Langsung ke konten utama

Mark


Mark

Namaku Mark, usiaku 15 tahun. Aku termasuk anak yang sangat beruntung sejak lahir, tak ada kesulitan yang berarti yang aku hadapi. Kedua orang tuaku orang baik dan hebat, orang sibuk juga tentunya. Mereka tak pernah memaksaku menjadi apa. Karena keduanya adalah praktisi pendidikan yang memahami dunia pendidikan dan anak-anak. Kurasa... mereka sudah memberikan yang terbaik buatku.



Keduanya giat memberikan pemahaman yang layak bagi semua orang tua tentang pendidikan anak. Finansial yang baik juga membuat mereka bisa membangun sekolah atau tempat belajar bagi banyak anak.

Aku Mark, masih belia. Kedua orang tuaku adala role model bagi semua orang tua lainnya dan idaman anak di seluruh dunia. Aku tidak dimasukkan ke sekolah di bawah naungan yayasan orang tuaku, tentu dengan kehebatan kedua orang tuaku, aku dipilihkan sekolah yang jauh lebih tinggi dalam segala levelnya. Maka aku disekolahkan di sekolah terbaik di kota ini, mungkin di negri ini. Itu tak sulit, kedua orang tuaku donatur tetap di sekolah tersebut.

Aku Mark. Fisikku nyaris sempurna, semua orang tahu aku anak yang tampan dan beruntung. Sepertinya Dewi Fortuna memang berada di ketiakku. Mengikutiku ke mana saja kakiku melangkah. Mark, begitu teman-temanku memanggil atau sering juga dengan nama belakangku Rosie. Ibuku asli Indonesia, tapi sejak usia belia ia sudah mengitari separuh dunia dan mengambil pendidikan tinggi di Australia dan bertemu ayahku di sana.

“Pengajuan banding ini belum tentu memberikan kita solusi, Bu.”

“Baiklah, kami akan bersabar dan tetap usahakan yang terbaik. Kami butuh membawa ia terapi dalam sebulan ini. Percayalah kami akan mengumpulkan berkas dan bukti-bukti terkait hal ini. Aku...kami, akan mencari pengacara lain...”

Itu ibuku sedang berbicara dengan... entah siapa. Aku tak peduli. Aku lelah di Lapas ini. Walau katanya ini tempat terbaik dan aman. Lapas anak...aku benci di sini. Ini membuat hatiku semakin beku. Hari ini Ibu menjemputku lagi, ada saja alasan agar aku bisa dibawa ke luar. Membawaku pulang atau ke mana pun. Semua proses hukum yang kujalani dan tak terlalu kumengerti ini sangat membuatku lelah.

“Sayang, kamu ingin makan sesuatu? Ibu akan singgah di resto kesukaanmu dan kamu boleh tetap di sini. Ibu akan membelikannya. Lalu kita makan di tempat lain...hmm atau di tempat Bu Margareth saja, ya...” Ibu berbicara saat dalam perjalanan, supir kami mengemudi perlahan. Daddy hari ini tidak ikut menjemputku.

“Daddy tak ikut hari ini?” aku balik bertanya.

“Maaf, Sayang, Daddy menunggu di parktik Bu Margareth. Daddy baru tiba dari Singapura. Lalu... mau makan apa?”

“Aku sudah kenyang.”

Kulirik ibu hanya menelan ludah. Matanya sayu, wajahnya kuyu. Ia kelihatan sepuluh tahun lebih tua setelah tiga hari aku tak berjumpa. Aku tak merasa bersalah. Orang-orang yang disebut penegak hukum, polisi, dan tentu saja pihak Adela yang salah. Semua keluarganya harusnya kuenyahkan. Mereka merusak kebahagiaan kami.

Hari ini aku masih ke klinik Psikolog Margareth. Tempat ini lebih menghargai privasi dan bangunan ini berdampingan dengan rumah pribadinya. Awalnya aku dibawa ke klinik umum di pusat kota tempat ia praktik, tapi beberapa minggu ini sudah ke sini.

Aku mengobrol banyak hal dengan Bu Margareth, Ibu hanya diam saja di sampingku. Tentang rumah, pohon khayalan, peti perasaan, dan banyaaak sekali. Kadang aneh sekali, apa yang diinginkan Nyonya Margareth dari semua cerita itu? Tapi tak kupingkiri, aku merasa lebih nyaman setelah itu. keluar dari ruangan itu, aku tinggalkan Ibu sendiri mengobrol dengan Bu Margareth. Biasanya aku tak penasaran dengan apa yang mereka obrolkan, tapi kali ini aku tak ingin jauh-jauh dari pintu dan berusaha menguping. Kuletakkan buku tebal di pangkuanku dan mulai memasang telinga dengan saksama.

