Langsung ke konten utama

GA YaAllahBeriAkuKekuatan, Aida MA


Jangan Dia

Tiga harmal aku berkelindan dengan kesibukan yang tak biasa, pindah rumah, itu berarti bukan rutinitas. Larut malam kusempatkan mengoreksi lembar jawaban siswa dan refreshing dengan menulis apa saja yang sedari pagi tadi meloncat-loncat, sesekali melenguh keras terhimpit kesibukan menyesakkan.
Tapi aku masih bisa menikmati semuanya mengikuti ritme hingga detik ini. Satu pikiran itu tak pernah pergi setelah seminggu lalu mampir ke telingaku. Dia begitu istimewa bukan hanya karena ada benang merah di antara kami berdua. Usianya hanya terpaut setahun lebih tua dariku. Bola mata coklat dan matanya yang besar sebentuk kacang almond itu kupuja sejak dulu. Suka melihatnya. Apa lagi senyumnya semanis gula.
Lalu, dengan lelaki serupa apa Allah ujikan buat dia? Dia─aku kenali dia luar dalam, hatinya selembut beludru sutra. Tingkahnya tak ada beda, berdekatan dengannya seperti menikmati sepotong velvet cake. Aku sama sekali tak heran karena tahu bagaimana kedua orangtuanya membesarkannya. Penuh-penuh kasih sayang itu diberikan, lembut diberi pengertian dalam segala hal, wajar kan, kalau semua itu membikinnya halus perasaan?
“Ain, sampai pingsan ia dianiaya, kemudian bangun, pingsan lagi.”
“Memang salahnya apa, Mei?”
“Curiga. Sakwasangka. Itu saja, tak ada lain. Belakangan suaminya tahu ia tak pernah berbuat begitu, tapi besok hal lain lagi yang dipermasalahkannya. Memang sudah tabiatnya begitu, tak puas kalau tak main tangan.” Tutup Mei sambil mendesah panjang.
Kecewa sekali, ada rasa bersalah yang mendadak merajut sarangnya dalam hatiku. Sudah berapa lama kuputuskan kontak dengannya tanpa sengaja. Sebab alasan kesibukan yang tak menentu itu terus menggerogoti hari-hariku. Kutelan ludah yang tiba-tiba seperti biji kedondong rasanya. Kalimat apa yang pantas untuk pembuka? Tentu saja aku tak akan pernah memulai, menanyainya mengenai hal itu tentu menyakiti hatinya.
Perlahan kubuka lagi komunikasi lebih intens dengannya. Kuhargai keputusannya dengan tak pernah bercerita apapun tentang masalah suaminya yang tak berhati itu. Tak pernah kucecar ia dengan tanya sejenis itu, sedekat apa pun kami dulu, privasinya tetap aku junjung tinggi. Sampai beberapa kali, keluh kesah tentang itu tak juga muncul. Sudah tabiatnya pula tanpa sengaja memampangkan keluhuran budi dan baktinya menjaga rahasia pasangannya.
Kenapa harus dia yang disaat seperti itu, masih saja sanggup mengabarkan kebahagiaannya mengurusi putri kecilnya. Walau ujian itu menderanya, kesah itu tetap tertahan dan digantikannya dengan membuatku tenang di sini dengan kabar-kabar senang. Aku tak tinggal bersisian dengannya, tapi semua berita mengibakan itu hadir  menampar hati. Tak  bosan-bosannya lelaki yang punya janji pada mulanya mendekapnya dengan hangat, cepat pula pengap hatinya dan kalap menerkam belahan jiwanya sendiri.
Hati ini kerap gugu jika mengingat siapa yang sedang teraniaya ini. Seorang yang hatinya putih tak pernah dengan sengaja menyakiti hati orang di sekelilingnya. Tanyakanlah pada sahabat, sanak kerabat dan musuhnya jikalau ada.
Aku pernah tahu seorang istri yang saban hari mulutnya nyinyir membeber aib suaminya. Pagi-pagi sudah keluar keluh kesah di bibirnya. Katanya suaminya tak pernah perhatian lah, tak suka tinggal di rumah, tak mau mengulurkan tangan meringankan pekerjaan rumah, kantongnya cekak, sampai usia pernikahan mereka sepuluh tak pernah punya hunian tetap.
Tak cukup begitu, punya anak pun dia sesukanya. Di mataku sadis sekali perempuan itu. Tapi tak pernah pun dia kulihat menerima umpat kasar suaminya. Tak pula kulihat teraniaya dirinya yang hatinya hitam merembes-rembes hingga ke wajahnya yang licin mulus itu sebab diamplas bedak  dan  krem anti-aging setiap hari.
Lalu kenapa dia yang luhur pekertinya? Berkali-kali kurapal, ya Allah janga dia yang Engkau beri neraka rumah tangga karena ia tak pernah memulainya. Baktinya tinggi untuk kedua orangtuanya, kutahu itu karena ibunya yang selalu berurai air mata memintaku menyambi namanya dalam doaku.
 “Ain, doakan dia diberi jalan keluar, kami juga ingin segera selesaikan dengan jalan yang terbaik. Tapi kan, itu memang hak dan kesepakatan mereka berdua yang Ibun tak mungkin lagi turut campur di dalamnya. Walau hati Ibun seperti dikuliti saat melihat luka di matanya.”  Aku Ibunya setiap kali mengadu padaku.
Bukan karena kejadian ini ibunya tiba-tiba sayang sebab kasihan, tapi sejak dulu dia memang disayang bukan hanya oleh kedua orangtuanya. Siapapun bisa jatuh sayang dengan kepekaan hati dan kehalusan budinya. Dia pantang sekali menyakiti baik dengan kata ataupun tingkahnya.
Laa nufarriqullahu nafsan illa wus ‘ahaa. Seperti itu Allah menjawab di firmannya dalam surat Albaqarah. Tidaklah tiap-tiap diri itu diberi cobaan kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Takjubku lagi padanya, terbanyang mata kacang almond itu mengerjap menguras tetes bening yang luruh, kemudian tegar kembali dengan lebih menatap lurus ke depan. Dia akan menjadi kian mantap nanti.
 Mengapa harus dia? Karena dia sebentar lagi dinaikkan kelas oleh Maha Kuasa, karena itu hari ini dia sedang ujian. Baiklah bagiku menyemangati dan mendoakannya dalam-dalam. Ya, Allah beri dia kekuatan. Amiin...

