Kubaca
ulang SMS Ita yang masuk tadi pagi, “Yun,
kamu bener butuh kerjaan kan? Sama aku ada, nih. Pokoknya gaji balance sama kerjaan...”
Hingga
malam ini, pesan singkat itu belum kubalas. Sejak awal kuliah aku memang sudah
terbiasa bekerja part time, tapi dua
bulan belakangan ini terasa makin tak nyaman bekerja di toko Pameo, sebuah toko
khusus menjual segala macam aksesoris perempuan.
Seminggu cuma bengong saja di
kampung halaman, sementara jadwal kuliahku melompong karena aku masih nonaktif.
Aku pikir tak ada salahnya menanggapi tawaran Ita, jadi kutanyakan langsung
saja jenis pekerjaannya.
“Yee,
dari kemarin aku tunggu balasan kamu, Yun. Jd bb sitter, mau kan?” balas
Ita beberapa menit kemudian. Sepertinya ia memang sudah menunggu tanggapan
dariku. Hm, kalau sekedar jadi nanny,
insya Allah aku bisa. Bukan hanya karena latar belakang pendidikanku di
kebidanan, atau karena aku punya banyak ponakan yang sering aku urusi tetek
bengek-nya. Paling penting, tuh, aku sayang sama anak-anak. Mata polosnya,
tingkah polahnya yang lugu, keseluruhan dirinya yang masih putih dan suci.
Aku
pernah mengurusi seorang teman yang sudah aku anggap seperti Kakakku sendiri
pasca melahirkan. Kebetulan beliau anak rantau dengan suaminya. Mereka jauh dari
keluarga. Bermodalkan pengalaman mengurusi bayinya, aku nekat saja menerima
tawaran Ita.
Berselang beberapa hari kemudian,
sebuah nomor asing berkedip di layar ponselku, “Yuna, sudah di Banda Aceh, kah? Ini kak Opi, kapan bisa Kakak jemput?”
suara di ujung telpon itu milik Kak Opi, kakak tingkatku di kebidanan. Aku pun
di jemput dan diantar ke rumah sang empunya anak.
Dari
awal melangkahkan kaki ke rumah ini, aku tau mereka adalah pasangan yang masih
terhitung muda tapi sudah cukup mapan secara finansial. Aku langsung dikenalkan
dengan Wafa. Seorang bayi delapan bulan yang montok dan lucu. Dua orang kakak
Wafa, Desta dan Daniel umurnya sekira terpaut tujuh dan lima tahun dari Wafa.
Tapi mereka punya pengasuh sendiri, begitu juga koki, dan pengurus rumah tangga
lain dengan job desription yang
berbeda. Pokoknya ditegaskan, aku hanya mengurusi Wafa saja. Yup, baguslah
kalau begitu,
klop
dengan yang kuharapkan.
Seminggu,
dua minggu, aku mulai dekat dengan Wafa. Namanya juga anak baru delapan bulan, mana tak lagi diberikan
ASI. Ya, jelas saja Wafa jadi gampang lengket sama orang yang 24 jam
menemaninya.
Entah
kurang pengetahuan apa, tapi Mama Wafa tidak penuh menyusui Wafa, padahal ia
seorang dokter yang tentu lebih tahu kebutuhan seorang bayi. Kejanggalan itu
terus aku temui di hari-hari berikutnya. Wafa tak sudi berada di pangkuan Mama
nya. Sampai seperti itu kah tak pedulinya terhadap Wafa? Pergi pagi, pulang
selalu lepas maghrib. Itupun tak pernah keluar dari kamar kecuali buat makan,
setelah itu masuk lagi. Papa Wafa tak kalah sibuk, kantornya di luar kota. Jadi, dalam seminggu
hanya satu atau dua hari di rumah. Itu juga buat istrahat, buat tidur.
Wafa
kecil tidur denganku. Aku mulai merasakan ketidaknyamanan ketika aku tak lagi
bisa beraktivitas di luar. Paling tidak buat bergaul dengan teman-teman dan
mengurusi organisasi. Apalagi aku dipercayakan sebagai bendahara umum.
“Maaf,
Yuna nggak bisa ikut rapat atau apapun lagi. Sedang sibuk kerja” begitulah
penjelasanku setiap kawan-kawan menelpon mengajak aktif kembali. Sudah berjalan
dua bulan dan aku ingin sekali lepas dari keterikatan semacam ini.
“AAAA...!”
Wafa menarik-narik bajuku. Lucu sekali, menjelang sebelas bulan kini usianya.
Ia hanya bisa mengucapkan “Aaaa!” seperti itulah selalu. Aku juga berusaha
merangsang motorik halusnya, bermain dengan sekotak besar pernak-pernik Wafa.
