Langsung ke konten utama

Mental Saya Dalam Hal Bersaing



Tak ada yang perlu dikompetisikan dalam hidup ini. Paling penting itu melakukan hal yang menentramkan hati. Kalaulah hal itu ternyata mampu menebar manfaat untuk orang lain, tentu lebih dari cukup. Berujung bahagia, itu inti dari segala pencapaian yang ada.
Ya, itu menurut saya pribadi. Tak mengapa sebagian orang mencibir tak setuju, terlebih lagi kalimat awalnya. Tapi sengaja atau tidak, kompetisi telah begitu jauh dari dunia saya sejak kecil. Mungkin karena polah asuh di keluarga juga.
Pernah suatu kali dengan sedikit kecewa saya mengadu pada Abak (bapak saya) tentang angka 8 yang nangkring manis di buku rapor saya. Abak seperti biasa, hanya tersenyum dan menunjukkan mata bangganya memiliki anak seperti saya. Bahkan komentarnya jauh dari yang dibayangkan orang kebanyakan. “Wah, hebat, angka 8 itu, kan, lumayan banyak!” Sampai di situ saja. Tak ada ujung-ujung yang pada akhirnya membebani saya. Semacam kalimat “besok belajar lebih rajin lagi, ya!” ataupun kalimat genjotan sejenis itu. Tak ada. Adakah yang tahu betapa tentramnya hati saya? Tak terkira. Tapi jauh di dalam sini, hati ini bertekad untuk lebih baik.
Berikutnya angka 4 yang bertengger di rapor saya. Abak bilang saya hebat, kokoh. Empat itu ibarat kursi yang tegak tak pernah goyah. Ada sedikit heran menelusup hati saya, kok Abak masih berkomentar sama? Tapi lagi-lagi, jauh di dalam sini hati ini bertekad untuk lebih baik.
Saya lupa urutan berikutnya, yang jelas walau tak pernah keluar dari 10 besar, nilai-nilai akademis saya tidaklah melonjak membanggakan hingga saya menamatkan bangku tsanawiyah. Berbagai lomba dan kalau pun ada kesempatan-kesempatan tampil, tak terlalu menarik minat saya. Yang penting melakukan hal-hal yang menentramkan hati dan membuat bahagia, saya memilih melakukan hal-hal yang saya sukai salah satunya ngomik. Termasuk membaca berjilid-jilid komik dan menonton kartun.
Nah, saat menduduki bangku aliyah alias menengah atas, saya keranjingan belajar. Entah atas dasar apa, yang jelas bukan karena ingin menjadi yang pertama, ingin menjadi yang teratas di antara semua teman saya, tapi suka saja. Ya, saya suka belajar bahkan untuk pelajaran yang dulunya membuat saya sedikit mulas semacam Matematika dan Fisika. Setiap hari-hari tertentu saya les privat mata pelajaran Fisika, Matematika, dan Kimia.  Biologi menjadi andalan saya di bidang eksakta karena suka juga. Terbayang kan, bagaimana melakukan sesuatu atas dasar suka.
Usaha keras mampu menambal kekurangan yang saya miliki. Saya jadi bintang Kimia, sementara Fisika dan Matematika tak lagi jadi kendala. Teman sekelas saya waktu itu percaya saya bisa meng-handle mata pelajaran lainnya seperti Sejarah Islam, Kemuhammadiyahan, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Quran-Hadits, Fiqih, Bahasa Arab, dan hanya dengan satu tarikan nafaskecuali akuntansi yang kerap membuat saya sesak nafas karena tak suka. Saya harus mengucapkan sayonara saat mengambil jurusan IPA. Huf, lega!
Akhirnya peringkat satu itu di genggaman saya sejak catur wulan pertama hingga saya meninggalkan bangku aliyah. Saya datang lagi melapor. Abak dengan ekspresi yang sama memuji saya. Tapi kali ini saya merasa berhak menagih hadiah. Tahu jawaban yang diberikan Abak? “Untuk apa hadiah lagi, bukannya juara satu itu udah jadi hadiah terbaik? Kecuali kalau rankingnya jelek, ya perlu dikasih hadiah untuk menghibur. Sedih, kan, kalau di urutan paling belakang?”
Tidak ada protes atau acara cemberut dari saya. Waktu itu saya bukan anak ingusan lagi, saya sudah terlalu banyak menerima sesuatu yang melebihi hadiah. Salah satunya penerimaan yang membuat saya merasa menjadi sangat berarti dan nyaman.
Nyaman yang akirnya membuat saya tak pernah dipaksa melakukan banyak hal. Semuanya berjalan sesuai minat. Mungkin segi negatifnya tampak pada tabiat saya yang tak hobi berkompetisi dalam bidang apa saja. Sebagian orang bilang, tabiat itu membuat saya jalan di tempat dan cenderung tak punya pencapaian yang hebat dalam bidang apa pun.
Sebenarnya pun hal itu tak pernah jadi masalah. Yang saya tahu hati saya tenteram dengan hasil yang sudah ada di tangan saya. Kalau tak ingin dikatakan puas, tapi perasaan itu mirip dengan puas. Orang bijak bilang lekas puas membuat kita menjadi malas. Cepat puas yang saya rasakan dalam hal ini tidak membuat saya malas menimba ilmu, saya justeru kerap merasa lapar akan hal-hal baru.
Efek konkrit lainnya, kalau saya mengikuti ajang kompetisi, menang ataupun kalah tak pernah jadi masalah buat saya. Memang pada akhirnya saya jauh dari pencapaian sekaliber Marissa Mayer yang dengan semangat kompetisinya dalam dunia karir, mampu membuatnya membuatnya mencapai  fabulous career di Google dan kini sebagai CEO Yahoo. Tapi hal itu tak saya sesalkan.
Kalau ternyata akhirnya saya mengikuti sebuah kompetisi, lalu memenangkannya, rasa tenang itu berubah menjadi senang sekali J.

xxx

Tulisan ini dibuat dua hari sebelum pengumuman Lomba Menulis Bagi Guru se-Banda Aceh dan Aceh Besar, tanggal 8 Desember 2012. Eh, ternyata saya berhasil jadi pemenang pertama. Alhamdulillah.

Komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...