Langsung ke konten utama

MENGUNGKAP BERJUTA MAKNA IBU




Judul: Ibuku Adalah...
Penulis: Jazim Naira Chand, dkk.
Penerbit: LeutikaPrio
Tebal: 136 Halaman
Cetakan I, Februari 2011


Ibu, tiga huruf yang kerap menghujani banyak inspirasi. Lambang ketulusan kasih sayang yang murni dan tak bertepi. Dari rahimnya terlahir orang-orang hebat penggebrak dunia. Tiada keraguan, Ibu seolah bidadari yang diwujudkan ke bumi.

Untuk ibu lah para anggota Grup Untuk Shabat ini, mengumpulkan beragam bentuk tulisan yang kemudian dibukukan oleh LeutikaPrio. Sebuah penerbitan berlini indie yang sedang populer hari ini.

Beberapa cerita dan puisi di dalamnya membawa kita kembali merasakan hangatnya belaian sang bunda. Mengenang jasa-jasanya yang tak mungkin berbalas. Mengingat perjuangannya yang panjang sejak kita mulai menggelitikkan kaki mungil, hingga berpijak kokoh di atas bumi. Semua tak lepas dari andilnya.

Beragam karakter ibu, berlain pula cara mengungkap cinta terhadap anak-anaknya. Namun semuanya mmpunyai tujuan yang mulia, tak ada seorang ibu pun yang ingin memberikan sesuatu yang buruk buat anaknya.

Buku ini ditulis oleh 37 kontributor yang mengisahkan tentang ibu kandung mereka. Disajikan dalam bentuk yang tak seragam. Memang ada sedikit perasaan tak betah saat mengikuti kata-perkatanya yang monoton.

Intinya semua dipersembahkan untuk wanita yang bergelar ibu. Ada cerita, puisi, artikel, dan prosa. Bahkan salah satu kontributornya, Trilego Indah, menulis puisi dan cerita sekaligus. Baik puisi ataupun cerita dituturkan dengan kalimat pertama, Ibuku Adalah… sebuah antologi kisah kasih ibu yang layak dibaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah Garing!

Aku tidak lagi muda, tapi aku juga belum terlalu tua lho... sudah sejak lama aku memendam hasrat ingin menjadi penulis. Aku memang sering menulis. Tulisan-tulisanku umumnya adalah kejadian sehari-hari dalam hidupku. Semuanya konyol dan tak bermutu saat kubaca ulang. Oh God, aku merasa semakin putus harapan. Apa aku memang terlahir dengan bakat untuk menulis semua tulisan-tulisan tak berbobot sekaligus konyol plus tak layak dibaca.? Sungguh menyedihkan. Siapa nyana dibalik keseringanku menulis ini tak ada satupun tulisan yang bisa memberikanku kepercayaan diri untuk mempublikasikan setelah aku membacanya kembali. Atau sebaiknya semua tulisan yang aku buat tak usah dibaca lagi sehingga tidak menjatuhkan mentalku? Satu hal lagi yang paling bodoh adalah aku sering tidak menyelesaikan tulisanku. Bahkan mungkin tulisan kali inipun tak juga rampung. Tapi entahlah, sebenarnya tak bisa kukatakan entahlah karena semuanya tergantung padaku. Apa aku mau menyelesaikannya atau kutinggal saja sebelu...

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...