“Jadi, ini ya,
istrinya?” tanya wanita cantik di depanku. Dalam dekapannya ada seorang bayi
belum genap setahun tak kalah menggemaskan. Bisa kupastikan umur wanita itu
mendekati kepala tiga. Kudengar ia memang paling populer di sekolah suamiku
dulu.
Aku tersenyum sopan
sambil mengulurkan tangan, atau tepatnya membalas uluran tangannya dan
menggumamkan namaku “Yasmine ...”
Percakapan basa-basi
itu bertahan cukup lama. Berapa anggota keluarga, aktivitas harian dan di mana
tinggal saat ini. Aku yang sejak tadi menjawab seadanya, ditimpali sedikit guyonan suamiku. Maklum saja, ini
reuni, tak ada yang formal, semua berusaha secair mungkin, tak ubahnya dulu
ketika masa-masa SMA yang tak terlupakan.
Bagiku sendiri, ini bukanlah hal yang sulit.
Sejak awal menikah kami sudah terbiasa, teman suamiku adalah temanku dan begitu
sebaliknya. Aku termasuk pribadi yang luwes berteman. Menguasai banyak
kosa kata dan topik yang menarik, tapi hari ini, tiba-tiba aku kikuk setengah
mati. Hanya karena binar matanya, itu cukup membuatku tak bisa bertahan sekaligus
ingin segera lari dari tempat dan manusia-manusia yang tiba-tiba saja terasa
asing. Aneh.
Dua buah hati kami sama sekali tak terpengaruh.
Sulung kami yang kekanakan menuntut perhatian lebih, tak bisa bersabar walau
sejenak saja tentang janji mainan di hari raya yang hingga lebaran ketiga ini
belum terpenuhi. Anak bungsu kami, seperti biasa, kalem. Ia tak banyak paham atau
memang terlalu pengertian sampai hanya tidur saja kerjanya di pangkuanku. Aku
mencoba memindahkannya ke sofa yang diletakkan panitia reuni di bagian paling
depan.
Sebenarnya kami sudah memiliki tiga momongan.
Dengan sedikit rasa bersalah, kuakui putri kami yang terpaut dua tahun usianya
dari abangnya itu, lebih senang ikut
paman, bibi, atau neneknya ketika kami ada acara ke luar. Mungkin dia merasa
harus lebih banyak mengalah ketimbang didengarkan.
“Kenapa, Ma? Kok diem aja dari tadi?” akhirnya
suamiku merasakan keganjilan sejak di pertengahan acara tadi, tapi baru di perjalanan
pulang menanyakannya padaku.
“Oya? Biasa aja, kok. Bete juga lihat si Angga
dari tadi rewel melulu.”
“Biasanya juga gitu, kan, kalau kita bawa ke
mana-mana.”
“Hm, iya, sih, tapi kali ini keterlaluan, deh,
kayaknya.”
“Mama aja tuh,
yang bete-nya tingkat tinggi hari ini,” tebak suamiku.
“Haha, masa, sih?” aku mencoba tertawa tapi garing.
Aku melirik sekilas ke samping. Suamiku mengemudikan mobil lebih santai dan kulihat dari spion tengah, nampak sulung
kami sudah sibuk dengan mainan barunya di jok belakang. Sudah kukatakan berapa
kali, sebaiknya uang membeli mainan itu sudah bisa disisihkan sedikit untuk
membeli buku. Jatah buku bulananku selalu disunatnya kini. Kalau ke toko buku,
sulung kami sudah memilih buku-buku hard cover
dan puzzle, lalu menyalipku langsung ke kasir. Ia selalu
lebih dulu daripada aku yang masih ‘ngiler’ di depan rak buku melepas puasaku
membeli buku dalam sebulan.
“Mau singgah minum jus sebentar?” tawar
suamiku.
“Nggak, ah. Baru juga, makan-makan, udah
singgah buat minum lagi,” protesku.
“Lo, biasanya Mama, kan, yang selalu minta
singgah lagi setelah acara makan bareng, berbuka bareng, pesta saudara atau
kerabat.”
Tiba-tiba saja aku amnesia. Itu memang
kebiasaanku. Pulang dari perhelatan mana pun, biasanya aku minta singgah sekali
lagi untuk menikmati segelas jus atau secangkir kopi. Alasanku selalu sama, masih
lapar.
Kemana pun suami membawaku untuk bertemu banyak
orang, aku selalu senang. Bersilaturahmi, bercerita kabar terkini, janji
berkunjung lagi, ngobrol sepuas-puasnya berganti-ganti dengan banyak kenalan.
Sampai-sampai aku lupa makan santapan utama dan mencicipi aneka kue yang
dihidangkan. Paling juga aku mencicipinya sedikit. Mengambil nasi hanya untuk
menyuapi anak-anak dan mengobrol panjang sampai sudah tiba saatnya untuk
pulang.
