenarnya karakter-karakter manusia semacam yang aku sebutkan tadi, sering hadir di sebuah organisasi juga. Bedanya masalah keperluan dan latar belakang pendidikan saja. Masih kujumpai orang-oarang yang sama sampai hari ini.

Ya, waktu itu aku masih terlalu kecil. Memang belum banyak yang aku pahami. Seiring waktu semuanya terurai dan hubungan sebab akibat menjadi sedemikian jelas di mataku. Bukan berarti aku langsung disulap jadi orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak kecil. Paling tidak, aku mulai mengisi pundi-pundi bekal hari depan. Karena masih kecil, seringkali aku tak paham apa yang aku masukkan ke dalam pundi tersebut. Yang jelas, aku melihat oarang dewasa yang baik selalu memilikinya.

Aku juga pernah mengenal orang dengan keluwesan bergaul dan tulus. Orang semacam ini pun tidak sedikit. Sikapnya tak mengada-ada tapi selalu meninggalkan bekas baik pada orang yang ditemuinya. Bahkan orang yang belum mengenalnya pun telah mendengar tentang dirinya sebelum bertemu. Ia sering memberi dengan tangan kanan tanpa sepengetahuan tangan kirinya. Padahal tangan-tangan di sekelilingnya bisa melirik. Alangkah pantasnya tangan itu ditiru.

Orang-orang yang memiliki getar kebaikan yang merambat cepat ataupun lambat. Yang hadirnya selalu dinanti. Tanpa bermaksud berkhotbah, gelontoran kata-katanya seperti untaian mutiara. Tak ada pribadi yang sempurna, tapi orang yang menyenangkan itu selalu ada.

Rumah tempatku belajar tentang banyak hal. Bel belajarnya dimulai ketika azan subuh berkumandang, hingga hingar bingar malam tak lagi terdengar di telingaku. Terkadang ada jam tambahan di tengah malam atau seperempatnya. Walau itu berasal dari kecipak suara air wudhu Abak sekalipun, rumah selalu seperti itu.



Menjelang Akhir Tahun 2011. Tulisan yang khusus didedikasikan buat keluarga besarku. Terutama untuk kedua Guru Besar, Umak dan Abak. Maafkan anakmu yang masih harus terus banyak belajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...