Bilakah harus kumulai? Di antara
denyut-denyut di nervus frontalis ini. Di antara resah-resah yang meraja dalam
fikiranku. Tak ada apa pun yang mampu kutoreh. Perjalananku dalam hal ini
mampet, terhambat membeku. Tanpa pernah seperti ini, kalap kubuka lembar baru
dan kesetanan kutulisi semua yang ada di kepalaku. Kusut masai, kutumpah
ruahkan segalanya berderai-derai tanpa aturan.
Tak perlu kumulai, sebagaimana aku
tak perlu mengakhiri semuanya. Biar tak sanggup dicerna, walau tak minat
dibaca. Tapi kulawan ketidakberdayaan ini sekuat tenaga, semampuku saja.
Kuseduh secangkilr latte, kuaduk sama kalapnya dengan saat mulai merangkai aksara ini.
Pesan itu masuk. Anak itu, tentu
saja ... berapa usianya hari ini, ya? Seringkali aku dihoyak rasa tak enak jika
mengeluh panjang pendek. Anak itu jauh lebih alot untuk masalah hidup. Disentilnya
aku dengan berbagai masalah hidupnya sejak usia belasan. Berat sudah dirasanya,
aku hidup terlalu lempang dan mulus hingga lewat lintasan usia dua puluh lima.
Mungkin di usia seperti dia, aku
masih berkelindan dengan masalah kecil. Tentang hati yang ketar-ketir dan
tugas-tugas belajar yang menumpuk memadati sisa-sisa waktuku. Mana terpikir
olehku tentang bagaimana menyumpal perut, melindungi orang-orang terkasih,
menanggung derita batin yang sedemikian berat, dan menginjak-injak memadati
tanah bekas menimbun mimpi-mimpi masa depan. Tanah yang masih merah dan basah
kemarin sore.
Kerjaku menyusut air mata karena
hal remeh-temeh, sementara dia menyeka bulir-bulir keringat sembari terus
memberi untuk keluarganya. Apa yang disusut dari sudut matanya kalau ternyata
ia mulai lupa cara menangis?
Komentar
Posting Komentar