Belum lagi kalau di tempat ramai seperti itu,
sulung kami selalu banyak tingkah. Selera makanku menguap karena sibuk membujuk
atau mengajaknya bercerita demi mengulur waktu. Rileks sambil menikmati
secangkir kopi atau segelas jus justru kulakukan di perjalanan ketika akan pulang.
“Hari ini lagi nggak mood, pengen buru-buru
sampai rumah. Kasihan, kan, Qariin, Pasti dia nungguin kita.” kilahku lagi
dengan membawa-bawa nama putriku.
Suamiku tersenyum ganjil. Ekor matanya
memandangiku jail, aku semakin kesal dibuatnya.
“Mama kenapa, sih? Hm, kayak lagi ... hm, Ayah
tau, Mama lagi cemburu, ya?”
“WHAT?” aku melotot tak suka, dari bete
meningkat jadi bete-bete, ah! Bete kuadrat!
“Ayah perhatikan sejak ketemu Ican tadi, Mama
jadi lain.” tembak suamiku dengan telak untuk kedua kalinya. Jangan merasa
heran antara paduan panggilan Mama dan Ayah, memang sudah seperti itu. Merujuk
karakter kami yang kadang tak senada, panggilan anak-anak pun sama tak
senadanya.
Ican,
nama panggilan Cantika Dewi. Tuh, lihat, namanya saja cantik begitu. Aku memang
pernah melihat fotonya. Tak menyangka aslinya jauh lebih cantik. Mana suamiku
memanggil dengan nama panggilan manja ‘Ican’. Huh! Ampun, deh! Mungkin benar
kabar yang pernah berhembus, aku ini memang penanggung derita masa lalu
suamiku.
Sungguhan tidak, ya,
suamiku akhirnya memilih aku karena dibuat patah hati oleh mantan pacarnya itu.
Banyak lagi seribu prasangka dalam benakku. Kalau dibanding mantannya, aku ini
kayak apa ya? Aku ini pelarian kah?
Aku berusaha tersenyum namun kecut. Padahal
sudah menggembung, siap untuk meledak. Suamiku langsung saja mamarkir mobil di kafe favorit keluarga kami. Aku paling suka jus guava-nya. Tak ada bau
asam kelewat masak atau pahit. Bahkan
aku pernah minum jus guava kelebihan gula atau sedikit pahit di kafe lain, tapi
di sini, aku selalu puas. Aku boleh meminta mereka menambahkan vanilla float di atasnya.
Aku masih enggan turun.
“Bukan cemburu, sih, Yah,” aku membela diri,
“siapa coba, yang suka dengan pertanyaan ‘jadi, ini ya, istrinya?’ seolah-olah
dia masih punya kalimat panjang lainnya. Kalau tak terucap secara langsung,
tentu lanjutan itu terucap di dalam hatinya.”
“Emang lanjutannya apa?” suamiku masih dengan
senyum menyebalkannya. Harusnya kututup wajah itu dengan karung tepung, aku
benar-benar melakukannya! Tentu saja di dalam anganku. Soalnya aku tak bisa
mendapatkan karung tepung itu di dalam mobil kami.
Aku beralih dengan mencari kantong kertas
muntahan untuk menutup wajahnya. Aku coba meraba-raba, tapi tentu saja tak
ketemu juga. Itu hanya dalam anganku. Aku hanya diam menggembungkan pipi sambil
membuang pandanganku jauh ke seberang jalan.
Oh, Tuhan! Kuharap topik ini cepat beralih,
tapi rasanya sakit sekali kalau aku harus terus-terusan menyimpannya. Justru
akan meledak sewaktu-waktu. Maka, di sisi lain, aku ingin ini juga
diselesaikan. Katakan aku tak sepadan dengannya. Bukan! Katakan saja dia tak
sepadan denganku, aku adalah wanita tercantik di matanya. Aku bukan penanggung
derita masa lalunya. Lelaki yang tak kurang sesuatu apa pun yang pantas
didampingi primadona sekolah, Ican. Tapi Ican pergi ke pelukan lelaki lain
dengan alasan yang tak pernah kutahu hingga detik ini.
Katakan lagi, kau sama sekali tak ingat tentang
perasaanmu yang dulu, kau benci mengingatnya sampai kau tak mampu walau hanya
untuk tersenyum seperti itu, seperti yang kau lakukan sekarang. Tapi, oh,
Tuhan. Kulirik sedikit wajahmu, matamu, kau menahan tawa seperti kegirangan.
Kegirangan dengan sesuatu yang sama sekali tak kupahami. Apalagi aku sedang
buta seperti ini.
“Ha ha ha ....”
Benar saja! Aduuuh jahatnya! Kalau tak ingat si
kecil sedang dalam gendonganku dan aku harus menjadi ibu teladan yang
berkelaluan baik di mana pun, kapan pun dan dalam situasi apa pun, ingin kubanting
dia seperti yang sering kulakukan pada pertandingan babak akhir di saat aku
masih menjadi bintang di matras. Siapa tak kenal aku, Yasmine si Jago
Taekwondo!
