Langsung ke konten utama

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore.

“Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya.

“Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ”

“Astaghfirullah… ”

“Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?”
Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil.

“Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra.

“Ya, bilang aja sekarang sama teman Ayah itu. Bunda kabari Irsa dulu…” lanjutku lagi sambil berbenah.

Pada akhirnya anak yang dibicarakan tadi tak jadi menginap. Tak jadi datang ataupun minta dijemput. Tapi menjelang tidur pikiranku kembali menerawang mengingatnya. Barusan dikabari lagi kalau ia sudah dapat rumah yang mau menampungnya sementara waktu sebelum kasus ini diselesaikan.

Aku sama sekali tak bersimpati pada kasus yang menimpanya. Apalagi membela perbuatan tercelanya. Tentu saja perbuatan itu sama sekali tak ada sisi baiknya. Zina perbuatan terkutuk. Tapi apakah dengan mengusirnya dan kudengar ia diperlakukan buruk di keluarganya hingga harus pergi dengan cara seperti itu, terasing dan terlunta-lunta, benarkah ini adalah pilihan terbaik? Sementara ada benih tak berhak menyandang dosanya di dalam rahimnya.

Lagi-lagi aku berpikir sendiri. Apa dengan cara seperti itu mampu membuat keadaan jauh lebih baik, atau mengembalikan ke situasi semula? Yang harusnya dipikirkan adalah bertindak mencari solusi, tapi tiba-tiba kondisi seperti ini menambah persoalan baru.

Aku tak tau kenapa tiba-tiba saja pernyataan bersedia meluncur tanpa pikir panjang dari mulutku. Demi Tuhan, tak ada inginku merestui apa yang telah dilakukannya. Aku sangat-sangat membenci perbuatan nista itu. Sama seperti orangtua atau keluarga yang mengusirnya. Jengah mendengar kasus semacam itu. Sama bencinya sebab melihat dengan kacamata budi luhur dan akhlak mulia seperti kalian juga.

Tiba-tiba aku ingin bertemu dengannya. Anak perempuan itu… pasti sedang meratapi nasibnya. Menyesalkah ia? Sungguh-sungguh kah? Kemana ayah calon bayi itu? Pasti ia bukan seorang gentleman! Atau sebegitu hina kah anak perempuan itu hingga hampir tak ada yang bisa menerimanya. Seberapa keras hati perempuan itu? Benarkah tak ada sisi batinnya yang bisa digugah?

Sebetik terpikir olehku, bukan kah kejadian semacam ini bisa jadi titik balik buatnya? Siapa tau ia memang benar-benar bersalah dan itu dulu. Apalagi memikirkan calon bayi yang dikandungnya. Bahkan bisa jadi titik balik buat keluarganya. Paling tidak untuk intropeksi diri, pasti ada yang tak beres dengan cara membimbing anak perempuan itu selama ini.

Ini hanya opini wujud ekspresi. Sama sekali tak hendak memaksa sesiapa yang tak sependapat denganku. Sebagaian lagi bisa jadi menganggap anak perempuan itu pantas mendapatkan perlakuan yang menyedihkan semacam itu. Dimanfaatkan lalu dicampakkan, habis manis sepah dibuang. Menanggung sakit lahir batin, diusir dari keluarga besar dan dengan semua ketidakpastian masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah Garing!

Aku tidak lagi muda, tapi aku juga belum terlalu tua lho... sudah sejak lama aku memendam hasrat ingin menjadi penulis. Aku memang sering menulis. Tulisan-tulisanku umumnya adalah kejadian sehari-hari dalam hidupku. Semuanya konyol dan tak bermutu saat kubaca ulang. Oh God, aku merasa semakin putus harapan. Apa aku memang terlahir dengan bakat untuk menulis semua tulisan-tulisan tak berbobot sekaligus konyol plus tak layak dibaca.? Sungguh menyedihkan. Siapa nyana dibalik keseringanku menulis ini tak ada satupun tulisan yang bisa memberikanku kepercayaan diri untuk mempublikasikan setelah aku membacanya kembali. Atau sebaiknya semua tulisan yang aku buat tak usah dibaca lagi sehingga tidak menjatuhkan mentalku? Satu hal lagi yang paling bodoh adalah aku sering tidak menyelesaikan tulisanku. Bahkan mungkin tulisan kali inipun tak juga rampung. Tapi entahlah, sebenarnya tak bisa kukatakan entahlah karena semuanya tergantung padaku. Apa aku mau menyelesaikannya atau kutinggal saja sebelu...

MINAT FIKSI DI BULAN INI

Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables. Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik. Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang l...