Barang-barang ini tergolong mahal, semua dibelikan untuk anak-anak mereka.
“Iya,
Wafa... mau bola merah ya, ayo sini... ini merah, ini pink, biru...” ujarku
menjelaskan sambil mengambil beberapa bola dari kolam balon plastik berisi bola
warna-warni. Wafa lagi-lagi hanya menanggapi dengan lengkingan sama sambil
serabutan meraih bola-bola tadi.
Saat
Wafa menangis, entah kenapa aku merasa begitu pilu. Apa yang dipikirkan seorang
anak yang baru menjelang setahun? Ingin sekali aku tahu dan memastikan kalau
Wafa sama sekali tak mengerti apa yang telah terjadi pada kedua orangtuanya.
Mama
nya yang asyik dengan dunianya sendiri. Ia
lebih mirip monster telpon dengan ponsel keluaran terbaru yang tak pernah
lekang dari sisi nya. Aku sendiri tak terlalu dekat dengan Mama Wafa walau kami
serumah, sedikit sekali intensitas interaksi antara kami. Terkadang ia pulang
diantar orang selain suaminya, dan tak jarang sampai di rumah pukul dua dini
hari.
“Hai
Wafa, anak Mama... ini lihat, apa yang Mama bawakan...” Mama Wafa datang
menyapa dengan sebuah bingkisan besar sekali. Wafa tak begitu menggubris Mama
nya tapi matanya mulai berbinar dengan isi bingkisan besar itu. Sebuah boneka
beruang yang bisa menyumpal habis boks bayi, lalu mainan kuda-kudaan karet yang
menggembung dipompa.
“Ini,
main sana ya, sama Kak Yuna...” imbuhnya lagi sambil menyodorkan benda-benda
itu lebih dekat. Kedua orangtua Wafa memang merasa sudah cukup dengan kebutuhan
materi yang mereka limpahkan buat putra-putrinya.
Kedua
orangtuanya justru peduli dengan hal yang tak seharusnya ditanyakan pada anak
“Sudah setahun, masa Wafa belum pintar jalan juga? Ayo dong, anak Papa... ” pertanyaan Papa Wafa membuatku
merasa tak nyaman. Begitu juga jika ada yang berkomentar tentang kemampuan
bicara Wafa yang hanya bisa “Aa-aa” saja.
Aku
berpikir juga, rasanya tak mungkin aku terus begini. Aku memang sayang Wafa dan
ingin tetap bekerja, tapi keterikatan ini bisa berlangsung sampai waktu yang
aku sendiri tak tau kapan berakhirnya.
Aku
pun memberanikan diri bicara pada Mama Wafa “Kak, Yuna udah mau ngurus surat
aktif kuliah lagi. Kayaknya nggak mungkin lagi bisa full mengurus Wafa. Jadi sebaiknya bagaimana ya, Kak? Yuna
bermaksud mengambil cuti dari mengasuh Wafa.”
“Kenapa
tiba-tiba sekali? Ada masalah apa?” tanya Mama Wafa.
“Tidak
ada masalah apa-apa, Kak. Yuna cuma mau kuliah lagi” jawabku.
“Hm,
iya, tapi kan nggak bisa tiba-tiba begini. Kakak akan cari orang lain dulu,
sampai orang baru yang mengasuh Wafa datang, Yuna harus bertahan dulu, ya!” Mama Wafa
menegaskan.
Aku
juga setuju begitu, walau ada pengasuh abang dan kakak Wafa, tapi Wafa memang
perlu ditangani dengan lebih telaten.
Beberapa
minggu berikutnya penggantiku sudah ada, tapi aku harus tetap bertahan sampai orang
baru itu bisa kami lepas merawat Wafa yang kini berusia setahun lebih.
Meta,
begitu nama anak yang akan menggantikan aku merawat Wafa. Ia terlalu meremehkan pengasuhan Wafa. Apalagi
dia tau kalau kedua orangtua Wafa orang super sibuk yang tak bisa mengawasi kinerjanya
mengurus Wafa di rumah.
Kuperhatikan,
Meta mulai suka tak ramah ketika Wafa agak rewel. Begitu juga saat dia sibuk
SMS dan telpon. Wafa dibiarkan saja sesukanya asalkan tidak menangis, sudah
cukup. Aku mulai cerewet dengan kinerjanya dan hatiku sungguh tak terima
digantikan orang yang tak berbelaskasih seperti Meta.
Walaupun
aku bukan ahli psikologi anak, tapi hati kecilku kerap tak sanggup menyaksikan
Wafa yang hari-harinya hampa kasih sayang, bahkan sejak ia masih bayi,
diabaikan seperti itu Apa memang karena ia tak bisa bicara makanya semua
menganggap bayi itu sama seperti boneka?