“Ya, ampuun, Mama! Sepertinya hari ini hari
paling bahagia untuk Ayah,” lanjutnya memekik kecil sepertinya sangat
kegirangan.
Oh,
tak kusangka aku menikah dengan lelaki gagah tapi hatinya kerdil, ia suka berbahagia
di atas deritaku, umpatku
dalam hati. Aku tak tahan lagi. Mataku yang tadinya memancar api karena marah, kini justru berembun karena kesal memuncak. Rasanya ingin hujan airmata sekejap lagi.
“Mama ternyata benar-benar mencintai Ayah,”
senyumnya melebar sambil mengerling ke arahku. Aku benci sebenci-bencinya.
“Mama nggak mau jadi pelengkap derita masa lalu Ayah!” ketusku seribu-rius dengan
pernyataanku.
“Bunda kira Ican itu pantas untuk dicemburui
seperti itu?”
Ingin kuberteriak mengatakan berhenti menyebut namanya di depanku!
“Bagaimana kalau lanjutannya kata-katanya tadi,
oh, ini istrinya, ya? Beruntung sekali dapat suami seperti Nabil.”
Aku semakin panas dan merasa tak berarti.
Harusnya, kan, ia yang beruntung. Eh, tapi kan, kubilang tadi aku ini pelengkap
penderitaan, penanggung derita masa lalu. Tiba-tiba aku bingung apa sebenarnya
yang aku pikir dan inginkan.
“Hehehe, nggak, ding, Mama Sayang. Jelas sekali
dengan kalimat Ican barusan, dia iri melihat Mama begitu memesona. Tidak
sombong pula. Mama tak pernah mengenal Ican, kan?”
“Sudah kenal tadi.”
“Mama, Ican itu tidak seperti yang Mama
pikirkan. Berhenti memikirkan yang tidak-tidak dan jangan pernah sebutkan yang
tadi, apa itu, yang tadi? Penanggung derita masa lalu? Tak pernah ada apa-apa
di masa lalu Ayah. Ayah tak pernah ingat menderita walaupun mungkin pernah.
Sejak bertemu Yasmine, Ayah semakin banyak lupa. Bahkan hampir semuanya. Hanya
yang indah-indah saja yang tertinggal sekarang. Semua tentang Yasmine. Seiring
ikrar terucap pertama kali, Ayah seperti baru lahir dari rahim cinta untuk
pertama kalinya. Tak ada secuil pun masa lalu itu.”
“Thanks
for gombaling!” ucapku pura-pura bosan tapi sebenarnya aku sedikit lega.
Tapi, mana mungkin masa lalu bisa dilupakan.
“Masih tak yakin karena Ayah berdalih lupa?”
tiba-tiba ia melanjutkan seolah ada gelembung dialog di atas kepalaku mana mungkin masa lalu bisa dilupakan.
Atau mungkin saja suara hatiku tiba-tiba menggema mengikuti gelombang udara
kemudian menyampaikannya ke indera dengar suamiku.
“Paling tidak Ayah sudah berdamai dengan semua
masa lalu itu. Tak ada yang pernah memberikan seindah yang Ayah terima dari
Mama. Semuanya. Segalanya. Apa arti fisik yang cantik tapi benci menelikung
hati? Seberapa bisa cinta itu tumbuh kalau hati ditumbuhi benci berurat
berakar, dengki tiada habisnya. Tak perlu pupuk, benci itu kerap tumbuh menelikung,
bercabang, berakar-akar di dalam hatinya sampai cinta menjadi sesak tak mampu
hidup di rumah hatinya yang sempit. Ada belukar dengki di sana.”
Tiba-tiba mendung bergelayut seperti
menghampiri wajahku. Aku ingat, saat kami membuka album foto jadul, ada Ican
juga di sana. Krisan, teman dekat suamiku, yang belakangan lebih akrab
denganku, menggodaku dan suami dengan menyebutkan Ican itu mantan pacar
suamiku.
Aku
yang hari itu agak sedikit cemburu tapi ikut tertawa juga. Krisan juga seolah
tak peduli dengan perasaanku dan bergumam, “Ah,
Ican... Ican yang malang. Mudah-mudahan dia berubah sekarang.”
Kudengar
ia tak pernah memiliki keluarga kecil yang utuh. Pertengkaran demi pertengkaran
memaksa hidup rumah tangganya tak pernah tentram. Dengan suaminya yang baru
ini, entahlah. Kubayangakan sekali lagi wajah cantik yang tadi kutemui. Tak ada
rona bahagia di matanya yang harusnya indah itu. Tak ada cinta di sana.
Malu menyergapku seketika. Derita dan bahagia
itu datang dari pikiran dan prasangkaku sendiri. Cemburu memang membakar akal
sehatku. Cepat kuatur posisi si bungsu dan turun dari mobil, harusnya aku
menyusul suamiku yang sudah bersiap memilih bangku. Juga memohon maaf atas
semua prasangka tak elegan tadi.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny