Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Biyya, Rumput Laut Kering dan Jihyeon

Bermula dari Jihyeon yang memberikan sebungkus seaweed hari itu, aku jadi tahu kalau Biyya loves seaweed that much ! Hahaha.... Selama enam bulan yang mengesankan Jihyeon akan menjadi tetangga kami. Kami menjadi keluarga angkatnya, dia anak gadis yang luwes dan mudah menyesuaikan diri. Tidak cerewet dalam semua hal, karena memang sudah menjadi tugasnya sebagai relawan di panti kami tercinta. Biyya dan Akib punya sudara angkat yang berbeda bahasa tapi aku benar-benar tak menyangka mereka begitu cepat dekat satu sama lain. Jihyeon bersaing dengan Biyya untuk bisa berbahasa Indonesia, Jihyeon memang punya selera humor yang baik, waktu dia bercerita tentang ide itu, kami tertawa bersamaan. Setiap hari dia akan mengecek kemampuan Biyya, melebihi dia atau tidak. Bayangkan, dari anak bayi pun tak mengapa, asalkan tujuan positif itu bisa dicapai. Salah satu poin yang kupelajari dari gadis Korea itu. Rumput laut itu yang selalu dipakai untuk membuat onigiri. Lebih popule

Kali Ini Namanya Mitch

Masih ingat untuk pertama kalinya memberanikan diri membuka diri untuk orang lain yang berbeda   bahasa. Usiaku belum genap 12 tahun mungkin, juga tak ingat bagaimana mengeja nama orang itu. Tamu yang dulu menginap di losmen kami, seorang Aussie yang usianya tidak kurang dari 35 tahun, Mr. Stoggie. Yakin lah ejaannya salah, mau bagaimana lagi, itu saja yang masih bisa kuingat. Dengan bahasa Inggris sekaliber anak usia balita, aku pede saja mengajaknya mengobrol. Barangkali saja bagi orang lain tidak perlu dibahas, mulai obrolan ataupun tema tulisan kali ini yang itu-itu saja. Tapi rasanya memang ingin sekali menuliskan lagi tentang ini, persahabatan beda negara yang seperti keluarga sendiri. bagi orang-orang yang sempat menetap di LN mungkin wajar saja, tapi aku sama sekali belum pernah ke LN. Menyedihkan? Ya, kedengarannya seperti itulah di zaman secanggih dan semudah ini, juga dengan tiket pesawat yang lebih murah dari ongkos becak. Ya, sudahlah, aku akan menebusnya suatu saat n

Sweet Surprise From Sunset in Weh Island

Kali ini Kak Aida kembali memberi kejutan manis di novel terbarunya Sunset in Weh Island (SiWI). Bukan saja alur yang melompat-lompat indah seperti jete yang dilakukan balerina di atas toes shoes , juga penggambaran setting yang detail nan memukau. Namun seperti halnya novel remaja dan tulisan Kak Aida yang lainnya, diksi yang dipilih Kak Aida tidak bertele-tele dan jauh dari kesan ‘sok puitis’. Gaya pop yang tetap dipertahankan dalam novel genre romantis kali ini, justru menambah kesan enerjik dan hidup. Novel terbitan Bentang Belia ini mengambil secuil seting di Frankurt International Airport. Dipermanis lagi dengan pengetahuan Kak Aida tentang negeri Hitler ini yang dibeber di bab Sunrise in Rubiah Island. Karakter pasangan yang dipilih pun cukup menarik. Awal pertemuan Axel, seorang pria Jerman dan Mala, gadis Aceh blesteran Jerman, secara tak sengaja di sebuah aksiden ketika kedua remaja itu sedang melompat ke kapal menuju pulau Sabang. Untuk selanjutnya Axel dengan resmi

Catatan Tiga Malam

Malam I Haha, ya ampun! Larut malam begini tiba-tiba saja winamp -ku memutar lagu insomnia-nya Craig David. Padahal sebelumnya aku lumayan lelah dan ngantuk. Minggu-minggu yang melelahkan sudah meleburkan seluruh ideku bersama angin. Hampir setengah bulan tak ada ide yang tertuang menjadi tulisan. Aku benar-benar libur. Cuti dari menulis sungguh penuh derita. Ada sesuatu yang melonjak-lonjak di kepalaku. Membuatku ingin rehat sejenak, membuka bahagian yang penuh sesak denga ide dan menuangkannya. Menggoyang paksa agar ia tak lagi nakal mengusik tuannya setiap hari. Malam II Aaargh, masih banyak yang ingin kutuliskan, tapi sungguh, mataku tak lag bisa diajak kompromi! Malam III Belakangan ini lelah bukan main. Kalau sudah di atas pukul sembilan, badan sudah membunyikan sirine istirahat yang cukup nyaring. Rasanya suara-suara di kepala bertubrukan dengan alaram tanda tubuh menuntut rehat. Di antara polemik tak penting itu, aku hanya bisa memilih satu buku dan mulai mem