Basic needs itu yang hilang dari pantauan. Kau dan Alan melewatkan beberapa hal, Nada...” Suara Bu Margareth dalam dan berat. Ditambah dengan logat British-nya yang kental.

No! How could we...” Ibu menampik keras dengan isak yang yang terdengar amat pilu. “Aku tak mungkin melakukan itu. Kau tahu...semua yang terbaik sudah kuberikan dan teori yang kudapat semua mampu kuaplikasikan. Rasanya tak mungkin persoalan dasar serupa itu bisa kulewatkan. Bagaimana mungkin!”

Mencampur sejumput striknin dalam makanan favorit Adelia terlalu mudah, bukan? Kalau saja tidak ada Yuna, siswi keturunan Jepang yang suka sekali membuat video itu tanpa sengaja men-shoot gelagatku hari itu, semua akan berjalan seperti rencana. Aku memang ingin Adelia mati. Ia terlalu merepotkan. Sangat iri padaku dan aku tak tahu apa sebabnya ia selalu mencari-cari kekuranganku. Sudah jelas aku orang yang sulit ditaklukkan. Adelia membuatku risih bukan main. Aku benci padanya.

“Keberadaanmu di sini untuk menyelesaikan semuanya. Mencari solusi, bukan lagi mencari kambing hitam dari soalan ini,” suara Bu Margareth terdengar tegas. Ibu masih terus menangis tertahan. Sepertinya ia menangis dalam pelukan Bu Margareth atau Ibu menutup wajah dan mulutnya.
Daddy sudah tiba dan menghampiriku di ruang tunggu, ia kemudian menuju pintu ruangan konsultasi dan mengetuknya perlahan. Aku masih siaga menguping.

“Kamu sudah menanyakan mengenai cara dia mendapatkan striknin? Apa ia mau berkata jujur?” Suara Daddy kudengar sayup. Mereka terlalu mempermasalahkan striknin itu. bagiku mudah saja, aku anak pintar kepercayaan Pak Darman. Sekolah prestise berlabel International School seperti itu, punya koneksi bagus untuk stok-stok alat dan bahan laboratorium. Aku tahu di mana Pak Darman menyembunyikan striknin. Aku juga paham strycnous nux vomica yang dikandung striknin sangat bagus dan bekerja cepat melumpuhkan pernapasan. Adelia tak akan merasakan apa-apa di makanannya karena sejumput itu tak berasa. Ah, kupikir mudah saja, tak tahunya jadi serumit ini.

Aku tak menyangka Ibu jadi semenderita itu dan Daddy semakin tak ramah padaku. Ia tampak semakin mengerikan. Aku kasihan pada Ibu dan susah melihat Daddy bertampang sangat sangar. Walau aku tak merindukan sekolah dan isinya, tapi aku juga tidak suka tinggal di Lapas itu. di sana tidak enak sama sekali.
  

Komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah Garing!

Aku tidak lagi muda, tapi aku juga belum terlalu tua lho... sudah sejak lama aku memendam hasrat ingin menjadi penulis. Aku memang sering menulis. Tulisan-tulisanku umumnya adalah kejadian sehari-hari dalam hidupku. Semuanya konyol dan tak bermutu saat kubaca ulang. Oh God, aku merasa semakin putus harapan. Apa aku memang terlahir dengan bakat untuk menulis semua tulisan-tulisan tak berbobot sekaligus konyol plus tak layak dibaca.? Sungguh menyedihkan. Siapa nyana dibalik keseringanku menulis ini tak ada satupun tulisan yang bisa memberikanku kepercayaan diri untuk mempublikasikan setelah aku membacanya kembali. Atau sebaiknya semua tulisan yang aku buat tak usah dibaca lagi sehingga tidak menjatuhkan mentalku? Satu hal lagi yang paling bodoh adalah aku sering tidak menyelesaikan tulisanku. Bahkan mungkin tulisan kali inipun tak juga rampung. Tapi entahlah, sebenarnya tak bisa kukatakan entahlah karena semuanya tergantung padaku. Apa aku mau menyelesaikannya atau kutinggal saja sebelu...

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...