Kali ini Kak Aida kembali
memberi kejutan manis di novel terbarunya Sunset in Weh Island (SiWI). Bukan
saja alur yang melompat-lompat indah seperti jete yang dilakukan balerina di atas toes shoes, juga penggambaran setting yang detail nan memukau. Namun
seperti halnya novel remaja dan tulisan Kak Aida yang lainnya, diksi yang
dipilih Kak Aida tidak bertele-tele dan jauh dari kesan ‘sok puitis’. Gaya pop
yang tetap dipertahankan dalam novel genre romantis kali ini, justru menambah
kesan enerjik dan hidup.
Novel terbitan Bentang Belia ini
mengambil secuil seting di Frankurt International Airport. Dipermanis lagi
dengan pengetahuan Kak Aida tentang negeri Hitler ini yang dibeber di bab
Sunrise in Rubiah Island. Karakter pasangan yang dipilih pun cukup menarik. Awal
pertemuan Axel, seorang pria Jerman dan Mala, gadis Aceh blesteran Jerman,
secara tak sengaja di sebuah aksiden ketika kedua remaja itu sedang melompat ke
kapal menuju pulau Sabang. Untuk selanjutnya Axel dengan resmi memberi gelar
kepada Mala sebagai ‘The Accident Girl’.
Kisah mereka bermula di sini.
Romantika yang dipadu-padankan
di novel Kak Aida kali ini cukup memikat. Dua karakter keras kepala dan
berselisih setiap kali bertemu, kerap memberikan kesan unik dan tak menjemukan.
Tak puas dengan itu, Kak Aida dengan luwesnya memboncengi kita di belakangnya
untuk menjajaki nol kilometer-nya Indonesia dari sisi Barat. Ya, di sini Kak
Aida menggambarkan secara gamblang tentang Ie Boih, Pulau Weh, Pulau Rubiah,
Aneuk Laot, tak segan Kak Aida menggambarkan view danau private yang
biasa dinikmati penghuni setempat, membuat kita penasaran setengah mati.
Setelah dibuka dengan kalimat selamat
datang di desa Aneuk Laot Dalam, kita diajak menikmati sejuknya air danau
ketika menceburkan kaki dan membasuh muka di sana. Diajak juga semalam
menikmati suasana pulau Rubiah yang gorgeous
dengan pesona gemerlap bintang yang berkedip tanpa gangguan cahaya lampu-lampu
yang dialiri listrik ribuan watt. Mereka yang biasa hidup di kota-kota sibuk
harus menikmati yang satu ini. Kerlip bintang alami menjadi barang langka dan
mahal tentunya.
Menikmati teduhnya pepohonan di
sepanjang jalan ketika menyusuri pulau Weh, lengkap dengan spot-spot romantis
tempat dimana kita bisa menikmati sunset
terindah. Bagi pasangan yang akan berbulan madu, buku ini agaknya berlabel recomended. Untuk yang belum sampai
melangkahkan kaki ke Pulau eksotis satu ini, Kak Aida menggiring kita langsung
ke tempat show room mobil second dan pabrik bakpia di Sabang. Nantinya
tentu sudah tahu akan kemana kalau datang ke Sabang.
Detail yang disajikan di novel kali ini,
nyaris mengalahkan brosur pariwisata pulau Sabang dalam hal menggiring pembaca
untuk tahu bagaimana bisa sampai ke pulau Sabang. Bedanya ini novel dengan
jumlah halaman kurang lebih 243. Diselingi kisah roman yang tidak picisan. Melalui
karakter Mala yang easy going,
periang, dan cerdas, kita diajak untuk lebih memaknai hidup. Pesan moral pun
tetap ditinggalkan melaui karakter tokoh seperti almarhumah Mommy. Juga Bram,
ayah Mala. Persahabatan tiga remaja Marcel, Andreea dan Axel. Termasuk dorongan
untuk menggalakkan polah hidup ramah lingkungan yang dilakukan Mala di resort Laguna milik Bram.
Mala yang sering dipanggil teman
sekaligus Master Diving-nya, Raffi,
dengan panggilan “Adik Kecil” ini adalah gadis sederhana yang memikat pembaca
sekaligus mewakili si Penulis mengungkap cinta dan bangganya pada tanah
kelahirannya, Aceh. Pada karakter ini juga ada banyak pesan yang disampaikan
buat pembaca tanpa kesan menggurui. Kemandirian, ketulusan, dan kerja keras.
Usaha Kak Aida mengenalkan pulau
yang terletak di Aceh ini kentara sekali sebagai wujud kontribusi dan pedulinya
pada kampung halaman tercinta. Terlihat
pada setiap bab yang disajikannya. Walau karakter lokal sebagai orang
Aceh kurang banyak dieksporasi di SiWI. Tapi wajar saja, Pulau Sabang pun
terkenal dengan kemajemukan orang-orangnya.
Novel ini memadukan keselarasan
seting dan haru biru hati seorang gadis bernama Mala. Keterbatasan halaman saja
yang agaknya membuat Kak Aida kurang mengena dalam menarik ulur konflik. Padahal
akan lebih menarik ketika kisah cinta antara Axel dan Mala lebih dibuat lebih
rumit dan bisa berakhir dengan manis.
Apapun, novel ini sukses dalam
misinya! Saya memikirkan cara, menguras otak, waktu, dan dompet saya, merogoh
kocek sedalam-dalamnya hanya untuk sebuah mimpi, ingin menginjak pulau Weh dan
menikmati sunset di sana. Walau
merasa dicurangi Kak Aida kali ini, karena tiba-tiba dia gila mengeksplor
dengan sejelas-jelasnya keindahan-keindahan pulau Weh dengan deskripsinya yang
patut diacungi jempol, saya rasa membeli buku SiWI tidaklah seberat keharusan
datang dan mengharuskan diri hadir menyaksikan Sunset di Pulau Weh.
Di SiWI, Kak Aida membuktikan
komitmennya untuk menjadikan menulis sebagai profesi. Terlihat dari
kesungguhannya dalam riset demi menghasilkan tulisan yang padat dan bergizi
tinggi, namun dikemas dengan ringan dan apik.
Bagi saya yang sempat mengikuti
tulisan-tulisan Kak Aida sebelumnya, novel SiWI dalah maestro di antara
beberapa buku yang sudah terbit. Salut buat kerja keras dan produktivitas yang
membuat kualitas tulisan Kak Aida mengalami lompatan yang mengejutkan dan manis. Sukses buat penulis dan semoga semakin banyak
yang melirik Pulau Sabang sebagai destinasi pariwisata setelah beredarnya novel
ini.
*dimuat di harian online Atjeh Post
tanggal 28 Maret 2013
Komentar
Posting Komentar