Langsung ke konten utama

MINAT FIKSI DI BULAN INI


Kata-kata tak dibuat, ia berkembang sendiri. Tiba-tiba tulisan itu menggema begitu saja di otakku. Kalimat itu memang kutipan dialog antara Anne dan Phill di buku ketiga seri Anne of Green Gables.

Entah kapan tepatnya, aku semakin addict dengan novel klasik. Padahal genre metropop yang baru saja kutuntaskan tak kalah menarik. Tapi setelah menamatkan genre metropop tadi, tak ada keinginan kuat untuk mengulasnya, atau paling tidak untuk memikirkan sususan kalimatnya berulang kali, sebagaimana yang kurasakan setelah menuntaskan novel klasik.

Aku tak ingat persis duduk di kelas berapa saat aku tergila-gila pada Tom Sawyer-nya Mark Twain. Buku itu dipinjamkan tetangga sebelah untuk kakak sulungku yang saat itu mengajar di sebuah tsanawiyah swasta yang baru buka. Buku yang sebenarnya milik pustaka sekolah negeri pertama di kampungku itu, masih dalam ejaan lama. Sampulnya menampilkan tiga bocah yang tak terlalu lucu. Salah satunya mengenakan celana over all dan kemeja putih yang lengannya dilipat hingga siku. Bocah itu memakai topi jerami.

Tentu saja saat itu aku masih imut sekali, belum lagi duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Tapi aku masih bisa mengingat kaver novel terjemahan itu hingga adegan awal pembuka ceritanya. Tom yang sedang mencuri roti selai dan Bibi Polly yang judes dan ingin terkesan tegas. Masih bisa kuingat seperti apa aku membayangkan postur, kerling mata enerjik Tom dan Bibi Polly yang judes tapi sebenarnya sangat menyayangi Tom.

Yang namanya klasik memang tak lekang dimakan usia. Mungkin sebab itu juga yang membuatnya sulit lekang dari ingatanku. Makanya, waktu aku menemukan novel Pollyanna dan sekuelnya, Pollyanna Grows Up, tiba-tiba saja aku merasa masa-masa kecil penuh petualangan kembali terbentang di hadapanku.

Dulu koleksi Sir Arthur Conan Doyle milikku juga lengkap. Satu per satu hilang tak tahu rimbanya. Kubeli lagi saat kuliah. Dua bulan lalu, aku spontan menariknya lagi dari rak toko buku. Novel Sherlock Holmes dengan penerbit berbeda, tapi cerita di dalamnya sama.

Novel detektif lainnya seperti karya-karya Agatha Christie, terkadang sama menggiurkan. Tapi aku hanya berminat membaca sekali dan tidak terlalu tertarik mengoleksinya. Biasanya rental buku bisa mengeyangkan laparku untuk buku-buku Si Ratu Kejahatan ini. Agatha Christie memang produktif semasa hidupnya. Sampai aku tak habis pikir, bisa-bisanya sarafnya masih normal untuk terus-terusan memikirkan demikian banyak kasus dan alibi, cara melakukan kejahatan dengan bersih, cara menyingkapnya dengan mengejutkan, lengkap dengan hipotesis yang tak boleh ada celah.

Aku juga menemukan karya-karya Lucy M. Montgomery yang memesona. Ia menarikku ke zaman Clifton sebelum ia berganti nama menjadi New London. Suasana alam yang asri dengan empat musim yang tak pernah kurasakan di kehidupan nyataku hingga kini. Gaun-gaun satin berhias renda. Puncak bukit dengan barisan pinus, rumah bergaya klasik yang tak terlupakan, taman kecil yang penuh dengan bunga-bunga petunia, krisan, marigold, lemon verbena, dan sebagian lagi tanaman-tanaman yang tak pernah kutemui wujudnya di daerah tropis tempat ku lahir dan besar.

Hal itu sedikit membuatku kerepotan menanyakannya pada ‘Om Gugel’. Tapi semua itu memang sangat indah dan memesona. Gadis-gadis dengan gaun muslin, topi-topi berhiaskan kuntum bunga. Tentu saja kalau masih ada gadis yang memakainya saat ini, pasti sudah dituding tak beres. Tapi, sebagaimana menonton film klasik itu memesona, seperti itulah nikmatnya membaca ceritanya.

Tentu saja membaca daripada menontonnya lebih membebaskan kita berimajinasi. Wajah-wajah tokohnya tidak harus seperti yang sudah disuguhkan di film, walau sama-sama menggunankan indera penglihatan, di novel, kita lebih imajinatif dan bebas.

