Langsung ke konten utama

Berkunjung ke SOS Village


Mengunjungi SOS village kemarin menyisakan banyak rasa di benakku. Wah, ramainya. Lebih dari seratus anak dengan usia yang beragam. Dari seluruh daerah Aceh bahkan nusantara. Penghuninya sungguh beragam.
SOS village merupakan Pusat pengasuhan yang berbasis kekeluargaan. Sebenarnya hampir sama dengan Pusat Pengasuhan dan Pembinaan Anak Muhammadiyah  (PPPAM) yang kami diami saat ini. Hanya saja SOS Village masih memiliki banyak staf, sementara kami tak punya staf khusus yang mendiami setiap rumah anak asuh.  PPPAM hanya memiliki relawan, bukan staf.
 Sampai di SOS village sekitar jam 11.10, sebagian anak sedang menonton drama komedi lokal. Kami datang dengan anak-anak asuh, tapi ada lima anak yang tak ikut serta karena ada ujian  untuk mendapatkan beasiswa penuh kuliah di President University. Sebagian lagi belum menyiapkan pakaian sekolah untuk senin.
Awalnya anak-anak kami khawatir tak bisa menyesuaikan diri. Satu hal yang aku perhatikan di dalam diri anak-anak asuh kami, mereka kerap kuatir tak bisa diterima khalayak, rasa rendah diri mereka cukup tinggi. Hanya ada beberapa yang terlihat normal dalam hal ini. Selebihnya seperti menghindari sebuah perkumpulan, atau terlihat kelewat pede namun sebenarnya anak yang seperti ini yang lebih careless dan begitulah mereka menunjukkan rasa ingin diperhatikan lebih, tapi mereka juga terjangkit rasa minder.
Sebelum sampai, kami sudah mewanti-wanti anak-anak agar lebih luwes bergaul dan menjaga adab. “Siapa yang paling banyak dapat teman baru, dia yang terbaik. Dia anak pintar. Sebab jaman sekarang, pintar bukan berarti identik dengan nilai matematika atau eksakta yang tinggi. Pintar itu artinya cerdas bergaul, bisa mengendalikan diri, dan punya sikap.” 
Turun dan disambut oleh Manajer SOS Village. Sambutan yang hangat dan menyenangkan. Belum ada tanda-tanda ramah di wajah anak-anak kami ataupun anak-anak mereka. Semua hanya saling menjaga jarak. Tapi aku mencoba mendekati anak-anak mereka dan menanyakan nama. Mengenalkan diri dan mengatakan kami datang dari tempat lain tapi sama seperti mereka juga. Kuberikan tanda pada anak-anak kami untuk mendekat dan melakukan hal yang sama denganku.
Awalnya semua masih saja canggung, tapi ketika anak-anak kami melihat semakin banyak anak SOS yang keluar menuju aula, dimana tempat itu hanyalah bangunan luas tanpa sekat dinding, hanya ada satu tembok dan selebihnya tiang penyangga, suasana mulai mencair.
Suasana akrab antara staf SOS dan dua staf (aku dan si ayah) menular cepat ke anak-anak. Manajer SOS memperkenalkan kami ke anak-anak mereka. Semakin banyak yang datang, dengan wajah polos dan penampilan apa adanya. Segera saja para staf, yah, sepertinya lebih nyaman kalau kita katakan ‘para pengasuh’ saja. Para pengasuh berbicara sebentar tentang agenda pertemuan, dan sepertinya sepakat untuk mengisi minggu cerah itu dengan perkenalan saja.
Pengasuh SOS mengambil kendali. Pengeras suara dinyalakan, anak-anak disuruh tertib, dan dimulai lah games yang bisa mengakrabkan satu sama lain. Semuanya terlibat, termasuk aku yang membawa serta dua anak kami hari itu. Aku bergantian dengan si ayah menggendong si kecil yang bulan depan genap dua tahun. Ji hyeon, sahabat Korea kami, juga ikut bermain. Walau pada akhirnya ia kebingungan sendiri dan menanyakan “Can I just sit here?  sambil menunjuk sudut aula.
Memulai permainan dengan cara satu orang harus memilih satu teman. Berikutnya membentuk satu kelompok yang berisi lima orang. Ingat nomor urut masing-masing, kemudian berpisah lagi untuk membentuk kelompok yang berisikan delapan orang. Pada akhirnya berbanjar sesuai dengan nomor urut. Terbentuklah kelompok baru secara acak. Hingga tak bisa lagi dibedakan antara anak kami dan anak SOS. Kemudian berbanjar dan masing-masing kelompok diberi dua menit waktu untuk membuat kesepakatan mengenai yel-yel apa yang harus diteriakkan saat ada yang memanggil kelompok mereka.
Dengan cepat kami menemukan yel-yel yang mudah diingat dan diucapkan. Kami kelompok satu sepakat mengatakan “JAMBU, janjimu janji busuk!” Hm, yel-yel yang aneh, pikirku. Tapi mereka ngotot itu lebih populer dan up to date. “Gaul, gitu, loh!” kata mereka.
Sementara kelompok dua, tiga dan lima, belum menemukan yel-yel yang cocok sampai waktu habis. Yang tidak kompak meneriakkan yel-yel ditertawakan kelompok lain. At last, pemenangnya secara berurutan adalah kelompok satu, kelompok empat, kelompok enam, kelompok dua, tiga, dan lima. Keseluruhannya ada enam kelompok.