Komentar

  1. Pasti dia itu luar biasa sabar...ujiannya pasti berat ya aini..:((

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah Garing!

Aku tidak lagi muda, tapi aku juga belum terlalu tua lho... sudah sejak lama aku memendam hasrat ingin menjadi penulis. Aku memang sering menulis. Tulisan-tulisanku umumnya adalah kejadian sehari-hari dalam hidupku. Semuanya konyol dan tak bermutu saat kubaca ulang. Oh God, aku merasa semakin putus harapan. Apa aku memang terlahir dengan bakat untuk menulis semua tulisan-tulisan tak berbobot sekaligus konyol plus tak layak dibaca.? Sungguh menyedihkan. Siapa nyana dibalik keseringanku menulis ini tak ada satupun tulisan yang bisa memberikanku kepercayaan diri untuk mempublikasikan setelah aku membacanya kembali. Atau sebaiknya semua tulisan yang aku buat tak usah dibaca lagi sehingga tidak menjatuhkan mentalku? Satu hal lagi yang paling bodoh adalah aku sering tidak menyelesaikan tulisanku. Bahkan mungkin tulisan kali inipun tak juga rampung. Tapi entahlah, sebenarnya tak bisa kukatakan entahlah karena semuanya tergantung padaku. Apa aku mau menyelesaikannya atau kutinggal saja sebelu...

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...