Kepalaku sedikit berat, mataku
berdenyar dan belum seluruhnya menangkap bayangan di sekitar. Aku merasakan de javu di detik berikutnya.
Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja.
“Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia.
Ada meja putih di sudut dengan tumpukan buku-buku tebal, dinding yang dipenuhi rak berisi novel-novel klasik Lucy Montgomery, Jane Austen, dan Leo Tolstoy. Bukan saja serinya yang lengkap, tapi judul yang sama dari beberapa penerbit. Siapa pula yang suka membeli buku yang sama dengan hanya berbeda pengalih bahasa saja.
“Beda penerjemah, beda lagi rasa membecanya, lo! ” Ah, siapa itu yang selalu berbicara tentang the art of story telling dengan mata berbinar selain dia.
Ah, kuperhatikan jendela dengan
tirai warna dasar putih bermotif abstrak hitam dan merah. Semakin karib di memori.
Penyuka warna putih dan hitam. Monokrom...
“Oh, Sa! Kamu sudah bangun? Duh, maaf Ibu juga
ketiduran!"
Ibu...kok? di mana ini? Aku
menyipitkan mata dan coba memanggil semua ingatan yang ada.
“Ayo, sudah sore. Ibu lihat kamu dari tadi tidur
terus, pasti belum makan. Langsung saja ya ke dapur. Ibu harus menyelesaikan
ini sedikit lagi sebelum Ibu masak makan malam. Ah... itu juga kalau sempat.
Kalau tidak nanti kayak biasalah.”
Ibu seperti biasanya menceracau
panjang, jarang aku menyimak dengan saksama kalau ia sudah mulai ngeles ini
itu. Kapan ibu sempat memasak kalau ia tenggelam dengan bacaan dan laptop
kesayangannya berwarna abu-abu itu. Ibu tahu aku tak suka.
“Bu, Sarah juga mau dibuatkan cake seperti Nia. Dia selalu dibuatkan
ibunya kue kalau tanggal 16 Juni, hari ulang tahunnya.”
“Iya, yang penting Ibu ingat ulang
tahun kamu, apa bedanya yang dibeli dengan dibuat Ibu. Yang penting kamu senang
nanti Ibu belikan hadiah juga dan kue sama seperti itu, ya.”
Aku tak senang walau setiap tahun
Ibu ingat ulang tahunku, tapi tak pernah ia buatkan acara meriah dan
sibuk-sibuk seperti yang dilakukan ibu Mita atau pun Mama Tania. Hanya kami
berdua, cake mungil dan sebuah kado,
sesuatu yang sudah kuinginkan sangat lama. Kadang jam beker, boneka, buku
diari, terkadang Ibu membelikan buku-buku lucu untukku. Namun bukan itu yang
kuimpikan.
Nia punya ibu yang di rumah saja.
Ibunya bisa memasak apa saja makanan yang pernah kulihat di resto dan kafe. Ibu
juga selalu di rumah, tapi...
“Harus balik ke ruang kerja. Kamu
tolong Ibu bereskan piring, ya.” Katanya setelah makan dengan sedikit terburu
dan belum sempat menenggak air putih. Itu kebiasaan Ibu kalau sudah terbentur deadline menulis.
Aku suka pantai, di mana saat
itulah Ibu tidak bersama buku atau laptopnya. Namun, tetap saja ia terlihat
melompong. Apa artinya aku di sampingnya yang menyesap air kelapa muda.
Lagi-lagi aku kesal dibuatnya.
“Sa, maafkan Ibu, ya?” matanya
sendu menatapku, tapi aku terlalu sibuk menghitung rasa sesak dan kesal pada
Ibu.
“Pak Trama dan istrinya kan senang
juga ada Ibu, kalau tidak, siapa pula pelanggan tetap di warung nasi mereka.
Lihat, keduanya sudah tua dan mereka berjualan nasi dan lauknya. Bukan tidak
mungkin apa saja yang kita belanjakan di warungnya memang menjadi rejeki Pak
Trama, lo.” Terang Ibu seringkali saat aku mengeluhkan lauk yang selalu dibeli
di warung langganan Ibu.
Sebenarnya ia juga menjelaskan
sambil menggodaku, lalu bercerita lagi bagaimana ia berusaha memasak dan selalu
saja gagal. Terkadang lama sampai rasa lapar sudah memuncak. Lagi-lagi hatiku
tetap berkabut tebal. Tak bisa menerima Ibu yang seperti itu.
Ekpektasiku terlalu tinggi sebagai
pemilik satu orang tua, harusnya Ibu mencurahkan segalanya untukku. Wajah
cerahnya, senyum tawa, tangan gemulainya. Bukan hanya sekadar untuk membelai
tuts-tuts kibor. Ah, ya... juga materi yang dia punya. Semua tercurah padaku,
putri semata wayangnya. Tak perlulah ia membeli buku setebal bantal yang sudah
hampir menutupi seluruh dinding ruang kerjanya.
“Hanya ini yang bisa Ibu lakukan
untuk melanjutkan hidup kita, Sa. Kamu tahun depan sudah masuk universitas,
berjuanglah. Ibu akan berusaha di ranah Ibu sendiri untuk memperjuangkan
mimpimu, mimpi kita bersama. ”
“Mimpi kita? Ibu hampir tak pernah
memasak untukku, lalu kalau sedang liburan berdua, Ibu selalu membawa banyak
buku. Kalau kita sedang di rumah, Ibu selalu di ruang kerja. Banyak deadline lah, editan yang belum kelar
lah!”
“Sa...”
Ibu tak pernah membentak, suaranya
selalu mengiba, tapi entah kenapa aku
bukannya luruh, tapi semakin tak suka. Aku tak suka ibuku! Bukan ibu yang
seperti itu yang kumau.
Bukan tak tahu, aku pernah melihat
Ibu menangis. Saat itu kupikir karena sikapku. Ya, mungkin saja. Aku sedih
melihat ia terluka, tapi ia juga tak pernah berubah. Begitu seterusnya hingga
kanker rahim menggerogoti kesehatannya.
“Ibu... masak ya?” tanyaku.
“Iya, hehe... telur dadar saja.
Kamu suka kan, Sa? Maafin Ibu ya. Duuh angkat jemuran aja sampai lupa. Jadi dingin
lagi, deh, kain-kainnya. Mendingan langsung ke binatu saja.”
“Ibu...” aku coba memanggilnya lagi untuk meyakinkan
diri.
“Iya. Kenapa, Sa?”
“Kapan masaknya?”
“Tadi, waktu kamu tidur.”
“Oh ya?” aku terdiam lama. Biasanya bau masakan
sampai ke kamarku sedikit. Aku melanjutkan, “Ibu... aku sudah bilang belum?”
“Ya, tentang apa, Sa?”
“Aku lulus di jurusan yang aku pilih. Ibu bilang juga
cocok sekali denganku, jurusan Desain Komunikasi Visual di ITB. Iya, kan, Bu?
Aku juga sudah bilang belum? Aku minta maaf selama ini selalu kesal pada Ibu.
Aku suka Ibu kok. Ibu hebat. Ini akan jadi kolaborasi kita berdua. Setelah
lulus aku mau membuat Rumah Produksi. Kita akan mengangkat semua
tulisan-tulisan Ibu ke layar lebar. Ibu juga tak perlu lelah dikejar deadline. Ibu boleh jadi sutradara untuk
film-film dari buku Ibu sendiri. Kita produsernya, jadi tak perlu lagi Ibu
bersitegang dengan orang-orang itu yang suka merusak plot cerita yang sudah Ibu
susun. Lalu...Bu? Ibu dengerin aku?”
Aku menoleh ke sekeliling. Semua gelap.
“Ibu...”
Sepi.
“IBUUU!”
“Sa! Bangun, Sa!”
Napasku tersengal, aku duduk dan mendapati diriku
basah oleh peluh. Sepupuku Hany di sebelah menggenggam tanganku. Aku segera
menarik tanganku dan menyapu wajah. Hany menyodorkan segelas air putih.
“Minum, Sa.”
Ini mimpi ke-27 kali di tempat yang sama dengan
adegan bermacam rupa. Berapa kali kudapatkan pelukan Hany dan tanteku.
Memintaku sabar, tabah, dan menerima. Hei, bukankah sekarang aku menerima Ibu
sebagaimana adanya ia? Bukankah di usiaku 22 tahun ini aku sudah tidak lagi
memandang Ibu sebagai pribadi egois yang hanya mementingkan dunianya?
“Sebaiknya
segera dibawa ke psikolog atau psikiater. Sampai hari ini ia masih menganggap
ibunya belum meninggal. Itu tandanya ia belum menerima kenyataan. Jangan
dibiarkan seperti itu terus. Masih muda...kasihan dia.”
“Iya, Paktuo.
Barangkali karena banyak yang mau ia sampaikan pada Uni makanya jadi seperti
ini. Semua belum selesai dan serba menggantung. Kepergian Uni terlalu
tiba-tiba.”
“Bukan
tiba-tiba, Semua kita tidak ada yang menyadari kalau kanker itu sudah stadium
tiga B. Uni-mu itu terlalu pintar menyembunyikan sakitnya.”
Sayup kudengar obrolan Kakek dan Tante, kurasa aku
bermimpi lagi. Hany menyeka keringatku dengan handuk kecil.
“Makan yok, Sa. Kamu tidur terus dari tadi.”[]
“Makan yok, Sa. Kamu tidur terus dari tadi.”[]
Komentar
Posting Komentar