Semua
orang di rumah juga mulai membanding-bandingkan pengasuhanku dengan Meta.
Akhirnya sampai ke telinga Mama dan Papa Wafa. Agaknya mereka bukanlah orang
yang buta total matahatinya. Mereka sibuk dengan diri masing-masing, apalagi
belakangan kudengar kabar angin masing-masing mereka punya simpanan sendiri.
Astaghfirullah, mudah-mudahan ini tidak benar. Yang aku pikirkan hanya
bagaimana perasaan dan masa depan Wafa dan kakak-kakaknya.
Wafa
sudah tidur. Kubenahi diri sedikit dan keluar menemui Mama Wafa yang sedang
menunggu di ruang depan.
“Begini,
Yuna. Sebenarnya Kakak sudah tau seperti apa Meta, jadi Kakak bertanya sekali lagi
sama Yuna, bagaimana keputusan Yuna yang sebenarnya?” Mama Wafa melanjutkan
“Sebenarnya, Yuna, kami bisa memberikan fee
lebih dari kemarin. Tinggal Yuna yang menentukan ingin mematok berapa...”
“Astaghfirullah...beginilah keluarga ini selalu
menyelesaikan persoalan: dengan uang,” batinku. Aku memang butuh uang untuk melanjutkan
kuliah, kakak-kakakku sudah berkeluarga dan punya kehidupan sendiri. Sementara
Ayah Ibuku, walau mereka masih bersedia memberikan uang bulanan, tapi sungguh
aku ingin sekali memberi, tak lagi menerima dari mereka yang saat ini semakin
menurun kesehatannya.
Pikiranku melayang dan tertumpu lagi pada satu
titik, yaitu Wafa. Ya, Wafa dan Wafa. Jerit pilunya, tangis ngilunya, binar
mata yang menunggu cinta penuh
harap-harap cemas.
Kemudian
pikiranku beralih pada sorot mata Meta yang tak ramah saat Wafa mengobrak-abrik
mainan yang baru saja dibereskannya. Nada suaranya yang tinggi saat Wafa susah
makan. Betapa cueknya dia dengan perkembangan Wafa yang memang sebenarnya itu
tanggung jawab kedua orangtua Wafa, bukan pengasuhnya.
Aku
memejamkan mata sekilas, untuk bisa kembali hadir sepenuhnya di depan Mama
Wafa. Sementara kegalauan kutepis, ingin sekali kukatakan padanya berubahlah
untuk Wafa, tapi semua kata-kata itu tercekat di tenggorokanku.
“Mana
bisa begitu, Kak. Yuna di sini bekerja dan Kakak yang menggaji. Yuna nggak bisa
sebutkan fee,” jawabku. Walaupun
secara profesional, harusnya aku bisa menyebutkan sekian untuk semua yang aku
lakukan selama mengasuh Wafa. Tapi seperti inikah memperlakukan darah daging?
Prinsip semua bisa dibeli. Oh, Allah..., kasihan sekali Wafa.
Tiba-tiba
suara tangis Wafa terdengar dari kamarku, malam ini Wafa agak rewel karena
kembung. Sebentar-bentar muntah, aku tau penyebabnya. Sejak pagi Meta asal saja
meyuapi makannya. Kami berdua mnyongsonng Wafa ke kamarku. Pelan ku tepuk-tepuk
Wafa, sementara Mama Wafa duduk di bibir ranjang melihat sedih ke arah Wafa.
“Lihat,
Yun, kasihan sekali Wafa, dia udah terlanjur lengket sama kamu. Tolong pikirkan
lagi, ya...” ujar Mama Wafa dengan raut yang dibuat prihatin. Aku tak bisa
menyelami wanita yang satu ini. aku ingin menjawab “Ya, Kak” tiba-tiba ponsel
di kantong Mama Wafa bernyanyi dan ia pun keluar sambil pamit dengan bahasa
tubuh saja.
Kutatap
daun pintu yang sudah dikatup rapat oleh Mama Wafa. Kembali aku dilanda kalut.
Alasan ingin mengurus surat aktif adalah dalihku saja. Aku baru nonaktif dua
bulan selama kerja mengasuh Wafa. Saat di Pameo dulu, aku kerja shift dengan
pegawai lainnya, jadi bisa tetap pergi ke kampus.
Aku masih terus menunggu sampai daun pintu
hati kedua orangtua Wafa membuka perlahan untuk anak-anaknya. Tak terasa
butiran-butiran bening luruh di pipiku. Wafa oh Wafa, Kak Yuna tak bisa berbuat
banyak buatmu. Kak Yuna tak punya keberanian menyuarakan bahasa hatimu, hanya
bisa berbagi pada orang lain, mudah-mudahan tak lagi ada Wafa-Wafa kecil
lainnya.
Komentar
Posting Komentar