Mental Saya Dalam Hal Bersaing

Tak ada yang perlu dikompetisikan dalam hidup ini. Paling penting itu melakukan hal yang menentramkan hati. Kalaulah hal itu ternyata mampu menebar manfaat untuk orang lain, tentu lebih dari cukup. Berujung bahagia, itu inti dari segala pencapaian yang ada. Ya, itu menurut saya pribadi. Tak mengapa sebagian orang mencibir tak setuju, terlebih lagi kalimat awalnya. Tapi sengaja atau tidak, kompetisi telah begitu jauh dari dunia saya sejak kecil. Mungkin karena polah asuh di keluarga juga. Pernah suatu kali dengan sedikit kecewa saya mengadu pada Abak (bapak saya) tentang angka 8 yang nangkring manis di buku rapor saya. Abak seperti biasa, hanya tersenyum dan menunjukkan mata bangganya memiliki anak seperti saya. Bahkan komentarnya jauh dari yang dibayangkan orang kebanyakan. “Wah, hebat, angka 8 itu, kan, lumayan banyak!” Sampai di situ saja. Tak ada ujung-ujung yang pada akhirnya membebani saya. Semacam kalimat “besok belajar lebih rajin lagi, ya!” ataupun kalimat genjotan s

Writer's Block dan Pesan Singkat Dari Anak Asuhku

Bilakah harus kumulai? Di antara denyut-denyut di nervus frontalis ini. Di antara resah-resah yang meraja dalam fikiranku. Tak ada apa pun yang mampu kutoreh. Perjalananku dalam hal ini mampet, terhambat membeku. Tanpa pernah seperti ini, kalap kubuka lembar baru dan kesetanan kutulisi semua yang ada di kepalaku. Kusut masai, kutumpah ruahkan segalanya berderai-derai tanpa aturan. Tak perlu kumulai, sebagaimana aku tak perlu mengakhiri semuanya. Biar tak sanggup dicerna, walau tak minat dibaca. Tapi kulawan ketidakberdayaan ini sekuat tenaga, semampuku saja.              Kuseduh secangkilr latte , kuaduk sama kalapnya dengan saat mulai merangkai aksara ini. Pesan itu masuk. Anak itu, tentu saja ... berapa usianya hari ini, ya? Seringkali aku dihoyak rasa tak enak jika mengeluh panjang pendek. Anak itu jauh lebih alot untuk masalah hidup. Disentilnya aku dengan berbagai masalah hidupnya sejak usia belasan. Berat sudah dirasanya, aku hidup terlalu lempang dan mulus hingga lewat

SUARA SUARNI

Kurapatkan cardigan longgarku sambil bersender ke tiang teras. Angin sore itu terasa lembab. Pikiranku menerawang lagi. “Entahlah, Bunda. Suarni merasa nggak sanggup aja... ” “Kenapa begitu? Sayang sekali. Semua orang ingin mencoba duduk di bangku kuliah. Apa yang dicemaskan? Masalah biaya bisa kita cari. Yang penting punya kemauan.” Cecarku masih dengan mimik terkejut. Gadis remaja itu menunduk. Entah apa yang dipikirkannya. Memutuskan pulang ke rumah bibinya dan bekerja di sebuah pabrik bata setelah lulus SMA. Padahal kesempatan mengenyam bangku kuliah masih ada. Tiba-tiba saja ia datang menghampiriku yang sedang sibuk dengan segunung kain setrikaan. Suarni pamit ingin pulang ke rumah bibinya dan meninggalkan panti yang sudah dihuninya selama empat tahun. Suarni sosok anak yang rajin dan ulet. Ia terbilang ringan tangan dan tidak pemilih dalam bekerja. Peraturan di panti juga selalu dipatuhi. Kami sangat terbantu dengan kehadirannya. Nilai akademisnya bisa dikataka

GA YaAllahBeriAkuKekuatan, Aida MA

Jangan Dia Tiga harmal aku berkelindan dengan kesibukan yang tak biasa, pindah rumah, itu berarti bukan rutinitas. Larut malam kusempatkan mengoreksi lembar jawaban siswa dan refreshing dengan menulis apa saja yang sedari pagi tadi meloncat-loncat, sesekali melenguh keras terhimpit kesibukan menyesakkan. Tapi aku masih bisa menikmati semuanya mengikuti ritme hingga detik ini. Satu pikiran itu tak pernah pergi setelah seminggu lalu mampir ke telingaku. Dia begitu istimewa bukan hanya karena ada benang merah di antara kami berdua. Usianya hanya terpaut setahun lebih tua dariku. Bola mata coklat dan matanya yang besar sebentuk kacang almond itu kupuja sejak dulu. Suka melihatnya. Apa lagi senyumnya semanis gula. Lalu, dengan lelaki serupa apa Allah ujikan buat dia? Dia─aku kenali dia luar dalam, hatinya selembut beludru sutra. Tingkahnya tak ada beda, berdekatan dengannya seperti menikmati sepotong velvet cake . Aku sama sekali tak heran karena tahu bagaimana kedua orangtuanya