Langsung ke konten utama

Sekar dan Aku


“Kakak nggak pernah ngalamin, sih. Jadi mungkin nggak tahu gimana rasanya. Bang Luhur orangnya baik, setia, romantis...” kata Sekar sambil menyeka hidungnya. Ia masih saja sesenggukan pilu. Kami memang sudah janji subuh tadi untuk bertemu di kafe ini sore. Sengaja mengambil meja paling sudut dan paling sepi di ruangan yang kaca depannya ditempel stiker ‘No Smoking Area’.

“Iya... tapi, kan, dia sudah minta maaf dan menjelaskan situasinya bagaimana,” bujukku menenangkan.

“Aku udah maafin, Kak. Asalkan jangan diulang lagi. Cukup sudah berhubungan dengan teman lama, mantan, entah apalah namanya itu. Sakit rasanya, nggak bisa lupa sampai hari ini. Bayangkan, Kak, aku yang lantang-luntung ngurusin rumah, anak, masak. Nggak pernah tuh, dia WA nanya ‘sudah makan?’ Kirim emoji kayak begitu... Nah, sama perempuan itu?”

Aku mengelus punggung tangan Sekar. Mencoba menenangkannya dan berempati padanya. Suaminya tergelincir, menurutku tak separah itu. Hanya menyapa teman-teman lamanya yang kebetulan bertemu kembali di sebuah grup Whatsapp alumninya. Hanya, sampai intens berkomunikasi dan mengirim emoji bunga. Yah, sebenarnya menurut pengakuan suaminya malah belum pernah bertemu pun setelah reuni maya di grup Whatsapp.

Lalu apa? Sekar hanya butuh refresh dan sedikit teguran bahwa kedua anaknya telah mengambil seluruh waktu dan perhatiannya tanpa sisa. Ia bahkan melupakan dirinya sendiri, menurutku. Terkadang itu baik untuk memberikan sedikit efek kejut bagi Sekar.

“Kurang apa, sih, aku untuk dia? Kalau selama ini aku sibuk, kan ngurusin anak dia juga. Tega banget dia, Kak. Huhuhu...” Isaknya lagi.



“Belum terlambat untuk memulainya lagi. Barangkali kalian juga butuh waktu berdua. Jangan segan menitipkan Nadin dan Hayan ke Kakak. Kakak bisa mengatur waktu lagi, kabari saja,” Aku mencoba mencarikan solusi.

“Iya, Kak. Aku juga nggak cari asisten karena dia. Menjaga privasi dia juga yang nggak suka ada orang selain keluarga inti di rumah. Lalu kalau pulang kantor, duduk di depan teve sambil pegang smartphone...” lalu Sekar masih menyebut satu per satu hal yang dia anggap kelemahan dan keluhan yang barangkali tak tersampaikan pada suaminya. Tidak lupa di sela-sela itu ia membandingkan dengan Luhur, suamiku.

Kalau sudah begini, tugasku bukan menasihati apalagi menimpali. Aku hanya bertugas mendengarkan dan memberi solusi.

“Baiklah... ada lagi yang ingin kamu ungkapkan?” Sekar menggeleng, “sekarang Kakak boleh tanya sesuatu, tidak?” Sekar mengangguk. “Yang barusan kamu bilang ke Kakak, pernah tidak kamu komunikasikan dengan suamimu? Misal kamu mau ia membantumu sesampainya di rumah. Pernah bilang begini, nggak? ‘Mas masih capek, ya? Aku boleh minta tolong ajak Hayan main dulu? Soalnya aku mau mandi’ atau mau apa lah,  gitu?”

“Entah... kayaknya dulu pernah, deh. Dia cuek gitu.”

“Cara bilangnya masih ingat?”

“Ya, sambil kesellah!” sungut Sekar.

Aku tersenyum saja tak melanjutkan petuah. Ah... aku merasa tua jadinya. “Mau tambah coklat hangatnya?” tawarku pada Sekar yang dijawab dengan gelengan. Kami terdiam sejenak. Sekar masih menyeka air mata terakhirnya mungkin. Kulihat ia jauh lebih baik. Pandangan kami tertumpu di play ground mungil yang masih berada dalam ruangan yang sama. Nadin dan Hayan sedang asik dengan matras puzzle dan perosotan rendah. Hayan memandang ke arah ibunya dan tertawa memperlihatkan gigi susunya yang terawat.

Aku dan Sekar saling pandang dan kemudian tertawa penuh arti. Kurasa Sekar paham. Kebahagiaan apalagi yang dicari, daripada menghitung permasalahan yang hadir lebih baik mensyukuri keberkahan yang sudah diberikan-Nya.

Sepertinya sore ini cukup, warna lembayung memulas senja. Sekar sudah memesan ojek online dan pulang dengan keadaan jauh lebih tenang.

Kukeluarkan ponsel yang sejak tadi kusimpan di dalam tas. Aku memesan segelas teh melati pada pelayan kafe. Entah seperti apa rasa di dalam perutku. Tak terisi makanan sejak pagi dan baru saja tandas secangkir coklat panas, sekarang memesan yang lain untuk sekadar bertahan dari tusukan-tusukan rasa yang merajam hati dan kepala.

Sudah sampai di rumah, Sayang?”

WA dari Luhur sejak sejam yang lalu yang baru aku buka. Aku masih belum tahu menerjemahkan segala perlakuannya setelah 20 tahun bersama. Apa ia masih Luhur yang kemarin bersamaku.
Blm,” ketikku singkat.

Sebentar lagi sampai rumah, nih. Sedang di mana? Mau Papa jemput sekalian?

Aku hanya termangu membaca pesan Luhur sembari kembali menerawang tentang beberapa hari berat ini.

