Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Lagi- lagi Tentang Si F

Judul Buku : Gara-Gara Facebook, Kisah-kisah Seru Para ‘Facebooker’ Editor : M. Solahuddin, Ridho ‘Bukan’ Rhoma, Hery SP Tebal Buku : 188 halaman Penerbit : Leutika, 2010 Bangun tidur kubuka fesbuk Tidak lupa kubaa inbuk Foto bagus langsung ku aplud Sudah siang tak lupa log ut Prolog tulisan yang berjudul ”Mesbuk Terus” yang ditulis oleh kontributor Falasafah Ani Yuniarti ini, cukup mengena. Siapa sih, yang tidak mengenal Facebook? Situs jejaring sosial yang fenomenal ini sebenarnya sudah ’dilahirkan’ Mark Elliot Zuckerberg pada tahun 2004, hanya saja baru booming sekitar tahun 2008 ketika ada fatwa haram dari beberapa ulama tanah air. Facebook yang berpenduduk 200 jiwa lebih ini, merupakan ’negara’ yang paling demokratis. Siapapun boleh bergabung di situs jejaring yng satu ini. Di Inggris, tepatnya di Tenby, Pembrokeshire, ada pengguna Facebook tertua. Ia adalah Lilian Lowe yang berusia 103 tahun. Boleh dikata, se-gaptek apapun orang, jangan heran kalau ternyata

Santiago Sang Coelho (Tentang Sang Alkemis)

Judul : Sang Alkemis Penulis : Paulo Coelho Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006 Cetakan : III Halaman : 213 “ Pada saat tertentu dalam hidup kita, kita kehilangan kendali dengan apa yang terjadi dengan diri kita, dan hidup kita lalu dikendalikan oleh nasib. Itulah dusta terbesar dunia. ” (Si Orang Tua/ Malchizedek). Layaknya setiap jiwa, Santiago juga memiliki sebuah mimpi. Impian itulah yang kemudian mengantarkannya pada sebuah petualangan besar. Semua orang bisa bermimpi, tapi cara untuk menggapai impian itu tentu berbeda. Adalah seorang bocah penggembala yang polos bermimpi menemukan harta karun. Ia menganggap itu adalah Legenda Pribadinya, seperti yang dikatakan oleh si Orang Tua. “Daya misterius adalah kekuatan yang tampak negatif, tapi benarnya menunjukkan kepadamu cara mewujudkan Legenda Pribadimu. Kekuatan ini mempersiapkan rohmu dan kehendakmu. Karena ada satu kebenaran terbesar di planet in

RUMAHKU, SEKOLAH KEHIDUPANKU

Inilah kiranya salah satu hikmah dari hadis Nabi yang menyuruh umatnya memuliakan tamu. Setiap kedatangan tamu, rumah kerap dihinggapi berkah. Kurang lebih seperti itu lah yang sering aku rasakan sejak dulu. Sejak kecil, ketika rumah yang sering aku keluhkan tak henti-hentinya berseliweran wajah yang familiar dan non familiar, tak pernah memberikan privasi sedikit pun buat kami. Kami harus sudah berpakaian lengkap, termasuk memakai alas kaki, sejak menyibak tirai pintu kamar. Sebab sudah tak mungkin lagi menertibkan setiap orang yang singgah, baik itu tamu kami sekeluarga, atau tamu orang yang menyewa kamar di losmen kami. Sekali waktu aku bertanya sambil tertawa getir, entah pada siapa, mungkin pertanyaan retoris saja. “ Mengapo rumah kito mirip kandang kudo? ” –mengapa rumah kita mirip kandang kuda?- Seringkali aku mupeng melihat suasana rumah teman-teman sekolahku yang nyaman. Duduk selonjoran di depan teve, mau bersandar, mau tiduran, berpakaian seadanya. Paling tidak, ta

Sebait Rindu (Lagi)

Sumber inspirasi yang meredup, walaupun hanya untuk sementara waktu. Tapi itu cukup membuat galau. Tak ingin siang lekas datang, tapi tak mau juga malam merambat terlampau pelan. Sendiri seringkali tak menyenangkan. Sebenarnya karena tak biasa, membuat semuanya canggung terasa. Huf, waktu-waktu ini adalah milik kita bersahut-sahutan cerita. Sambil menatap banyak-banyak. Sebab seringkali ucapanmu akan tertambat di mata. Eun-yud, perlu seni yang unik memahami bahasamu. Mereka bilang mempelajarinya membikin jemu, tentu saja tidak bagiku. Aku ingin kita selalu bersama. Sebab ku tak suka mengeja rindu berlama-lama.

