Burung gereja itu ramai lagi.
Setelah dua minggu mudik, dua hari yang lalu kami kembali ke rumah Sibreh. Burung gereja itu begitu
hebohnya. Saling bercanda, bercericit-ria, mencoba mengais sisa nasi di tong
sampah kecil dapur kami. Padahal sepanjang dua hari belakangan, burung gereja sepi menengger. Mungkin
mereka belum tahu kalau
kami, penghuni rumah ini, sudah kembali.
Burung gereja itu heboh lagi. Segerombolan kecil yang pernah mengagetkan
Mbak Herni, tamu kami. Sama, aku pun awalnya
terkejut melihat satu atau tiga ekor burung yang punya nama latin Sturnus sp. ini.
“Eh, ada burung di dalam rumah!” Mbak Herni memekik kecil, padahal
waktu itu kami sedang membicarakan hal lain. Banyak hal, sampai aku lupa tema
apa yang sedang kami bahas saat itu.
Senyumku mengembang. Bukankah kita baru beberapa hari bersua?
Burung gereja itu datang lagi, bersama selaksa rasa. Sebenarnya aku hanya
ingin berkata, aku sedikit rindu menyapamu. Teman, apa kabar? Kamu, keluargamu,
jagoanmu yang kerap hadirkan binar lain dalam kilatan matamu ketika menyebut namanya “Fei!”
Lalu, burung gereja itu memang membuat
kita sedikit terkejut. Seperti juga aku yang ‘terkejut’ dengan perasaanku
sendiri. Tiba-tiba rasa rindu itu menyergap seperti saat pertama kali aku
mendapati segerombolan Sturnus sp.
mensiasati tudung sajiku, mencoba mengambil bulir nasi di mangkuk kami.
Tampok Blang, akhir Oktober 2011
Komentar
Posting Komentar