 Papa masih menunggu jawaban kamu, Sayang. Tepatnya izin darimu...” Ini adalah puisi terburuk dalam hari-hariku selama satu bulan ini. Aku nyaris pingsan saat pertama sekali ia meminta izinku untuk menikah lagi. Pembawaanku yang tenang, elegan, dan pemahamanku mengenai hal ini sudah dirangkumnya dalam sebuah rencana.

Apa yang kurang dari seorang Luhur sebagai suami? Ia baik, romantis, penyayang, mau menolong pekerjaan rumah tangga. 

Adakah alasan lainnya, misalnya karena Mama kurang baik bagi Papa?”

Tidak ada, Sayang. Kamu istri yang baik, cantik sempurna. Alasannya hanya ingin membantu dia dan anaknya. Lainnya yang seperti Papa sebutkan tadi. Papa sepertinya jatuh cinta lagi. ”

Aku mencoba menenangkan pikiran, intropeksi diri dan terakhir aku menelpon Yusuf, sulung kami dan meminta ijin pada Luhur dan kepala asrama agar ia bisa menemaniku umrah. Aku masih belum bisa mengenyahkan segala kenangan yang berkelebat di kepala. Mata yang seringkali memandang penuh puja dan kagum padaku. Apa itu semuanya semu?

 Aku tak bisa ingat satu pun perlakuan yang tak baik darinya tapi sebuah frasa ajaib telah menyihirku dan membalikkan rasa di dalam hati. Aku membenci Luhur dan hingga hari ini berusaha mengembalikan kepingan-kepingan hati ke bentuk semula.

Sayang, Papa sudah di rumah, ya.

Apa peduliku? “Ya. Sebentar lagi pulang.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat Jalan Raya

BUKAN SEMBARANG CURHAT Judul Buku : “CURHAT” JALAN RAYA Penulis : Iva Avianty dkk. Penerbit : Leutika, Yogyakarta, 2010 Harga : Rp 39.000 Tebal : ± 209 hal Kalau ada orang datang ke rumah Anda kemudian curhat tentang polemik keluarga atau kebisingan para tetangga, itu sih, sudah biasa. Tetapi, kalau ada sekumpulan orang yang ngerumpi tentang keadaan jalan raya, baru kita anggap sesuatu yang luar biasa. 30 kisah yang dirangkum dalam buku “Curhat” Jalan Raya ini, bercerita seputar keluh kesah pengguna jalan raya. Mulai dari menghadapi tingkah unik para pengamen, supir angkot, angkot yang super duper unik, polisi Lantas yang mendadak berubah jadi ‘preman berseragam’, jalan raya yang multifungsi alias suka berubah jadi pasar kaget, tempat parkir, Tempat Pembuangan Akhir, sampai jalan raya yang menjadi lokasi konvoi brutal para penganar jenazah di Makassar. Cerita yang disajikan para kontributor dengan berbagai macam gaya menulis ini, setidaknya bisa menjadi gambaran bur

Punya boyfriend o’on? Gimana jadinya, ya? (Resensi My 5tup1d Boyfr13nd)

Apa jadinya kalo seorang anggota geng Kupu-kupu Beracun dari Bukit Utara punya pacar o’on?   Seperti   kata Bella, salah satu anggota geng, “ini bukan soal tampang, tapi otak dan kelakuan. Aku tetap enggak bisa nerima ada cowok yang menyangka Lee Min Ho itu nama presiden Korea. Terus, nganggap Andy Lau itu anggota F4! ” Tapi nasi udah jadi lontong, mending langsung disantap sebelum keburu basi! Yup, Kiran tetap nekat backstreet dengan Ivan, tetangga depan rumahnya itu. Ini bermula dari keisengannya bikin status Facebook, “siapa yang mo bawain cokelat? Kalo cowok, aku jadiin boyfr13nd. Kalo cewek, aku jadiin pembokat magang.” Mulai pagi itu, Kiran menggondol status sebagai pacar Ivan. Walau status keanggotaannya di geng Kupu-kupu Beracun dari Bukit Utara terancam DO, Kiran tetap bertahan demi tiket keliling Eropa yang dijanjikan Opah Ivan, setelah tau akhirnya Ivan bisa memutus kutukan jomblo sampai usia 30 tahun di keluarga mereka. TADAAA…! Dimulai lah kekonyolan itu, mu

Oh, Pollyanna! Aku Benar-Benar Terpesona!

Oh, Pollyanna! Aku Benar-Benar Terpesona! Efek membaca novel klasik, tiba-tiba saja aku ingin menghujani orang di sekitarku dengan kata-kata berupa pertanyaan atau pernyataan biasa, tapi disampaikan dengan cara bertutur yang puitis. Tiba-tiba ingin berbicara dan menulis dengan menirukan sedikit ‘gaya’-nya. Tentu tidak bermaksud mem-plagiat. Ini hanya menggambarkan betapa besar efek sebuah cerita yang isi dan cara penyampaiannya sungguh berbobot. Tentu saja! Kalau tidak, mana mungkin cerita tersebut bisa menjadi best seller, menginspirasi banyak orang, diterjemahkan dan dibaca hingga hari ini. Novel ini dibuat pada tahun 1913 dan sekuelnya menyusul dua tahun kemudian. Novel yang populer di abad 20 dan telah diangkat menjadi film, dipentaskan di Teater Broadway dan sempat memasuki cetakan ke-47 antara tahun 1915 dan 1920, benar-benar tak lekang digerus masa. Sebenarnya ini novel klasik yang ditujukan untuk anak-anak, tapi sangat direkomendasikan buat orang dewasa. Novel yang