Langsung ke konten utama

Kali Ini Namanya Mitch


Masih ingat untuk pertama kalinya memberanikan diri membuka diri untuk orang lain yang berbeda  bahasa. Usiaku belum genap 12 tahun mungkin, juga tak ingat bagaimana mengeja nama orang itu. Tamu yang dulu menginap di losmen kami, seorang Aussie yang usianya tidak kurang dari 35 tahun, Mr. Stoggie. Yakin lah ejaannya salah, mau bagaimana lagi, itu saja yang masih bisa kuingat. Dengan bahasa Inggris sekaliber anak usia balita, aku pede saja mengajaknya mengobrol. Barangkali saja bagi orang lain tidak perlu dibahas, mulai obrolan ataupun tema tulisan kali ini yang itu-itu saja.
Tapi rasanya memang ingin sekali menuliskan lagi tentang ini, persahabatan beda negara yang seperti keluarga sendiri. bagi orang-orang yang sempat menetap di LN mungkin wajar saja, tapi aku sama sekali belum pernah ke LN. Menyedihkan? Ya, kedengarannya seperti itulah di zaman secanggih dan semudah ini, juga dengan tiket pesawat yang lebih murah dari ongkos becak. Ya, sudahlah, aku akan menebusnya suatu saat nanti dengan mengikuti jejak Ibnu Bathutah, backpacker muslim mengagumkan! Tentu saja berdua dengan suami tersayang. Mimpi jangka panjang kami berdua. Semoga Allah mengabulkan.
Kali ini namanya Mitch. Lengkapnya kueja di pasport-nya Mitchell John Roy Rose. Kami tulis di kertas di ruang tunggu kedatangan internasional dengan Mitch Rose saja.
Sudah lebih setengah jam tak ada tanda-tanda kemunculannya, kami perhatikan para turis yang melancong rata-rata dari Asia, ada yang berkulit putih dengan rambut pirang tapi lengkap dengan keluarga dan anaknya yang kemungkinan masih berusia balita. Tentu saja bukan dia. Tersisa dua orang lagi, yang satunya bertubuh super bongsor ala pemain basket tapi cukup klimis. Berkaos oblong warna putih dan celana baggy selutut berwarna krim. Seorang lagi di depannya melambaikan tangan pada suamiku yang sedang celingak celinguk sambil memegang kertas nama.
DEG! Jantungku tiba-tiba tak karuan. Oh! Tony! Bukankah kami sudah bilang panti itu sudah jadi sekolah? Islamic Boarding School pulaaaa! Lihat relawan yang diutusnya. Dengan tinggi badannya yang sekitar 170 cm, rambut gimbal ditata ke atas. Kacamata reben bingkai putihnya diletakkan di atas poni. Hidung bertindik, hanya memakai kaos tanpa lengan. Bukaan lengannya lebar, membuat tatto di kedua sisi bahunya terlihat, juga di bawah ketiaknya. Gubrak rasanya, apalagi melihat kaki yang hanya dialasi sandal jepit donker itu cuma memakai celana katun pendek di atas lutut.
Bersalaman dengan suamiku dan saling bertegur sapa “nice to meet you too”. Temannya sebelahnya itu bernama Tuomoe dari Finlandia, destinasi Sabang seperti biasa. Kami mengantarnya hingga pelabuhan Ulhe lhee. Beganti alamat surel dan ya, seperti biasa, mengobrol tentang budaya lokal dan tempat-tempat menarik yang aku sendiri belum pernah kunjungi, cuma kata orang saja.
Baiklah, kembali ke Mitch. Akhirnya kami ajak mutar-mutar dan minum kopi dulu sampai kami beri gambaran kondisi tempat dia menginap nantinya. Mata abu-abu kehijauannya terlihat mulai hangat, tapi cueknya itu ya, memang seperti itu. Backpacker sejati. Malah waktu ke India dia pergi ke Paradise Beach dengan backpacker lainnya berjalan kaki hingga empat jam. Menyeberang sungai dan baju kering di badan dengan bekal sekantong biskuit. Amazing!
Hari kedua dia mulai memperlihatkan foto-foto perjalanannya ke Burma, Nepal, Filipina, Jepang, India dan Malaysia. Satu kata,Takjub! Terus terang aku bilang kalau aku hanya pernah melihat foto-foto semacam itu di majalah NG. Oh, ternyata temannya juga reporter NG. Pantas saja. Tidak diragukan lagi kemahirannya di bidang fotografi. Sekejap saja mata menyihir itu membidik objek-objek di sekitarnya dan hasilnya, luar biasa! Aku tak pernah memuji sejelas ini sebelumnya. Tapi entah karena awam di bidang yang satu ini jadi merasa semuanya bagus.
It’s easy if you have a good camera,” jawabnya merendah menanggapi komentar-komentarku tentang fotonya. Mitch sudah dua kali mengadakan pameran foto sebelumnya. Jadi siapa pula yang yakin dengan kata-katanya barusan. Aku juga punya beberapa teman yang kameranya tak kalah baiknya tapi tidak untuk bidikan sekaliber milik Mitch.
Karena darah seniman yang diturunkan ibunya, rasanya apa yang dibidik Mitch jadi begitu unik dan estetis sekali. Sepuluh hari menghabiskan waktu bersama Mitch, benar-benar hari yang mengesankan. Kesan pertamanya yang urakan itu, hilang dalam hitungan hari saja. Anak yang sopan dan hangat. Selama bersama kami, Mitch berusaha menggunakan dialek umum dan terkadang mengajarkan kami Australian Slang. Sebagaimana Jihyeon, Mitch dengan cepat berbaur dengan anak-anak kami dan mulai menyesuaikan diri dengan keadaan panti, tempat ia menetap untuk sepuluh hari saja.
Satu hal lagi, aku tak mungkin bisa menuliskan semuanya dalam postingan singkat semacam ini. Apa mungkin karena aku merasa Mitch berbeda. Benar, kami terlibat diskusi-diskusi yang membuat kami menjadi homey satu sama lain. Aku, suamiku, dan Mitch. Jadi benarlah postingan singkat ini tak mungkin bisa mencakup semuanya, except if you could keep a secret! Insya Allah Mitch datang lagi di bulan Juli. Can’t wait to see you again.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Uap Kopi

Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan mendiami alam bawah sadarku. "Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya selarik senyum basabasi.  Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri seperti biasa. "Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas pramusaji.  "Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya. Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok kau enggan singgah...

Monster kecil

Anakku dan sepupunya yang usianya terpaut enam bulan, adalah dua monster kecil yang selalu saja membuat setiap orang didekatnya menjerit histeris. Bukan karena sangking kompaknya mengerjai orang lain, tapi betapa kreatifnya mereka dalam hal mencari celah untuk diperselisihkan, untuk menjadi rebutan dan yang pastinya membuat keributan yang akan membuat setiap orang menjerit kaget. Seorang anak yang sedang dalam usia terrible two dan yang seorang lagi melewati usia tiga tahunan. Luar biasa keributan yang mereka ciptakan setiap hari. Anakku bisa bermain dengan durasi yang cukup panjang dengan teman-temannya semasa diseputar komplek rumah kami dulu, lalu saat kami pindah rumahpun, ada tiga orang anak yang hampir setiap sore mampir ke rumah untuk bermain, memang timing bermainnya hanya sore hari menjelang maghrib, saat sudah makan dan tidur siang, kemudian mandi dan minum susu sore. Lalu saat ini ketika pulang ke kampunghalamanku, kerjanya hanya bermain dengan sepupu-sepupunya dari pagi hi...

Kesempatan yang Hilang

Kepalaku sedikit berat, mataku berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya. Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja. “Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia. Ah, kuperhatikan jendela dengan tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori. Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom... “Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga ketiduran!" Ibu...kok? di mana ini? Aku   menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada. “Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur t...