Langsung ke konten utama

Stanza untuk Mbak Herni




Burung gereja itu ramai lagi.
Setelah dua minggu mudik, dua hari yang lalu kami kembali ke rumah Sibreh. Burung gereja itu begitu hebohnya. Saling bercanda, bercericit-ria, mencoba mengais sisa nasi di tong sampah kecil dapur kami. Padahal sepanjang dua hari belakangan, burung gereja sepi menengger. Mungkin mereka belum tahu kalau kami, penghuni rumah ini, sudah kembali.
Burung gereja itu heboh lagi. Segerombolan kecil yang pernah mengagetkan Mbak Herni, tamu kami. Sama, aku pun awalnya terkejut melihat satu atau tiga ekor burung yang punya nama latin Sturnus sp. ini.
“Eh, ada burung di dalam rumah!” Mbak Herni memekik kecil, padahal waktu itu kami sedang membicarakan hal lain. Banyak hal, sampai aku lupa tema apa yang sedang kami bahas saat itu.
Senyumku mengembang. Bukankah kita baru beberapa hari bersua?
Burung gereja itu datang lagi, bersama selaksa rasa. Sebenarnya aku hanya ingin berkata, aku sedikit rindu menyapamu. Teman, apa kabar? Kamu, keluargamu, jagoanmu yang kerap hadirkan binar lain dalam kilatan matamu ketika menyebut namanya “Fei!”
Lalu, burung gereja itu memang membuat kita sedikit terkejut. Seperti juga aku yang ‘terkejut’ dengan perasaanku sendiri. Tiba-tiba rasa rindu itu menyergap seperti saat pertama kali aku mendapati segerombolan Sturnus sp. mensiasati tudung sajiku, mencoba mengambil bulir nasi di mangkuk kami.

Tampok Blang, akhir Oktober 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...