Ini memang bukan pengalaman
pertama jadi guide dadakan. Pasca
tsunami aku juga pernah menemani volunteer dari Singapura sekira dua
bulan lamanya. Mereka dari LSM West 2 Coast yang membantu rehabilitasi
fasilitas umum di Aceh. Beberapa tahun
pasca tsunami, pernah juga bersama
volunteer asal Thailand dalam rangka pengobatan massal hewan ternak di
Siron, Aceh Besar. Baru-baru ini dengan
Medipeace dari Korea, sekitar sepuluh hari saja.
Jujur, bahasa Inggris-ku masih harus diperbaiki di sana sini. Seumur-umur
aku belum pernah mengambil kursus bahasa Inggris, autodidak. Ya, aku belajar
dari lagu, film, dan buku. Of course,
aku lemah di structure dan grammar.
Tapi untuk conversation, aku sedikit
banyak boleh diandalkan, ehm. Justru ketika aku coba merujuk ke kamus ‘keramat’
bagi pelajar bahasa Inggris, lawan bicaraku jadi bingung, ajib bukan? Ya, makanya kubilang sejak awal, my English is not well
Sudah seminggu ini kami kedatangan tamu. Seorang relawan dari LSM Korea (Medipeace)
yang akan mengajari anak-anak asuh kami bahasa Inggris dan Korea. Rencananya ia
akan tinggal di camp sekitar 6 bulan.
Tentu saja sebagai tuan rumah, kami akan berusaha keras agar ia betah tinggal
di camp.
Belajar dua bahasa dalam satu waktu memang agak memusingkan. Tapi aku
menyukainya, ini benar-benar menantang sekaligus mengasyikkan. Mencoba
memperlancar bahasa Inggris sembari memulai mengenal han guel (huruf Korea) and how to pronounce.
Ji hyeon tipikal anak yang simpatik dan cerdas. Dengan mudah ia mulai
mentransfer ilmu dan mendapatkan yang baru. Yap, ia mulai bisa mengucapkan satu
atau dua kata dalam bahasa Indonesia. Hari berikutnya ia bisa mengucapkan
kalimat yang lebih panjang.
Tiba-tiba kami kedatangan tamu lagi. Seorang Aussie. Hei, kesempatan ini
seperti durian runtuh! Setelah mendengar logat Amerika Ji hyeon, sebab ia
memang sempat kuliah setahun di UCLA, aku diperbolehkan mendengar Australian style dari Crish Wong.
Alhamduliiah… what a pleasant chance,
I think!
Mereka senang mendengar English-ku. Ah, syukurlah. Padahal yang kupunya hanya
broken English. “But it’s okay. It doesn’t matter as we always understand each other,”
kata Crhis saat aku ungkapkan penyesalanku tidak tahu banyak tentang grammar dan tenses.
Pastilah sekedar mengiburku, Chris yang sudah beberapa minggu di Aceh
bilang, kalau ia merasa lega sebab hari itu ia bisa mendengar seseorang yang
bahasa Inggris-nya lumayan, katanya sih. Sampai ia ingin tahu dimana aku
mempelajarinya. Kujelaskan sekali lagi kalau kita di Indonesia juga diberikan
bekal dasar-dasar bahasa Inggris sejak SD. Bahkan hari ini sejak Taman
Kanak-kanak, kosa kata dalam bahasa global ini sudah mulai dikenalkan.
Mendengar Australian style
menyenangkan sekali, tapi aku juga menyukai logat Amerika yang dipakai Ji
hyeon. Memang lazimnya logat Amerika lebih banyak digunakan. Tapi Singlish alias Singapore English menjadi hal yang unik dan lucu, tentu saja tak
terlupakan. Aku jadi ingat, sejak kesibukanku di rumah, kini tak pernah lagi
aku mengontak teman Singapur-ku. Mereka sama baiknya, sama ramah dan menyenangkan.
Tak masalah mereka rada perhitungan, hehe…
Sayangnya, Chris tak bisa tinggal lama di camp. Ia masih punya urusan lain ke Sabang dan Layeun. Hm, kupikir
aku akan merindukan gayanya mengucapkan “a
lot”. Berbeda dengan aksen yang dipakai Ji hyeon, mulut Chris akan terlihat
sangat bulat. Ya, aksen yang khas.
Hari ini tepat seminggu bersama Ji hyeon. Anehnya, ada masa-masa dimana
English-ku tiba-tiba disconnect. Akan
banyak sekali ‘am, um and whooogh, I don’t know how to say in English!’ dan Ji
hyeon penuh permakluman, karena ia juga pernah merasakan hal yang sama,
tiba-tiba kehilangan banyak vocab
pada waktu-waktu tertentu.
Malah terkadang ia tiba-tiba berbicara Korea secara spontan saat sedang
mengajari Han guel untukku. Misal saat aku sedang menuliskan han guel ke abjad
latin, aku melakukan kesalahan, spontan ia berkomentar yang artinya kira-kira
“bukan, bukan itu!”
Persahabatan dua dunia memang selalu unik, ya kupikir memang begitu. Aku
berharap bahasa Inggrisku membaik dan Ji hyeon bisa mulai mengenal bahasa
Indonesia. Kami mengobrol tentang banyak hal setiap hari. Tentang budaya,
kebiasaan, permainan, juga tentang joke
di Korea dan Indonesia, terutama di Aceh dan Sumatra Barat.
Ada satu permainan yang persis sama. Mencari tahu berapa banyak kah anak
yang akan kita miliki suatu saat nanti. Ini memang hanya permainan, bukan
sungguhan. Aku pribadi tak percaya tapi yang lebih sulit dipercaya adalah,
kenapa game ini persis sama.
Yup, kita mencoba menekan pangkal tangan, dan melihat berapa banyak benjolan
yang tampak di sana. Jumlah benjolan itu menunjukkan ber apa banyak anak yang kita miliki kelak.
Aku, Ji hyeon dan anak-anak di panti, tempatku tinggal , memainkannya
bersama. Ji hyeon yang memulainya. Aku
hampir tak percaya dan kami membahasnya beberapa menit. Sebenarnya siapa yang
mengadopsi permainan ini, Indonesia atau Korea. But last, kami hanya tertawa sekali lagi mengingat sensasi rasa
lucu. Karena pada akhirnya kami tak menemukan satu benjolan pun yang tampak di
pangkal tanganku. Ji hyeon punya satu, dan anak lain punya banyak sampai empat
atau lima.
Komentar
Posting Komentar