Pada Dia

Pada dia yang sekarang gemar sekali mengenali tetumbuhan. Mengamati ruas-ruas daun, ukuran, dan segala rahasia manfaat yang disimpannya. Yang menggeluti hari terang tanah hingga pekat malam. Menyulam harap dalam diam pada mangu senja yang cuma sejenak. “Sudahlah, rehatkan pindaian mimpimu. Petang menjelang. Ia di sana menanti tepat waktu,” kerap kuingatkan saat lembayung berganti pekat. Hangat tawamu meminta banyak pengertian. Betapa sebenarnya kupaham apa yang kau mau. Walau tak semua yang kau tahu bisa kupahami. Ah, biar sajalah. Hati kita sudah sering bergelung pada dua kata itu. Paham dan tahu. Dimana ia kerap saling mengisi. Lalu rasa saling percaya menjadi perekat eratnya. Pada dia yang mengikuti alun rumput Timothy. Menengadah pada gagahnya batang Kaliandra di seberangnya. Pernah kah kau pedulikan kulit telapakmu yang menebal ataupun ruas jarimu yang cedera? Ah, kurasa kau lupa. Karena hatimu sedang diliputi senang sebab akan menyemai Alfalfa yang kau teorikan kaya kalo

Oh, Pollyanna! Aku Benar-Benar Terpesona!

Oh, Pollyanna! Aku Benar-Benar Terpesona! Efek membaca novel klasik, tiba-tiba saja aku ingin menghujani orang di sekitarku dengan kata-kata berupa pertanyaan atau pernyataan biasa, tapi disampaikan dengan cara bertutur yang puitis. Tiba-tiba ingin berbicara dan menulis dengan menirukan sedikit ‘gaya’-nya. Tentu tidak bermaksud mem-plagiat. Ini hanya menggambarkan betapa besar efek sebuah cerita yang isi dan cara penyampaiannya sungguh berbobot. Tentu saja! Kalau tidak, mana mungkin cerita tersebut bisa menjadi best seller, menginspirasi banyak orang, diterjemahkan dan dibaca hingga hari ini. Novel ini dibuat pada tahun 1913 dan sekuelnya menyusul dua tahun kemudian. Novel yang populer di abad 20 dan telah diangkat menjadi film, dipentaskan di Teater Broadway dan sempat memasuki cetakan ke-47 antara tahun 1915 dan 1920, benar-benar tak lekang digerus masa. Sebenarnya ini novel klasik yang ditujukan untuk anak-anak, tapi sangat direkomendasikan buat orang dewasa. Novel yang

Raut Innocent dan Sebilah Belati

Raut Innocent dan Sebilah Belati Kau perhatikananak itu, dengan setelan denim kusut yang dikenakannya, belati kecil di genggaman, dia siap melukaimu. Tatapannya yang liar seolah membakar. Jangan kau pegang terlalu erat, sebab dia akan kesakitan dan meronta. Tapi ingat! Di tangannya belati yang siap melakuimu saat kau lengah. Lagi-lagi mata itu. Andainya itu api, sudah sejak tadi aku terbakar hangus. Puncak rasaku mati. Ketika meregang kurasakan seluruh tubuhku luka. Kucoba mengencangkannya lebih erat lagi dan lagi. Tubuhku sakit menahan liukan tubuhnya yang liat dan licin berpeluh. Dia meronta. Ah, aku perih, lelah, sakit! Tapi aku kasih... Dan rasa itu membuatku lemah. Tapi aku iba... Rasa itu membuatku kalah. Tubuhku kuyup oleh peluh dan darah. Kukira setelah remuk itu dia akan berkemas pulang. Lengkap dengan belati bersimbah darah. Tatapannya berubah kini, antara puas dan bingung. Kukira dia akan berkemas pulang. Yah, mungkin saja. Tapi aku tak tahu. Sekelilingku gelap. Ra