Walau gaya penceritaannya sama memikat, antara Elannor H. Porter dan Lucy M. Montgomery  tentu berbeda.  Montgomery cukup banyak mengutip puisi-puisi di dialog para tokohnya. Membuat kesan puitis semakin kental, setelah pembaca disuguhinya dengan deskripsi yang sedikit bertele namun terlalu memesona untuk dilewatkan per kata-nya.

Kembali ke pertanyaan awal, kenapa tiba-tiba aku terlalu banyak merindu? Setiap membaca cerita klasik itu, hatiku menghangat dan kecewa ketika sampai di halaman akhirnya. Sebab aku merasa terlalu tergesa menuntaskannya. Bahkan untuk Snow Country-nya Kawabata, walau aku merasa akan mati bosan pada awal bab-nya, aku tetap saja ingin membaca novel itu sekali lagi.

Baiklah, hunting serial Anne of Green Gables tak dapat dihindarkan. Kemarin aku beruntung menemukan buku-buku itu diturunkan dari rak dan diobral di toko buku terbesar di Indonesia,  aku membelinya hanya dengan merogoh kocek dua puluh ribu rupiah per buku. Tapi sayang, aku terlambat dan hanya memperoleh satu eksemplar sekuel terkhirnya. Anne of Green Gables diterjemahkan ke dalam 36 bahasa,  diadaptasi menjadi film dan komik.

Komentar

  1. Mantaaaaap kali ya bacaan Aini ya. Saya banyak yang belum baca dari semua bacaan yang aini sebutkan. Payah sekali :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku jaman baheulak, Kak. Nggak banyak orang yang suka jaman sekarang. Sekarang pada ngepop dan dinamis gitu. Kyak gaya Kak Eqi :)hehe. Mungkin itu sebabnya Aini ini lambat majunya :p nggak up to date. Trims komen-nya, Kakak.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah Garing!

Aku tidak lagi muda, tapi aku juga belum terlalu tua lho... sudah sejak lama aku memendam hasrat ingin menjadi penulis. Aku memang sering menulis. Tulisan-tulisanku umumnya adalah kejadian sehari-hari dalam hidupku. Semuanya konyol dan tak bermutu saat kubaca ulang. Oh God, aku merasa semakin putus harapan. Apa aku memang terlahir dengan bakat untuk menulis semua tulisan-tulisan tak berbobot sekaligus konyol plus tak layak dibaca.? Sungguh menyedihkan. Siapa nyana dibalik keseringanku menulis ini tak ada satupun tulisan yang bisa memberikanku kepercayaan diri untuk mempublikasikan setelah aku membacanya kembali. Atau sebaiknya semua tulisan yang aku buat tak usah dibaca lagi sehingga tidak menjatuhkan mentalku? Satu hal lagi yang paling bodoh adalah aku sering tidak menyelesaikan tulisanku. Bahkan mungkin tulisan kali inipun tak juga rampung. Tapi entahlah, sebenarnya tak bisa kukatakan entahlah karena semuanya tergantung padaku. Apa aku mau menyelesaikannya atau kutinggal saja sebelu...

Perempuan Itu...

“Nda, barusan teman kantor Ayah telfon, katanya mau minta tolong…” si ayah tiba-tiba sudah di depan pintu begitu aku keluar dari kamar mandi. Dengan pakaian ‘dinas’-nya yang penuh peluh. Kami tadi baru dari farm. Aku meninggalkan mereka yang sedang melakukan anamnesa ternak karena sudah saatnya mandi sore. “Hm, ya… ” jawabku sambil menatapnya sejenak, pertanda menunggu kelanjutan ceritanya. “Ada anak perempuan yang diusir keluarganya karena pregnant diluar nikah. Sekarang sedang terkatung-katung, nggak tau harus kemana… ” “Astaghfirullah… ” “Yah, teman Ayah itu nanya, bisa ditampung sementara di sini, nggak?” Saat ini menjelang maghrib, yang terbayang dibenakku hanya seorang wanita dengan kondisi fisik dan psikis yang labil. “Ya, bawa aja dulu ke sini. Ntar bisa inap di kamar Irsa…” sebenarnya belum tuntas rasa kagetku. Raut wajah kami sama-sama prihatin. Tapi sepertinya kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing. Semacam bisikan kemelut antara pro dan kontra. “Ya...