Kau seperti kepulan asap kopi pagi yang hadir sejenak dan berlalu pergi
meninggalkan berjuta sensasi rasa di indera bauku, merasuki otakku, dan
mendiami alam bawah sadarku.
"Terima kasih atas kunjungannya, silakan datang lagi." hari
ketiga kucoba berhenti dipecundangi amukan grogi walau yang kudapati hanya
selarik senyum basabasi.
Barangkali yang kemarin ada juga artinya bagimu yang biasanya hanya singgah
di kafe kami hari Sabtu, hari Minggu ini kau datang lagi dan tentu saja sendiri
seperti biasa.
"Sanger panas, kan?" tanyaku sok akrab dengan senyuman khas
pramusaji.
"Ah, ya!" wajahmu sedikit kaget. Dengan spontan kau membetulkan
letak kacamata yang bertengger di hidung bangirmu. Memperhatikanku sekilas dan
duduk di bangku biasa dengan wajah bergurat tanya.
Aku sedikit menyesal menyapamu dengan cara itu. Aku khawatir mengganggu
privasimu sebagai pelanggan dan tentu saja aku mulai cemas kalau tiba-tiba esok
kau enggan singgah di kafe kami.
Ternyata benar, setelah sapaan sok akrab itu, seminggu lebih aku tak
melihat batang hidungmu di salah satu sudut atau meja mana pun di kafe kami.
Ah, dasar bodoh! Gerutu batinku.
"Kehilangan seseorang?" Kila seperti membaca gelagatku seminggu
ini. "Pasti mencari gadis yang biasa datang hari Sabtu dan duduk di meja
sudut itu, kan?"
“Sekentara itu, ya?”
“Ho-oh.” Jawab Kila singkat sambil terus membereskan
pembukuan seperti biasa.
Kau tahu bagaimana rasanya tertangkap basah? Seperti inilah
keadaannya. Tentu saja aku semakin kecil hati. Siapa aku yang barangkali tak
pernah kau ingat barang sejenak.
“Tenang saja, besok-besok dia juga balik lagi.” Imbuh Kila
santai.
“Ah, sok tahu. Kamu kenal?” Tanyaku lagi yang dibalas Kila
dengan selarik senyum.
Entah otakku yang
mandek atau memang pesonamu yang keterlaluan, sejak kau tak pernah lagi singgah,
semangatku menguap seperti uap kopi pagi ini.
“Sanger panas, ya!” Sebuah suara petang itu terdengar
familier. Hujan terlihat masih belum ingin berhenti tumpah dari langit.
“Tambah
teh panas satu.” sambut suara bariton seorang pria gagah yang duduk persis di hadapanmu. Seolah ia ingin mengunci diri dan hatimu bagai catur raja menjaga pionnya.
Kau tahu bagaimana air panas melarutkan kopi? Kemudian
ketika dibubuhi gula, diracik oleh barista ternama, tentu akan menghasilkan
cita rasa, aroma, dan cinta. Lalu kau tahu bagaimana rasanya ketika hasrat tiba
ingin menyesapnya sirna, seiring dengan tumpahnya ia bersama dengan gelas kaca.
Luluh lantak di atas teras basah.
“Ari! Melamun lagi! Sudah berapa gelas pecah minggu ini?!”
Kila datang mengantarkan sodokan sampah dan sapu padaku. Tak lupa ia membisiku
dengan kalimat tajam tadi.
Kau seharusnya tak sekejam itu untuk membuatku sadar, bahwa
kau adalah langit dan aku adalah bumi. Bahwa kau memang selaksa uap kopi yang
menggelantang di udara lalu hilang tak bersisa.
Gadis uap kopi, kau tak lebih dari sekadar imaji.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKok aku merasa itu aku ya hahahahah
BalasHapusSalam Bunda
BalasHapus