Langsung ke konten utama

Writer's Block dan Pesan Singkat Dari Anak Asuhku


Bilakah harus kumulai? Di antara denyut-denyut di nervus frontalis ini. Di antara resah-resah yang meraja dalam fikiranku. Tak ada apa pun yang mampu kutoreh. Perjalananku dalam hal ini mampet, terhambat membeku. Tanpa pernah seperti ini, kalap kubuka lembar baru dan kesetanan kutulisi semua yang ada di kepalaku. Kusut masai, kutumpah ruahkan segalanya berderai-derai tanpa aturan.
Tak perlu kumulai, sebagaimana aku tak perlu mengakhiri semuanya. Biar tak sanggup dicerna, walau tak minat dibaca. Tapi kulawan ketidakberdayaan ini sekuat tenaga, semampuku saja.
             Kuseduh secangkilr latte, kuaduk sama kalapnya dengan saat mulai merangkai aksara ini.
Pesan itu masuk. Anak itu, tentu saja ... berapa usianya hari ini, ya? Seringkali aku dihoyak rasa tak enak jika mengeluh panjang pendek. Anak itu jauh lebih alot untuk masalah hidup. Disentilnya aku dengan berbagai masalah hidupnya sejak usia belasan. Berat sudah dirasanya, aku hidup terlalu lempang dan mulus hingga lewat lintasan usia dua puluh lima.
Mungkin di usia seperti dia, aku masih berkelindan dengan masalah kecil. Tentang hati yang ketar-ketir dan tugas-tugas belajar yang menumpuk memadati sisa-sisa waktuku. Mana terpikir olehku tentang bagaimana menyumpal perut, melindungi orang-orang terkasih, menanggung derita batin yang sedemikian berat, dan menginjak-injak memadati tanah bekas menimbun mimpi-mimpi masa depan. Tanah yang masih merah dan basah kemarin sore.
Kerjaku menyusut air mata karena hal remeh-temeh, sementara dia menyeka bulir-bulir keringat sembari terus memberi untuk keluarganya. Apa yang disusut dari sudut matanya kalau ternyata ia mulai lupa cara menangis?
Cerita penyekat menulis itu sampai di sini. Ketika secangir latte telah tandas dan aku berhenti berbalas pesan pendek dengannya. Kucoba pejamkan mata dan berucap pada suara yang terus saja berkata-kata di kepalaku "one clap, silent please!" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...

Menapak Bumi, Menggapai Ridha Allah

Menjelang sore di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Suasana lembab, matahari malu-malu menampakkan diri, sementara sisa gemuruh setelah hujan masih terdengar sayup. “Happily never after” sendu mengalun. Sore ini ingin rehat sejenak sambil menyeruput secangkir teh tubruk aroma melati yang diseduh dengan air panas, uapnya mengepulkan aroma melati yang khas. Melewati tengah malam, masih di panti asuhan Muhammadiyah Sibreh. Pekat malam ditingkahi riuh rendah suara jangkrik, alam yang selalu bertasbih siang dan malam tak kenal waktu, semakin menegaskan kebenaran postulat itu. Allah itu ada, kebenaran yang tak terbantahkan, yakin ataupun tak percaya sekalipun, Dia tetap saja ada. Setiap rehat jari ini mencoba kembali menari diatas kibor qwerty, setiap itu pula banyak sekali tantangannya, jelas waktu yang kupunya serasa tak cukup jika dibandingkan dengan begitu banyaknya hal yang ingin kukerjakan. Ingin mengerjakan ini dan itu, sementara pekerjaan lain sudah merengek ingin dijamah pula, hm...