Kurapatkan cardigan longgarku
sambil bersender ke tiang teras. Angin sore itu terasa lembab. Pikiranku
menerawang lagi.
“Entahlah, Bunda. Suarni merasa nggak sanggup aja... ”
“Kenapa begitu? Sayang sekali. Semua orang ingin mencoba duduk di bangku kuliah.
Apa yang dicemaskan? Masalah biaya bisa kita cari. Yang penting punya kemauan.”
Cecarku masih dengan mimik terkejut.
Gadis remaja itu menunduk. Entah apa yang dipikirkannya. Memutuskan pulang
ke rumah bibinya dan bekerja di sebuah pabrik bata setelah lulus SMA. Padahal
kesempatan mengenyam bangku kuliah masih ada.
Tiba-tiba saja ia datang menghampiriku yang sedang sibuk dengan segunung
kain setrikaan. Suarni pamit ingin pulang ke rumah bibinya dan meninggalkan
panti yang sudah dihuninya selama empat tahun.
Suarni sosok anak yang rajin dan ulet. Ia terbilang ringan tangan dan tidak
pemilih dalam bekerja. Peraturan di panti juga selalu dipatuhi. Kami sangat
terbantu dengan kehadirannya. Nilai akademisnya bisa dikatakan biasa saja, tapi
animonya untuk menuntut ilmu yang kulihat selama ini,
tidak lah sekerdil itu.
Aku menatapnya pilu. Ini
bukan pertama kalinya aku membujuk. Ini sudah akhir. Sejak awal sebelum ujian
akhir, pertanyaan akan melanjutkan kemana, minat jurusan apa, mau jadi apa. Pertanyaan
sejenis sudah kehembus-hembuskan ke tympani
telinganya. Mudah-mudahan semangat itu menyala.
Nyala sumber api yang
kutiup ternyata tak ada sejak awal. Entah apa yang dipikirkannya hingga
kesempatan itu sengaja dilepaskan begitu saja. Dengan kesadaran penuh tanpa
tedeng aling-aling, ia menolak semua alternatif yang ada.
Aku tak memaksa, tepatnya
jera memaksa. Bukan satu dua yang akhirnya gugur dan sia-sia di tengah jalan
hanya karena kusangka mampu kugenjot ternyata tak punya daya lenting sejak
awal. Aku bisa maklum untuk anak lain yang untuk menjalani satu semester saja
menggenjotnya mati-matian. Tapi ini, bukankah mata itu penuh pancaran ingin
tahu dan optimisme?
Angin sore bukan saja
lembab. Tiba-tiba ia hampir membuat wajahku beku sebab bulir-bulir yang jatuh
di kedua pelupuk mataku menjadi sedingin es. Aku menyusutnya cepat dengan ujung
jilbab. Kelabu senja ini membuat
lembayung tak terlihat. Semua abu-abu tak jelas. Arak-arakan awan membisiku
kabar tentang langit yang sebentar lagi meluruh hujan.
Komentar
Posting Komentar