Akhir dari permainan ini, kami disuruh membuat lingkaran dengan dua lapisan. Masing-masing saling berhadapan dan mengenal lebih dekat teman di depannya. Pada akhirnya kami dibagi lagi dalam empat belas kelompok dan menyebar ke seluruh SOS Village, mendatangi rumah-rumah dan berkenalan dengan ibu asuh yang menempati rumah 1-14.
Tiba-tiba aku terkesiap. Aku baru tahu kalau ibu asuh di SOS Village mengasuh anak-anak layaknya anaknya sendiri. Mereka layaknya satu kelurga dalam satu rumah, hanya saja mereka tak punya ayah asuh. Sang ibu asuh memenuhi semua kebutuhan anaknya masing-masing dan kalau pergi kondangan, mengajak serta anak asuhnya. Hari itu ibu asuh rumah 11 yang aku kunjungi akan pergi ke acara syukuran di sebuah aula SMK. Beliau mengajak anak lelaki yang paling kecil dan memilihkan baju yang cocok untuknya. Si anak seperti layaknya kesayangan, dengan patuh mengikuti saran ibunya.
“Jangan yang ini, mana baju kemeja yang baru ibu belikan kemarin?” sarannya.
Belum cukup dengan itu, aku juga menyaksikan seorang bayi dua bulan diasuh di sana. Beberapa balita korban perceraian. Masih terasa bagaimana sensasi pengorbanan dalam mengurus bayi. Sebab aku termasuk ibu muda yang baru memiliki dua balita. Mengurus bayi bukan hal yang mudah.  Tapi kulihat kesungguhan mereka membuahkan hasil. Balita-balita itu terurus dan sehat. Ada PAUD tempat mereka bersekolah ketika pagi. Gurunya di datangkan dari luar, bukan pengasuh yang ada di Village.
Aku tak mampu menahan galau yang menyesakkan hati. Syifa, batita yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dari putriku, terlihat senang dan tertawa riang tanpa beban. Ia korban broken home. Kedua orangtua-nya masih ada tapi tak mau, mungkin tak bisa mengurusnya. Kata pengasuhnya, dulu saat awal-awal orangtuanya pernah datang mengunjunginya. Tapi itu hanya di bulan-bulan pertama saja, sampai hari ini, sudah hampir dua tahun ia di Village, mereka mulai jarang datang.
Tiba-tiba tanganku spontan terulur dan memeluknya. Syifa hanya bingung dan membiarkan aku melakukan hal itu. Menggendong dan memanggil namanya, mencium pipinya yang chubby. Ada remah roti di sana. Ia belum puas bermain dan menggeliat, mencoba lepas dari pelukanku dan kembali berlari ke play ground.
Kuperkirakan lokasi tempat dibangunnya SOS Village mencapai luas tiga Hektare. Dengan lima belas rumah yang ditinggali anak asuh dan masing-masing ibu yang diikat dengan perjanjian mengabdikan diri sepenuhnya dalam kurun waktu lama. Tiga unit rumah staf. Staf mempunyai keluarga dan tinggal bersama keluarganya. PAUD lengkap dengan play ground-nya. Lapangan sepak bola yang tak terlalu luas, taman kecil, aula, mushalla, kantor, dan ada pos security tepat setelah gerbang.   
Ada poster yang baru saja di tempel di dekat Mading kantor bertuliskan “Selamat Datang teman-teman dari Pusat Pengasuhan dan Pembinaan Anak Muhammadiyah (Children Care Center Muhammadiyah, Sibreh)”.
Tiba-tiba saja aku merasa begitu kerdil. Anak-anak asuh kami sudah bisa mandiri. Yang paling kecil berusia 12 tahun. Namanya Rahmi, tingkahnya pula yang paling unik. Aku tahu, itu hanya untuk mendapatkan perhatian lebih. Tapi tak jarang aku kesal juga dibuatnya. Lain lagi RS, ia tak pernah luput dari sengketa dengan teman-temannya. Hari ini dengan si A, besok dengan si B. ada saja yang tak sesuai. Ini juga sering menguras energi.
Tapi lagi-lagi aku berfikir, itu semua belum ada apa-apanya dengan yang dihadapi ibu asuh di SOS Village. Mereka benar-benar penuh dedikasi dan mengasuh selayaknya anak sendiri dibutuhkan  pengorbanan yang tak mungkin mampu kuuraikan di sini.
Waktu terasa cepat berlalu. Apalagi semua lebih lancar dari dugaanku. Anak-anak kami begitu kooperatif sementara anak-anak dari SOS memberikan sambutan yang cukup hangat dan bersahabat. Kami pulang ba’da zuhur.
Anak-anak ingin makan siang di pantai, akhirnya minibus kami yang padat di arahkan ke pelabuhan Ule lhee. Tiba-tiba di tengah jalan, guyuran hujan turun menderas hingga kami tiba di lokasi. Pantai tak seramai biasanya, beberapa pedagang berusaha melindungi dagangannya dari gururan hujan. beberapa bahkan langsung meninggalkan tenda-tenda yang mereka dirikan sepanjang pinggiran jalan raya di Ule lhee, setelah sebelumnya membenahi gerai yang mereka punya. Tinggal satu dua penjual jagung bakar yang bertahan dengan tambahan terpal di setiap sudut tendanya.
Anak-anak tetap senang walau hanya bisa makan di dalam minibus dan melihat pantai yang sedang kuyup. Kami pulang ke panti setelah selesai makan siang dengan nasi kotak yang sudah kami siapkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...